Rio de Janeiro, 3/7 (Antara/AFP) - Blaise Matuidi beruntung dapat memperkuat Prancis pada pertandingan perempat final Piala Dunia melawan Jerman, namun kehadirannya di lapangan Stadion Maracana pada Jumat akan menjadi vital bagi Les Bleus.
Pemain 27 tahun itu beruntung hanya mendapat kartu kuning pada pertandingan putaran 16 besar melawan Nigeria yang dimainkan Senin, ketika tekel yang dilakukannya terhadap Ogenyi Onazi membuat lawannya itu mengalami cedera pergelangan kaki.
Matuidi menghampiri ruang ganti Nigeria setelah Prancis menang 2-0 di Brasilia untuk meminta maaf terhadap tindakannya itu.
Tentunya, itu bukan karakter yang biasa diperlihatkan pemain yang lebih dikenal sebagai sosok tidak kenal lelah di lapangan tengah dibanding sebagai pemain yang agresif, serta sangat diperlukan baik oleh negaranya maupun di klubnya Paris Saint Germain.
Ia akan tampil untuk ke-28 kalinya bagi Prancis ketika mereka berharap dapat tampil lebih baik daripada Jerman, yang merupakan salah satu favorit kuat untuk menjadi juara dan akhirnya mendapat kesempatan untuk membalas dendam atas kekalahan menyesakkan dari Les Bleus di semifinal Piala Dunia 1982 dan 1986.
Matuidi, yang mencetak gol ketika timnya menang 5-2 atas Swiss pada fase grup di Salvador, tampil gemilang di lapangan tengah bersama Yohan Cabaye dan Paul Pogba, trio pemain yang menawarkan kemampuan mendistribusikan bola, energi, kecepatan, serta ancaman ke gawang lawan.
Sejauh ini lini tengah Jerman begitu mendominasi pada pertandingan-pertandingan yang mereka mainkan, di mana Toni Kroos dan Philipp Lahm menjadi pemain-pemain teratas di kompetisi ini untuk operan akurat, namun mereka belum menghadapi lawan dengan kualitas seperti Prancis.
Matuidi memiliki catatan operan yang lebih banyak daripada kolega-koleganya, dan wilayah penguasaan yang lebih besar juga, staminanya tidak memperlhatkan tanda-tanda mengendur ketika ia bersiap untuk memainkan pertandingan ke-66nya untuk klub dan timnas sejak awal musim.
"Jerman merupakan favorit sebab rekor mereka di masa lalu. Namun apapun dapat terjadi dalam satu pertandingan," kata Matuidi, yang kembali dipanggil masuk timnas ketika mereka kalah 1-2 dari pasukan Joachim Loew pada pertandingan persahabatan di Paris tahun lalu, memberi peringatan.
"(Mesut) Ozil merupakan pengatur permainan mereka dan kami bermain dalam (formasi) 4-4-2. Ia bergerak di antara lini-lini dan memberi kami masalah. Namun kami telah berkembang sejak itu dan ini akan menjadi pertandingan yang berbeda."
Kaki tetap menginjak bumi
Matuidi, yang tumbuh besar dengan mendukung PSG dan kemudian bergabung dengan klub ibukota itu dari Saint Etienne pada 2011, menyebut Jay-Jay Okocha sebagai pahlawan masa kecilnya dan Claude Makelele sebagai panutannya.
Namun ketika Okocha dikenal sebagai pengatur permainan berbakat dan Makelele sebagai salah satu purwarupa gelandang bertahan pada satu dekade silam, Matuidi merupakan contoh sempurna dari pemain bertipe "box-to-box" modern.
"Peran saya adalah mematahkan lini pertama dari pertahanan. Kami selalu berkata, ketika Anda mendapat bola, Anda perlu secepat mungkin bergerak ke depan. Saya berusaha untuk berlari sebanyak mungkin untuk mendapatkan posisi-posisi yang menarik. Itu membuat saya menjadi lebih menentukan," ucapnya kepada harian olahraga Prancis L'Equipe.
Ia telah mencetak gol demi gol saat memperkuat PSG, menjadi salah satu aktor penentu di tim yang memenangi dua gelar Liga Prancis terakhir, dan ia mendapatkan imbalannya pada awal tahun ini dengan kontrak baru yang mengikatnya sampai 2018.
Kabar mengenai kesepakatan ini menjadi hal yang mengecewakan bagi klub-klub yang mengejarnya di seluruh Eropa, namun Matuidi selalu menjaga "kakinya tetap menginjak bumi" dan tidak pernah melupakan dari mana ia berasal.
"Ibu dan ayah saya datang dari Angola. Mereka meninggalkan negara itu karena perang dan sempat menghabiskan waktu di Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo) sebelum mencoba peruntungannya di Eropa," ucapnya.
Ia menambahkan bahwa ia sangat bangga dengan darah Angolanya, namun bahwa "jauh di lubuk hati, saya selalu ingin bermain untuk Prancis."
