Tiada disangka, tiada diduga. Tiba-tiba kerusuhan meledak di dua daerah di Provinsi Sumatera Utara pada Jumat, 29 Juli 2016. Tepatnya di Kabupaten Karo dan Kota Tanjungbalai.
Di Karo, kerusuhan terjadi sebagai buntut polemik penentuan lahan relokasi tahap kedua bagi pengungsi erupsi Gunung Sinabung.
Diawali dengan pembongkaran pagar di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, warga menyampaikan protes keras.
Mulai dari pembakara pos polisi dan alat berat yang ada di lokasi, hingga unjuk rasa dan pelemparan Mapolres Karo dengan batu yang melibatkan ratusan warga pada Jumat malam.
Ujungnya, satu orang tewas yang diduga akibat terkena tembakan tanpa diketahui pelaku yang menembaknya. Polisi mengaku hanya mengeluarkan tembakan peringatan dan gas air mata untuk membubarkan warga.
Pada saat yang hampir bersamaan, kerusuhan juga terjadi di Tanjungbalai. Nuansanya berbau SARA. Masalahnya berawal ketika seorang etnis protes dengan suara azan di salah satu masjid.
Tanpa disangka, peristiwa itu terpublikasi melalui media sosial dan dengan cepat direspon warga yang tersulut emosi.
Dari pendataan pihak kepolisian, terdapat sekitar sembilan rumah ibadah milik umat Budha yang rusak akibat amukan massa.
Lucu sekaligus memprihatinkan, ada juga tujuh warga yang diamankan pihak kepolisian karena berupaya "menangguk di air keruh" dengan melakukan penjarahan ketika kerusuhan terjadi.
Kondisi yang lebih menarik, kerusuhan yang melanda dua daerah itu justru terjadi ketika Wapres RI Jusuf Kalla sedang berada di Sumut dalam rangka kunjungan kerja.
Delapan hari sebelumnya, Presiden Jokowi juga baru barada di Sumut. Sedangkan dalam 27 hari mendatang, Presiden Jokowi akan datang lagi ke Sumut untuk menghadiri Festival Karnaval Toba sebagai rangkaian kegiatan peringatan HUT Kemerdekaan RI.
Lalu, ada apa dengan psikologis warga Sumut? Kenapa emosinya gampang tersulut? Apa pengamanan yang ketat atas kedatangan Presiden dan Wakil Presiden tak membuat takut?
"Riak kecil"
Menurut pengamat sosial politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Dr Ansari Yamamah, problematika sosial di provinsi itu cukup besar dan telah berlangsung sejak lama.
Jika problematika itu tersulut, kemungkinan akan muncul kerusuhan sosial yang sulit diselesaikan karena telah berlangsung lama, kompleks, dan ibarat "benang kusut".
Karena itu, kerusuhan yang terjadi di Tanjungbalai dan Karo tersebut masih tergolong sebagai "riak kecil" karena ada pemicu yang muncul.
Disebabkan masalah yang melanda telah berlangsung lama tetapi terus dipendam tanpa penyelesaian yang tuntas, masyarakat tidak peduli dan menunjukkan reaksinya meski ada pejabat penting yang sedang berkunjung.
"Apalagi jika penyulutnya adalah ketersinggungan ideologi seperti yang terjadi di Tanjungbalai," katanya.
Menurut dia, potensi kerawanan di Tanjungbalai berawal dari aspek ekonomi yang mungkin menimbulkan kecemburuan sosial yang diperparah dengan adanya indikasi ketidakadilan secara hukum di mata masyarakat.
Mengutip kalimat Aristoteles, masalah klasik berupa kemiskinan itu merupakan awal sebuah revolusi jika tidak mampu disikapi dengan bijaksana.
Akibat tergerusnya kearifan lokal yang diperparah gerakan global individualistik, muncul fenomena pembentukan masyarakat yang seolah-olah tidak peduli dengan nilai kemanusiaan lagi.
Uniknya, meski muncul fenomena tidak lagi merasa bersaudara dengan yang lain, tetapi masyarakat mau bersatu untuk melakukan sesuatu yang dianggap sebagai pelampiasan, termasuk berupa kerusuhan.
Mengatasi masalah itu memang tidak mudah karena membutuhkan proses panjang dan kesabaran "tingkat tinggi" karena penyebabnya telah berlangsung sejak lama.
Aparatur pemerintah, mulai dari pemerintah daerah, Polri, TNI, kejaksaan, hingga tokoh agama dan tokoh masyarakat harus mampu memberikan pencerahan dengan penuh kesabaran.
