Tahun 2015 mungkin layak disebut sebagai "tahun prahara" bagi perpolitikan dan pemerintahan di Sumatera Utara.

Betapa tidak, pada tahun 2015 sejumlah tokoh ternama dan memiliki peranan penting dalam perpolitikan dan pemerintah di Sumatera Utara ditahan unsur penegak hukum.

Tidak tanggung-tanggung, mulai Gubernur Gatot Pujo Nugroho, Ketua DPRD Ajib Shah, mantan Ketua DPRD Saleh Bangun, dan tiga mantan wakil ketua Sigit Pramono Asri, Chaidir Ritonga, hingga Kamaluddin Harahap mengalami penahanan.

Penahanan juga dialami Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpollinmas) Sumatera Utara Eddy Sofian yang tengah menjadi Penjabat Wali Kota Pematangsiantar juga ikut ditahan atas dugaan korupsi dana bantuan sosial.

Tidak tanggung-tanggung, proses hukum langsung dilakukan dua "raksasa" penegak hukum di Tanah Air, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung.

Proses hukum yang dijalankan KPK dan Kejaksaan Agung sampai saat ini masih menjadi pemberitaan hangat di berbagai media massa, termasuk bagi kalangan pers di Kota Medan.

Proses hukum sebelum penentuan tersangka juga menjadi perhatian, terutama ketika KPK melakukan penggeledahan di gedung DPRD dan beberapa kantor dinas di lingkungan Pempov Sumatera Utara.

Lain lagi dengan pemeriksaan secara periodik terhadap 100 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014, baik di kantor KPK di Jakarta mau pun di Mako Satuan Brimob Polda Sumatera Utara.

Tidak mau kalah dengan KPK yang melakukan penggeledahan sebanyak dua kali, Kejaksaan Agung juga menggeledah gedung DPRD Sumatera Utara terkait dugaan korupsi dana bantuan sosial.

"Seperti sebuah festivalisasi penegakan hukum," ucap pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Sohibul Ansor Siregar.

Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Ansai Yamamah menilai proses hukum yang dialami sejumlah tokoh pemerintahan dan politik itu wajar dianggap sebagai prahara.

Efeknya bukan hanya terhadap kelancaran pemerintahan, tetapi juga dapat mempengaruhi psikologis masyarakat Sumatera Utara.

Dikhawatirkan, penahanan terhadap sejumlah tokoh dengan tuduhan telah melakukan korupsi dapat menyebabkan masyarakat semakin sulit percaya kepada pemerintah.

Kondisi itu juga dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa rendah diri bagi masyarakat Sumatera Utara karena banyak tokoh yang dituduh telah melakukan perbuatan yang melangar hukum.

Padahal, bisa saja keterlibatan tokoh-tokoh itu bukan karena sengaja ingin menguntungkan diri sendiri atau kelompok, tetapi disebabkan kekeliruan dalam proses administrasi.

"Jadi, KPK dan Kejaksaan Agung perlu betul-betul menunjukkan bukti kesalahan tokoh-tokoh itu," ujarnya, menegaskan.

Pengamat politik yang juga Dosen UMSU Sohibul Ansor Siregar juga mengakui jika peristiwa hukum itu layak disebut sebagai prahara.

Prahara itu juga diyakini membawa efek negatif dalam kehidupan bermasyarakat di Sumatera Utara karena akan menambah kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Namun, prahara itu dinilai bukan hanya sebagai "aib" bagi Sumatera Utara karena praktik yang disangkakan tersebut juga terjadi di provinsi lain.

Malah, sikap yang ditunjukkan KPK dan Kejaksaan Agung tersebut justru menimbulkan tanda besar karena seolah-olah kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar.

"Seburuk itukah Sumatera Utara? Padahal di daerah lain juga banyak praktik korupsi dengan kerugian negara yang lebih besar," tambahnya.

Karena itu, Sohibul Ansor menilai peristiwa itu bukan hanya hanya prahara bagi Sumatera Utara, tetapi prahara nasional disebabkan "pencurian" uang negara juga banyak terjadi di daerah lain.

"Betul, itu prahara, tetapi bukan hanya bagi Sumatera Utara, tetapi juga bagi Indonesia," imbuhnya.

Meski penahanan sejumlah tokoh itu menjadi prahara, tetapi ia menilai peristiwa itu tidak terlalu mengganggu pemerintah dan perekonomian di Sumatera Utara.

Hal itu disebabkan pemerintahan di Sumatera Utara seperti "autopilot" dengan minimnya program yang betul-betul menyentuh kehidupan masyarakat.

Hal itu dapat terlihat APBD Sumatera Utara yang sangat minim ditujukan untuk masyarakat. "APBD lebih besar untuk belanja pegawai, bukan untuk program," ujar Sohibul.

    
Awan kelabu

Meski banyak tokoh yang ditahan, namun Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman menilai masalah yang terjadi di Sumatera Utara itu hanya seperti "awan kelabu" yang akan segera berlalu.

Secara pribadi, Irman Gusman memang mengakui jika proses hukum yang dialami sejumlah tokoh di Sumatera Utara menimbulkan keprihtainan.

Namun, dibalik awan kelabu yang mengelayuti Sumatera Utara tersebut, banyak prestasi yangdiraih provinsi itu yang luput dari perhatian masyarakat.

Salah satu di antaranya adalah keberhasilan Pemprov Sumatera Utara meraih opini "Wajar Tanpa Pengecualian" (WTP) dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

"Inilah pertama kali dalam sejarah pemerintah di Sumatera Utara, pengelolaan keuangannya itu mendapatkan penghargaan tertinggi yang dikenal dengan WTP. Itu prestasi yang tidak mudah," tuturnya.

Meski sejumlah tokoh mengalami masalah hukum, tetapi Irman Gusman menilai penghargaan itu dapat menjadi indikasi bahwa pengelolaan keuangan dan pemerintahan di Sumatera Utara semakin akuntabel dan transparan.

Memang, keberhasilan meraih opini WTP tersebut bukan segalanya, tetapi paling tidak ada pertanda baik terhadap kemauan dalam membenahi pemerintahan.

Selain itu, berdasarkan penilaian Bank Indonesia (BI), Sumatera Utara juga dianggap sebagai daerah yang paling baik mengendalikan inflasi dalam beberapa tahun terakhir.

Jika dilihat secara umum, Sumatera Utara juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup bahkan, bahkan diatas rata-rata nasional.

"Jadi, apa yang terjadi saat ini, bagian dari proses menuju yang lebih baik," tukas Irman, berharap.

Pewarta: Irwan Arfa

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016