"Bermain di Piala Dunia ini telah menjadi impian yang menjadi kenyataan," ucapnya, dan Matuidi dapat mengunci tempatnya di cerita rakyat sepak bola Prancis dengan membantu Les Bleus menembus semifinal, di mana kemungkinan mereka akan bertemu tuan rumah Brazil. (H-RF)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014
Pemain 27 tahun itu beruntung hanya mendapat kartu kuning pada pertandingan putaran 16 besar melawan Nigeria yang dimainkan Senin, ketika tekel yang dilakukannya terhadap Ogenyi Onazi membuat lawannya itu mengalami cedera pergelangan kaki.
Matuidi menghampiri ruang ganti Nigeria setelah Prancis menang 2-0 di Brasilia untuk meminta maaf terhadap tindakannya itu.
Tentunya, itu bukan karakter yang biasa diperlihatkan pemain yang lebih dikenal sebagai sosok tidak kenal lelah di lapangan tengah dibanding sebagai pemain yang agresif, serta sangat diperlukan baik oleh negaranya maupun di klubnya Paris Saint Germain.
Ia akan tampil untuk ke-28 kalinya bagi Prancis ketika mereka berharap dapat tampil lebih baik daripada Jerman, yang merupakan salah satu favorit kuat untuk menjadi juara dan akhirnya mendapat kesempatan untuk membalas dendam atas kekalahan menyesakkan dari Les Bleus di semifinal Piala Dunia 1982 dan 1986.
Matuidi, yang mencetak gol ketika timnya menang 5-2 atas Swiss pada fase grup di Salvador, tampil gemilang di lapangan tengah bersama Yohan Cabaye dan Paul Pogba, trio pemain yang menawarkan kemampuan mendistribusikan bola, energi, kecepatan, serta ancaman ke gawang lawan.
Sejauh ini lini tengah Jerman begitu mendominasi pada pertandingan-pertandingan yang mereka mainkan, di mana Toni Kroos dan Philipp Lahm menjadi pemain-pemain teratas di kompetisi ini untuk operan akurat, namun mereka belum menghadapi lawan dengan kualitas seperti Prancis.
Matuidi memiliki catatan operan yang lebih banyak daripada kolega-koleganya, dan wilayah penguasaan yang lebih besar juga, staminanya tidak memperlhatkan tanda-tanda mengendur ketika ia bersiap untuk memainkan pertandingan ke-66nya untuk klub dan timnas sejak awal musim.
"Jerman merupakan favorit sebab rekor mereka di masa lalu. Namun apapun dapat terjadi dalam satu pertandingan," kata Matuidi, yang kembali dipanggil masuk timnas ketika mereka kalah 1-2 dari pasukan Joachim Loew pada pertandingan persahabatan di Paris tahun lalu, memberi peringatan.
"(Mesut) Ozil merupakan pengatur permainan mereka dan kami bermain dalam (formasi) 4-4-2. Ia bergerak di antara lini-lini dan memberi kami masalah. Namun kami telah berkembang sejak itu dan ini akan menjadi pertandingan yang berbeda."
Kaki tetap menginjak bumi
Matuidi, yang tumbuh besar dengan mendukung PSG dan kemudian bergabung dengan klub ibukota itu dari Saint Etienne pada 2011, menyebut Jay-Jay Okocha sebagai pahlawan masa kecilnya dan Claude Makelele sebagai panutannya.
Namun ketika Okocha dikenal sebagai pengatur permainan berbakat dan Makelele sebagai salah satu purwarupa gelandang bertahan pada satu dekade silam, Matuidi merupakan contoh sempurna dari pemain bertipe "box-to-box" modern.
"Peran saya adalah mematahkan lini pertama dari pertahanan. Kami selalu berkata, ketika Anda mendapat bola, Anda perlu secepat mungkin bergerak ke depan. Saya berusaha untuk berlari sebanyak mungkin untuk mendapatkan posisi-posisi yang menarik. Itu membuat saya menjadi lebih menentukan," ucapnya kepada harian olahraga Prancis L'Equipe.
Ia telah mencetak gol demi gol saat memperkuat PSG, menjadi salah satu aktor penentu di tim yang memenangi dua gelar Liga Prancis terakhir, dan ia mendapatkan imbalannya pada awal tahun ini dengan kontrak baru yang mengikatnya sampai 2018.
Kabar mengenai kesepakatan ini menjadi hal yang mengecewakan bagi klub-klub yang mengejarnya di seluruh Eropa, namun Matuidi selalu menjaga "kakinya tetap menginjak bumi" dan tidak pernah melupakan dari mana ia berasal.
"Ibu dan ayah saya datang dari Angola. Mereka meninggalkan negara itu karena perang dan sempat menghabiskan waktu di Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo) sebelum mencoba peruntungannya di Eropa," ucapnya.
Ia menambahkan bahwa ia sangat bangga dengan darah Angolanya, namun bahwa "jauh di lubuk hati, saya selalu ingin bermain untuk Prancis."
"Bermain di Piala Dunia ini telah menjadi impian yang menjadi kenyataan," ucapnya, dan Matuidi dapat mengunci tempatnya di cerita rakyat sepak bola Prancis dengan membantu Les Bleus menembus semifinal, di mana kemungkinan mereka akan bertemu tuan rumah Brazil. (H-RF)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014