Aparatur pemerintah juga harus merespon berbagai keluhan masyarakat dengan memberikan tindakan yang tegas dan adil, bukan hanya sesuai ketentuan yang berlaku, tetapi juga norma dan kearifan lokal.
Jika tidak mampu menyahuti segala keluhan masyarakat tentang problematika sosial, apalagi justru berpihak dan tidak membuat keputusan yang adil, masalah yang ada justru akan menjadi "bom waktu" yang siap meledak jika ada yang menyulut.
Banyak pihak yang sebenarnya merusak tatanan yang sudah ada dengan alasan demokrasi, tetapi justru akan kontraproduktif bagi kondusifitas kemasyarakatan.
Ia mencontohkan pengaturan pembangunan rumah ibadah yang telah berlangsung lama, bahkan sejak masa orde baru yang cukup bangus.
Pengaturan agar rumah ibadah hanya boleh dibangun di lingkungan yang penganut agamanya banyak sangat perlu dipertahankan untuk menjaga kenyamanan dan ketenangan masyarakat.
"Kalau tidak ada pengaturan, bisa saja terjadi ekspansi politik keberagamaan," ujar alumni Leiden University Belanda itu.
Mengenai kerusuhan di Karo, peristiwa dinilai sebagai pengabaian terhadap potensi konflik dan adanya penelantaran nilai kearifan lokal (local wishdom).
Bagi etnis Karo, tanah memiliki nilai yang sangat tinggi untuk mendukung identitasnya, baik dalam sosial kemasyarakatan mau pun sebagai lahan mencari nafkah bagi masyarakat yang mayoritas hidup dalam bidang pertanian itu.
Penolakan warga Desa Lingga atas rencana penggunaan daerahnya sebagai lahan relokasi tahap kedua bagi pengungsi erupsi Gunung Sinabung telah lama beredar.
Seharusnya Pemkab Karo bijaksana menyikapi kondisi itu dengan melakukan sosialisasi dan pendekatan secara berkesinambungan agar program relokasi tersebut berjalan lancar.
"Warga yang protes adalah etnis Karo, yang mau menempati lahan itu juga etnis Karo. Pejabatnya juga mayoritas etnis Karo. Saya yakin, masalahnya lebih mudah diselesaikan jika ada pendekatan yang lebih intensif," kata Ansari.
Rusak citra
Kerusuhan yang terjadi di Karo dan Tanjungbalai tersebut dinilai dapat merusak citra Sumut yang selama ini dikenal sebagai miniatur Indonesia.
Anggota DPR RI asal Sumut Fadly Nurzal mengatakan, Sumut dianggap sebagai miniatur Indonesia karena mampu menjaga keharmonisan meski masyarakatnya sangat heterogen.
Meski memiliki dialek yang keras, etnis dan agama yang sangat beragam, tetapi kekerabatan dan kekompakan sangat tinggi sehingga tidak mudah diadu domba.
Bahkan dengan berbagai perbedaan dan dinamika yang ada itu, Sumut disebut menjadi salah satu model sekolah kepemimpinan bagi calon pemimpin nasional.
Namun dua peristiwa kerusuhan itu dapat merusak citra Sumut, terutama di Tanjungbalai yang masyarakat sangat relijius dan selama ini terkenal terbuka.
Politisi PPP itu berharap warga Tanjungbalai dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi dan dapat meningkatkan kekompakan yang telah terbina selama ini.
"Sebagai putera Tanjungbalai, saya meminta masyarakat, teman, dan keluarga yang ada disana agar menjaga kampung kita," katanya.
Berdasarkan geografis dan sumber daya, Sumut memiliki hampir semua potensi dan keunggulan ekonomi dan politik. Untuk itu, seluruh lapisan masyarakat harus mampu menjaga semua keunggulan dan potensi tersebut.
Kalau tidak bisa dijaga dengan baik, dikhawatirkan menjadi masalah yang ada akan menjadi "virus" yang berkepanjagan sehingga Sumut tidak akan menarik lagi.
Jika stigma buruk itu melekat, diperkirakan akan menimbulkan tantangan yang berat dalam mendorong pemberdayaan potensi dan keunggulan yang ada.
"Sumut tidak akan lagi menjadi cerminan nasional, pertumbuhan ekonomi juga akan terpengaruh. Apapun ceritanya, kerukunan yang sudah ada harus bisa terus dijaga," ujar Fadly Nurzal.
