Medan, 4/6 (Antara) - Kegiatan "asmara subuh" di bulan suci Ramadhan yang umumnya dilakukan oleh anak muda atau remaja usai menjalankan sahur dan shalat Subuh, merupakan budaya di masyarakat yang sulit dihilangkan.
"Istilah asrama subuh tersebut sudah sejak dari dulu, biasanya dilakukan sekelompok pemuda dengan pasangannya yang bertujuan mengisi kekosongan menjelang pagi hari, namun dinilai kurang beretika di masyarakat," kata Sosiolog Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Badaruddin, MA di Medan, Sabtu.
Apalagi, menurut dia, tempat berkumpul pasangan remaja itu, ada yang berada di pinggir pantai, pinggiran jalan, di taman bunga, dan tempat-tempat umum lainnya.
"Hal tersebut, jelas merusak pemandangan mata, karena para remaja itu memadu kasih, di saat bulan suci Ramadhan, dan juga dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)," ujar Badaruddin.
Ia menyebutkan, kegiatan asmara subuh itu, juga dilakukan di kawasan Jalan Ringroad Kecamatan Sunggal dengan konvoi menggendarai sepeda motor, dan juga ugal-ugalan yang dapat membahayakan warga masyarakat.
Bahkan, aktivitas asrama subuh berupa balapan liar itu, sudah sering ditertibkan aparat kepolisian.
"Namun, mereka melaksanakannya secara berpindah-pindah dan sulit dipantau pihak berwajib," ucapnya.
Badaruddin mengatakan, upaya untuk menghilangkan budaya asmara subuh itu, bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan MUI, tetapi juga peranan para orang tua melarang anak mereka yang masih remaja agar tidak ke luar rumah.
Hal tersebut, merupakan salah satu upaya agar menekan semakin berkurangnya remaja melaksanakan asrama subuh yang dianggap tidak memberikan manfaat, melainkan hanya hura-hura.
Selain itu, asrama subuh tersebut, dianggap bentuk pelanggaran etika dan moral, serta perilaku yang menyimpang dari tinjauan agama, serta nilai-nilai Islami.
"Larangan tersebut dikarenakan, kegiatan asmara subuh tersebut dapat membatalkan ibadah puasa, dan juga mengundang pikiran jahat pada bulan Ramadhan itu," kata mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) USU itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2017
"Istilah asrama subuh tersebut sudah sejak dari dulu, biasanya dilakukan sekelompok pemuda dengan pasangannya yang bertujuan mengisi kekosongan menjelang pagi hari, namun dinilai kurang beretika di masyarakat," kata Sosiolog Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Badaruddin, MA di Medan, Sabtu.
Apalagi, menurut dia, tempat berkumpul pasangan remaja itu, ada yang berada di pinggir pantai, pinggiran jalan, di taman bunga, dan tempat-tempat umum lainnya.
"Hal tersebut, jelas merusak pemandangan mata, karena para remaja itu memadu kasih, di saat bulan suci Ramadhan, dan juga dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)," ujar Badaruddin.
Ia menyebutkan, kegiatan asmara subuh itu, juga dilakukan di kawasan Jalan Ringroad Kecamatan Sunggal dengan konvoi menggendarai sepeda motor, dan juga ugal-ugalan yang dapat membahayakan warga masyarakat.
Bahkan, aktivitas asrama subuh berupa balapan liar itu, sudah sering ditertibkan aparat kepolisian.
"Namun, mereka melaksanakannya secara berpindah-pindah dan sulit dipantau pihak berwajib," ucapnya.
Badaruddin mengatakan, upaya untuk menghilangkan budaya asmara subuh itu, bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan MUI, tetapi juga peranan para orang tua melarang anak mereka yang masih remaja agar tidak ke luar rumah.
Hal tersebut, merupakan salah satu upaya agar menekan semakin berkurangnya remaja melaksanakan asrama subuh yang dianggap tidak memberikan manfaat, melainkan hanya hura-hura.
Selain itu, asrama subuh tersebut, dianggap bentuk pelanggaran etika dan moral, serta perilaku yang menyimpang dari tinjauan agama, serta nilai-nilai Islami.
"Larangan tersebut dikarenakan, kegiatan asmara subuh tersebut dapat membatalkan ibadah puasa, dan juga mengundang pikiran jahat pada bulan Ramadhan itu," kata mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) USU itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2017