Keistimewaan aroma dan cita rasa kopi Nusantara ternyata belum menjadi pilihan masyarakat di negeri ini karena sebagian besar masyarakat lebih menyukai kopi instan yang didominasi rasa manis saat menyentuh lidah.

Nyatanya, sebagian besar kopi instan yang dinikmati masyarakat Indonesia merupakan kopi berkualitas rendah yang diimpor dari sejumlah negara seperti Malaysia, Brazil, India, Vietnam, Italia, dan Amerika, dengan iming-iming harga yang jauh lebih murah.

Betapa tidak, kopi dengan kualitas rendah asal Vietnam dibanderol dengan harga Rp10.000, sementara dengan kelas yang sama namun dengan cita rasa yang lebih baik, kopi Indonesia diberi harga Rp20.000.

Dampaknya, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini, kopi instan menjadi pilihan utama masyarakat saat bersantai maupun mengisi waktu luang.

"Daya belinya masih rendah. Mereka masih belum mampu membeli kopi asli di kedai kopi. Mereka masih beli kopi masif yang kemasan," ujar Ketua Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia Irfan Anwar dalam sebuah kesempatan.

Dengan demikian, biji kopi yang dihasilkan oleh petani kopi di dalam negeri, sebagian besar masih diekspor dan diminati pencinta kopi di 125 negara tujuan ekspor.

"Dari 685 ribu ton kopi asli Indonesia, 70 persennya dieskpor atau sekitar 400 ribu ton dari total produksi. Jauh lebih besar dibandingkan untuk konsumsi dalam negeri yang hanya 30 persennya," ujar Irfan.

Kapasitas produksi biji kopi Indonesia yang mencapai 685 ribu ton menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar ketiga setelah Brazil dan Vietnam, atau 8,9 persen dari produksi kopi di dunia.

Negara ini memiliki 11 kopi khas daerah, yang lazim disebut indikator geografis yaitu Kopi Arabika Gayo, Kopi Sumatera Arabika Simalungun Utara, Kopi Robusta Lampung, Kopi Arabika Java Preanger dan Kopi Java Arabika Sindoro-Sumbing.

Kemudian, Kopi Arabika Ijen Raung, Kopi Arabika Kintamani Bali, Kopi Arabika Kalosi Enrekang, Kopi Arabika Toraja, Kopi Arabika Flores Bajawa, dan Kopi Liberika Tungkal Jambi.

Indonesia juga memiliki berbagai jenis kopi "specialty grade coffee" yang dikenal di dunia, termasuk Luwak Coffee, yang harganya diketahui paling mahal, yakni mencapai 100 dolar AS per 450 gram.

Selain itu, kopi robusta asal Lampung juga masuk dalam kategori kopi spesial berdasarkan uji cita rasa di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember, Jawa Timur.

"Tiga sentra kopi di Lampung masuk dalam kategori spesial dan predikat tersebut bisa dimanfaatkan untuk dapat meningkatkan harga kopi," kata Asisten II Bidang Ekbang Setprov Lampung, Adeham.

Ia menyebutkan, keberhasilan tiga sentra kopi di Lampung, yakni Belalau dan Lumbok Seminung (Lampung Barat) serta kopi dari Pulau Panggung (Tanggamus),.

Tiga daerah sentra kopi di Lampung yang mendapat skor tertinggi dalam uji cita rasa itu diharapkan dapat bersaing dengan kopi asal Indonesia lainnya yang telah lebih dahulu mendunia.

Potensi industri kopi

Prospek pengembangan industri pengolahan kopi di Indonesia dinilai masih cukup baik, mengingat konsumsi kopi masyarakat Indonesia rata-rata baru mencapai 1,2 kg perkapita per tahun atau di bawah negara-negara pengimpor kopi seperti AS 4,3 kg, Jepang 3,4 kg, Austria 7,6 kg,  Belgia 8,0 kg, Norwegia 10,6 Kg dan Finlandia 11,4 Kg perkapita per tahun.

Menurut data Kementerian Perindustrian, ekspor produk kopi olahan tahun 2015 mencapai 356,79 juta dollar AS atau meningkat sekitar 8 persen dibandingkan tahun 2014.

Ekspor produk kopi olahan didominasi produk kopi instan, ekstrak, esens dan konsentrat kopi yang tersebar ke negara tujuan ekspor seperti Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura, China dan Uni Emirat Arab.

Menteri Perindustrian Saleh Husin mendorong pengembangan industri perkopian di dalam negeri dari hulu sampai hilir sehingga meningkatkan nilai tambah dan daya saing kopi Indonesia di pasar internasional.

Ini sekaligus untuk mengimbangi arus ekspor biji kopi yang masih dominan dibanding pengolahan di dalam negeri.

"Pengembangan industri kopi nasional masih perlu ditingkatkan karena saat ini baru mampu menyerap sekitar 35 persen produksi kopi dalam negeri dan sisanya sebesar 65 persen masih diekspor dalam bentuk biji," ungkap Saleh.

Kopi jadi prioritas

Guna memacu pengembangan industri pengolahan kopi, pemerintah bahkan telah menggelar Rapat Pengembangan Perkopian Nasional di Lampung dan dipimpin langsung oleh Wapres RI Jusuf Kalla, Februari lalu.

Dua menteri yaitu Saleh Husin dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman hadir pada rapat tersebut, termasuk tiga gubernur dari beberapa provinsi produsen kopi seperti Lampung, Jambi dan Sumatera Utara.

Dirjen Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto mengatakan, pihaknya telah memfasilitasi melalui beberapa kebijakan strategis antara lain industri pengolahan kopi masuk dalam industri pangan dan prioritas untuk dikembangkan.

"Selain itu pemerintah telah memberikan fasilitas pajak penghasilan, berdasarkan PP No.18 Tahun 2015 untuk investasi baru industri pengolahan kopi (KBLI 10761) di beberapa daerah di luar Jawa," kata Panggah.

Pemerintah juga melakukan harmonisasi tarif bea masuk (MFN) produk kopi olahan (kopi sangrai, kopi bubuk, kopi instan, kopi mix) dari 5 persen menjadi 20 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan No.132 Tahun 2015.

"Harmonisasi tarif ini dimaksudkan untuk memberikan iklim berusaha yang kondusif bagi industri pengolahan kopi di dalam negeri," tegasnya

Selanjutnya, Kemenperin telah memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kopi Instan secara wajib yang mulai berlaku secara efektif pada tanggal 17 Januari 2016 sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 87/M-IND/PER/10/2014.

Berbagai upaya tersebut, diharapkan mendongkrak kepopuleran kopi nusantara hingga mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Selain itu, menyeruput kenikmatan dari pahitnya kopi nusantara, diyakini akan memberi kesejahteraan yang manis bagi petani kopi dan industri di dalam negeri.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta

Editor : Fai


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016