Jadi, cukuplah kerusuhan di Karo dan Tanjungbalai itu. Masalah akan selalu ada, tetapi mari sikapi dengan bijaksana agar Sumut terus menjadi kebanggaan masyarakat, termasuk disegani secara nasional. ***2***
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016
Di Karo, kerusuhan terjadi sebagai buntut polemik penentuan lahan relokasi tahap kedua bagi pengungsi erupsi Gunung Sinabung.
Diawali dengan pembongkaran pagar di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, warga menyampaikan protes keras.
Mulai dari pembakara pos polisi dan alat berat yang ada di lokasi, hingga unjuk rasa dan pelemparan Mapolres Karo dengan batu yang melibatkan ratusan warga pada Jumat malam.
Ujungnya, satu orang tewas yang diduga akibat terkena tembakan tanpa diketahui pelaku yang menembaknya. Polisi mengaku hanya mengeluarkan tembakan peringatan dan gas air mata untuk membubarkan warga.
Pada saat yang hampir bersamaan, kerusuhan juga terjadi di Tanjungbalai. Nuansanya berbau SARA. Masalahnya berawal ketika seorang etnis protes dengan suara azan di salah satu masjid.
Tanpa disangka, peristiwa itu terpublikasi melalui media sosial dan dengan cepat direspon warga yang tersulut emosi.
Dari pendataan pihak kepolisian, terdapat sekitar sembilan rumah ibadah milik umat Budha yang rusak akibat amukan massa.
Lucu sekaligus memprihatinkan, ada juga tujuh warga yang diamankan pihak kepolisian karena berupaya "menangguk di air keruh" dengan melakukan penjarahan ketika kerusuhan terjadi.
Kondisi yang lebih menarik, kerusuhan yang melanda dua daerah itu justru terjadi ketika Wapres RI Jusuf Kalla sedang berada di Sumut dalam rangka kunjungan kerja.
Delapan hari sebelumnya, Presiden Jokowi juga baru barada di Sumut. Sedangkan dalam 27 hari mendatang, Presiden Jokowi akan datang lagi ke Sumut untuk menghadiri Festival Karnaval Toba sebagai rangkaian kegiatan peringatan HUT Kemerdekaan RI.
Lalu, ada apa dengan psikologis warga Sumut? Kenapa emosinya gampang tersulut? Apa pengamanan yang ketat atas kedatangan Presiden dan Wakil Presiden tak membuat takut?
"Riak kecil"
Menurut pengamat sosial politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Dr Ansari Yamamah, problematika sosial di provinsi itu cukup besar dan telah berlangsung sejak lama.
Jika problematika itu tersulut, kemungkinan akan muncul kerusuhan sosial yang sulit diselesaikan karena telah berlangsung lama, kompleks, dan ibarat "benang kusut".
Karena itu, kerusuhan yang terjadi di Tanjungbalai dan Karo tersebut masih tergolong sebagai "riak kecil" karena ada pemicu yang muncul.
Disebabkan masalah yang melanda telah berlangsung lama tetapi terus dipendam tanpa penyelesaian yang tuntas, masyarakat tidak peduli dan menunjukkan reaksinya meski ada pejabat penting yang sedang berkunjung.
"Apalagi jika penyulutnya adalah ketersinggungan ideologi seperti yang terjadi di Tanjungbalai," katanya.
Menurut dia, potensi kerawanan di Tanjungbalai berawal dari aspek ekonomi yang mungkin menimbulkan kecemburuan sosial yang diperparah dengan adanya indikasi ketidakadilan secara hukum di mata masyarakat.
Mengutip kalimat Aristoteles, masalah klasik berupa kemiskinan itu merupakan awal sebuah revolusi jika tidak mampu disikapi dengan bijaksana.
Akibat tergerusnya kearifan lokal yang diperparah gerakan global individualistik, muncul fenomena pembentukan masyarakat yang seolah-olah tidak peduli dengan nilai kemanusiaan lagi.
Uniknya, meski muncul fenomena tidak lagi merasa bersaudara dengan yang lain, tetapi masyarakat mau bersatu untuk melakukan sesuatu yang dianggap sebagai pelampiasan, termasuk berupa kerusuhan.
Mengatasi masalah itu memang tidak mudah karena membutuhkan proses panjang dan kesabaran "tingkat tinggi" karena penyebabnya telah berlangsung sejak lama.
Aparatur pemerintah, mulai dari pemerintah daerah, Polri, TNI, kejaksaan, hingga tokoh agama dan tokoh masyarakat harus mampu memberikan pencerahan dengan penuh kesabaran.
Aparatur pemerintah juga harus merespon berbagai keluhan masyarakat dengan memberikan tindakan yang tegas dan adil, bukan hanya sesuai ketentuan yang berlaku, tetapi juga norma dan kearifan lokal.
