Jakarta, 27/5 (Antara) - Pemilu Presiden 2014 sudah di depan mata. Para kandidat pun telah menemukan komposisi koalisi dan tinggal menunggu pengesahan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bersaing dalam Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014.

Terdapat dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang akan bersaing. Joko Widodo-Jusuf Kalla diusung PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKPI. Sedangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa diusung Partai Gerindra, PAN, Partai Golkar, PKS, PPP, dan PBB.

Berbagai sosialisasi sudah dilakukan kedua pasangan kandidat. Visi dan misi sudah dipaparkan. Namun, belum ada kandidat yang secara khusus menyampaikan pandangannya mengenai pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender.

Lalu, bagaimana harapan kaum perempuan Indonesia terhadap kedua kandidat itu?.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Linda Amalia Sari Gumelar berharap presiden terpilih mendatang bisa meneruskan upaya pemerintah saat ini dalam perjuangan pengarusutamaan gender.

"Saya sebagai Menteri PPPA berharap upaya yang telah dilakukan pemerintah saat ini terhadap pengarusutamaan gender, kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, bisa diteruskan," kata Linda Gumelar.

Menurut dia, presiden terpilih harus memiliki komitmen kuat secara konkret dalam isu-isu kesetaraan gender. Selain itu, pemimpin nasional juga harus bisa memahami bahwa suatu negara akan maju bila perempuan diberi akses dan kesempatan.

"Kondisi saat ini perempuan memang masih tertinggal. Kalau seperti ini terus tidak akan maju. Perlu terobosan yang lebih kuat dalam upaya pemberdayaan perempuan," tuturnya.

Setengah Hati
Linda menilai kebijakan afirmasi 30 persen perempuan di legislatif saat ini masih setengah hati karena persentase tersebut tidak pernah tercapai.

"DPR dan pemerintah perlu merevisi Undang-Undang Pemilu yang lebih berpihak pada perempuan supaya keterwakilan 30 persen bisa terpenuhi," katanya.

Linda mengatakan saat ini 30 persen keterwakilan perempuan baru ada dalam daftar calon tetap (DCT). Karena itu, mungkin perlu dipikirkan aturan perundang-undangan yang bisa langsung memberikan kuota 30 persen untuk anggota legislatif perempuan.

Linda mengatakan kebijakan memberikan kuota tertentu untuk anggota legislatif perempuan sudah dilakukan di beberapa negara. Anggota legislatif perempuan tidak melalui proses pemilu tetapi ditunjuk langsung.

"Tentu saja dipilih perempuan yang berkualitas dan bisa memperjuangkan aspirasi perempuan. Kalau jumlah perempuan di legislatif lebih banyak, parlemen pasti jadi lebih kuat," tuturnya.

Menurut Linda, penurunan kursi perempuan di parlemen akan berimplikasi pada penurunan atau stagnasi indeks pembangunan manusia, terutama indeks pemberdayaan gender, dan indeks demokrasi pada aspek hak-hak politik perempuan.

Kedua jenis indeks tersebut, kata Linda, dipengaruhi persentase keterwakilan perempuan di parlemen, baik pusat maupun daerah.

"Hal ini akan berimplikasi pada pandangan dunia internasional yang melihat pembangunan SDM di Indonesia relatif tidak bergerak naik, sementara negara-negara lain terus bergerak maju. Ini memberi kesan Indonesia sulit bersaing dengan dunia internasional," katanya.

Pemilu Legislatif 2014 hanya menghasilkan 97 kursi atau 17,32 persen untuk anggota legislatif perempuan. Hasil itu berbanding terbalik dengan Pemilu 2009 yang naik signifikan. Saat itu, perempuan mendapatkan 103 kursi atau 18,3 persen di DPR.

Tak Hanya Politik
Menurut Linda, pemberdayan perempuan tidak hanya di bidang politik, yaitu keterwakilan di legislatif saja. Ada bidang-bidang lain yang harus diisi untuk memberdayakan perempuan.

Apabila perempuan diberdayakan di berbagai bidang, lanjutnya, niscaya perempuan akan bisa menjadi ibu dan warga negara yang berkualitas.



"Perempuan tidak akan mengalami kekerasan, pedagangan manusia, menjadi korban pornografi dan lemah berhadapan dengan hukum karena menjadi kurir narkoba," katanya.

Linda menuturkan selama lima tahun menjadi menteri, dia banyak menemui hal-hal yang menyentuh dan melihat langsung bagaimana perempuan menjadi objek dan dijerumuskan.

Linda mengatakan harapan perempuan terhadap pemimpin nasional memang sangat besar. Namun, seringkali perempuan bukan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting.

"Perempuan itu seringkali tidak terlihat. Tapi kalau tidak ada, seringkali dicari-cari," katanya.

Perempuan di Kabinet
Terkait dengan perempuan yang duduk di kabinet sebagai menteri, Linda berharap jumlahnya bisa ditingkatkan oleh presiden yang nantinya terpilih.

"Kita memiliki banyak perempuan yang berpotensi. Kalau saat ini ada empat perempuan di kabinet, kami berharap ditambah. Masih banyak posisi menteri yang perempuan juga ahli di bidang itu," tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik Titi Sumbung mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kuota 30 persen untuk perempuan sudah final.

"Karena itu, dalam kabinet mendatang jumlah perempuan yang menjadi menteri juga harus 30 persen dari total seluruh menteri," kata Titi Sumbung.

Sedangkan Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) Dewi Motik Pramono berharap kabinet pemerintahan mendatang lebih banyak diisi oleh para profesional.

"Kabinet harus lebih banyak diisi para profesional, bukan politisi dari partai. Kita tidak ingin lagi melihat ada satu kabinet yang penuh dengan orang-orang partai yang tidak profesional dan hanya memikirkan kepentingan partai bukan rakyat," kata Dewi Motik.

Menurut dia, pejabat pemerintahan dari kalangan profesional akan lebih bisa berkonsentrasi untuk mengurus negara karena tidak harus memikirkan mencari dana untuk partai.

"Taruhlah orang yang tepat di tempat yang tepat," tambahnya.

Dewi juga menyatakan harapannya supaya perempuan Indonesia bisa lebih banyak mempimpin di masa depan.

"Semakin banyak perempuan menunjukkan hasil karyanya untuk bangsa ini. Kebanyakan dari mereka tidak berasal dari partai politik," katanya
Namun, Dewi kurang sepakat bila perempuan diberi kesempatan menjadi pemimpin, baik di parlemen maupun kabinet, hanya karena untuk memenuhi kuota 30 persen.

Menurut Dewi, dia lebih mendukung perempuan menjadi pemimpin karena kepandaian, kemampuan dan kualitasnya, bukan karena kuota.

"Saya tidak percaya dengan kuota. Yang penting adalah kualitas. Orang-orang yang ada di pemerintahan atau parlemen harus orang yang punya karya," tuturnya. (T.D018/A051)

Pewarta: Dewanto Samodro dan Amie Fenia Arimbi

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014