Oleh Masduki Attamami



Yogyakarta, 5/4 (Antara) - Masa tenang menjelang pemungutan suara pemilihan umum legislatif 9 April bisa jadi justru sebaliknya, menjadi hari-hari tidak tenang, terutama bagi para calon anggota legislatif.

Mereka menunggu hari pencoblosan, dan kemudian menanti hasil hitung cepat (quick count) perolehan suara dari pesta demokrasi lima tahunan ini.

Hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei maupun lembaga lainnya tampaknya paling ditunggu, meski pemegang otoritas dan pemilik kewenangan resmi untuk menghitung dan mengumumkan hasil pemungutan suara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Oleh karena itu, KPU meminta lembaga swasta atau lembaga survei yang melakukan hitung cepat perolehan suara pemilu melampirkan keterangan "bukan hasil resmi KPU".

"Hasil hitung cepat (quick count) yang dikeluarkan lembaga swasta harus melampirkan keterangan "bukan hasil resmi Komisi Pemilihan Umum", agar masyarakat mengetahui bahwa itu hasil perolehan dari 'sampling'," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.

Ia menegaskan lembaga swasta tersebut harus menjelaskan bahwa itu perkiraan atau prediksi, bukan hasil penghitungan resmi secara keseluruhan.

Hadar mengatakan KPU telah menggelar rapat pleno pasca Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD pada 3 April lalu.

Dari hasi pleno tersebut diputuskan bahwa Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat (Parmas) akan dihapus mengenai sanksi pidana terhadap lembaga yang menjelaskan hasil survei pada masa tenang, dan hitung cepat pada dua jam setelah pemungutan suara selesai di wilayah Indonesia bagian barat.

"Kami sudah melakukan rapat pleno, dan sudah kami putuskan bahwa peraturan itu akan kami ubah langsung, termasuk ketentuan sanksi pidananya juga hilang," kata Hadar.

Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, khususnya pasal 247 ayat 2, ayat 5, dan ayat 6; pasal 291; serta pasal 317 ayat 1 dan ayat 2.

"Menyatakan Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu Legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan.

MK mempertimbangkan bahwa jajak pendapat atau survei maupun penghitungan cepat (quick count) hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah suatu bentuk pendidikan, pengawasan, dan penyeimbang dalam proses penyelenggaran negara termasuk pemilihan umum.

Sejak awal, menurut MK, "quick count" bukanlah hasil resmi dan itu sudah diketahui oleh umum (notoir feiten), sehingga tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi, namun masyarakat berhak mengetahui.

Maka, pengumuman hasil survei pada masa tenang menjelang Pemilu maupun pengumuman hasil "quick count" begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional, bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945.

Terkait dengan hasil hitung cepat, menurut MK tidak ada data akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman "quick count" itu telah mengganggu ketertiban umum, atau menimbulkan keresahan di masyarakat.

Namun, seperti ditegaskan anggota Majelis Hakim MK, Maria Farida saat membacakan pertimbangan hukumnya,
objektivitas lembaga yang melakukan survei dan penghitungan cepat harus independen, dan tidak dimaksudkan untuk menguntungkan atau memihak salah satu peserta pemilu.

"Sehingga, lembaga survei yang mengumumkan hasil survei dan penghitungan cepat (quick count) harus tetap bertanggung jawab, baik secara ilmiah maupun secara hukum," katanya.

Digugat
Sejumlah lembaga survei menggugat ketentuan larangan pengumuman hasil penghitungan cepat pemilu yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD ke Mahkamah Konstitusi.

Para pemohon yang terdiri atas Pt Indikator Politik Indonesia, Pt Saiful Mujani, dan Pt Pedoman Riset mengajukan gugatan agar MK menguji Pasal 247 ayat (2), (5), (6), Pasal 291, dan Pasal 317 ayat (1) dan (2) UU Pemilu Legislatif.

Kuasa hukum pemohon, Andi Suafrani, saat sidang di MK di Jakarta, mengatakan norma yang diuji tersebut sebenarnya telah dibatalkan dalam putusan MK Nomor 09/PUU-VII/2009, yakni menghapus Pasal 245 ayat (2,) (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.

"Larangan pengumuman survei pada masa tenang menghilangkan semangat reformasi yakni kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat.

Hal ini bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945," kata Andi Syafrani, saat membacakan permohonannya di depan majelis panel yang diketuai Muhammad Alim.

Pasal 247 ayat (2) berbunyi: "Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang".

Pasal 247 ayat (5): "Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat" dan ayat (6)-nya menyebutkan: "Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu".

Sementara Pasal 291 menyebutkan: "Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12 juta".

Sedangkan Pasal 317 mengatur ancaman pidana dan denda jika lembaga survei tidak memberitahukan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi pemilu, dan memberitahukan hasilnya sebelum 2 jam.

Menurut Andi, larangan pengumuman hasil survei saat masa tenang dalam Pasal 247 ayat (2) kontraproduktif dengan cita-cita menjaga kualitas demokrasi dan pemilihan umum. Sebab, survei seperti halnya hasil penelitian lain selayaknya dapat diumumkan kapan pun kepada publik.

"Beberapa pemohon akan melakukan 'quick count' di media televisi, sehingga pasal-pasal itu berpotensi merugikan pemohon," katanya.

Menanggapi permohonan ini, Anggota Panel Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan seharusnya pemohon mengawali permohonan ini dengan konstruksi putusan MK yang mengabulkan pengujian Pasal 245 UU Pemilu Legislatif.

Dia meminta pemohon menguraikan latar belakang dimuatnya materi itu dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 oleh pembentuk undang-undang, dan menggambarkan secara lengkap putusan MK Nomor 09/PUU-VII/2009 termasuk diperhatikan dasar pengujiannya pasal berapa.

"Jika perlu, uraikan bentuk pertanyaan kenapa ketentuan yang sudah dihapus dimuat lagi dalam perubahan undang-undang berikutnya," kata Fadlil. (M008)

Pewarta: Masduki Attamami

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014