Jika tidak mampu menyahuti segala keluhan masyarakat tentang problematika sosial, apalagi justru berpihak dan tidak membuat keputusan yang adil, masalah yang ada justru akan menjadi "bom waktu" yang siap meledak jika ada yang menyulut.
Banyak pihak yang sebenarnya merusak tatanan yang sudah ada dengan alasan demokrasi, tetapi justru akan kontraproduktif bagi kondusifitas kemasyarakatan.
Ia mencontohkan pengaturan pembangunan rumah ibadah yang telah berlangsung lama, bahkan sejak masa orde baru yang cukup bangus.
Pengaturan agar rumah ibadah hanya boleh dibangun di lingkungan yang penganut agamanya banyak sangat perlu dipertahankan untuk menjaga kenyamanan dan ketenangan masyarakat.
"Kalau tidak ada pengaturan, bisa saja terjadi ekspansi politik keberagamaan," ujar alumni Leiden University Belanda itu.
Mengenai kerusuhan di Karo, peristiwa dinilai sebagai pengabaian terhadap potensi konflik dan adanya penelantaran nilai kearifan lokal (local wishdom).
Bagi etnis Karo, tanah memiliki nilai yang sangat tinggi untuk mendukung identitasnya, baik dalam sosial kemasyarakatan mau pun sebagai lahan mencari nafkah bagi masyarakat yang mayoritas hidup dalam bidang pertanian itu.
Penolakan warga Desa Lingga atas rencana penggunaan daerahnya sebagai lahan relokasi tahap kedua bagi pengungsi erupsi Gunung Sinabung telah lama beredar.
Seharusnya Pemkab Karo bijaksana menyikapi kondisi itu dengan melakukan sosialisasi dan pendekatan secara berkesinambungan agar program relokasi tersebut berjalan lancar.
"Warga yang protes adalah etnis Karo, yang mau menempati lahan itu juga etnis Karo. Pejabatnya juga mayoritas etnis Karo. Saya yakin, masalahnya lebih mudah diselesaikan jika ada pendekatan yang lebih intensif," kata Ansari.
Rusak citra
Kerusuhan yang terjadi di Karo dan Tanjungbalai tersebut dinilai dapat merusak citra Sumut yang selama ini dikenal sebagai miniatur Indonesia.
Anggota DPR RI asal Sumut Fadly Nurzal mengatakan, Sumut dianggap sebagai miniatur Indonesia karena mampu menjaga keharmonisan meski masyarakatnya sangat heterogen.
Meski memiliki dialek yang keras, etnis dan agama yang sangat beragam, tetapi kekerabatan dan kekompakan sangat tinggi sehingga tidak mudah diadu domba.
Bahkan dengan berbagai perbedaan dan dinamika yang ada itu, Sumut disebut menjadi salah satu model sekolah kepemimpinan bagi calon pemimpin nasional.
Namun dua peristiwa kerusuhan itu dapat merusak citra Sumut, terutama di Tanjungbalai yang masyarakat sangat relijius dan selama ini terkenal terbuka.
Politisi PPP itu berharap warga Tanjungbalai dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi dan dapat meningkatkan kekompakan yang telah terbina selama ini.
"Sebagai putera Tanjungbalai, saya meminta masyarakat, teman, dan keluarga yang ada disana agar menjaga kampung kita," katanya.
Berdasarkan geografis dan sumber daya, Sumut memiliki hampir semua potensi dan keunggulan ekonomi dan politik. Untuk itu, seluruh lapisan masyarakat harus mampu menjaga semua keunggulan dan potensi tersebut.
Kalau tidak bisa dijaga dengan baik, dikhawatirkan menjadi masalah yang ada akan menjadi "virus" yang berkepanjagan sehingga Sumut tidak akan menarik lagi.
Jika stigma buruk itu melekat, diperkirakan akan menimbulkan tantangan yang berat dalam mendorong pemberdayaan potensi dan keunggulan yang ada.
"Sumut tidak akan lagi menjadi cerminan nasional, pertumbuhan ekonomi juga akan terpengaruh. Apapun ceritanya, kerukunan yang sudah ada harus bisa terus dijaga," ujar Fadly Nurzal.
Jadi, cukuplah kerusuhan di Karo dan Tanjungbalai itu. Masalah akan selalu ada, tetapi mari sikapi dengan bijaksana agar Sumut terus menjadi kebanggaan masyarakat, termasuk disegani secara nasional. ***2***
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016