Jakarta, 19/12 (Antara) - Kondisi perekonomian Indonesia tahun 2014 antara lain terlihat dari postur APBN 2014 yang telah disahkan DPR RI pada 25 Oktober 2013.

Dalam APBN tersebut disepakati sejumlah asumsi dasar, yakni pertumbuhan ekonomi 6,0 persen; inflasi 5,5 persen; nilai tukar Rp10.500 per dolar AS; tingkat suku bunga surat perbendaharaan negara tiga bulan sebesar 5,5 persen; harga minyak 105 dolar AS per barel; dan lifting minyak dan gas bumi 2.110 ribu barel per hari dengan rincian lifting minyak 870 ribu barel per hari dan lifting gas 1.240 ribu barel setara minyak per hari.

Berdasarkan asumsi makro yang telah disepakati itu, maka pendapatan negara pada 2014 ditaksir Rp1.667,14 triliun yang terdiri dari pendapatan dalam negeri sebesar Rp1.665,78 triliun dan penerimaan hibah Rp1,36 triliun.

Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.280,39 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp385,39 triliun. Belanja negara dipatok Rp1.842,5 triliun.

Jadi, terdapat defisit sebesar Rp175,4 triliun atau 1,69 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.249,9 triliun dan transfer ke daerah Rp592,6 triliun. Belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp637,8 triliun dan belanja non kementerian/lembaga Rp612,1 triliun.

Komite Ekonomi Nasional (KEN) memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,5 persen atau lebih lambat dari pertumbuhan tahun 2013 sebesar 5,7 persen.

Hal itu mirip dengan proyeksi "International Monetary Fund" (IMF) dan beberapa lembaga swasta, seperti Goldman Sachs, HSBC, Barclays Capital dan Credit Suisse.

Bahkan, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan yang lebih rendah 5,4 persen sebagaimana Citigroup (5,3 persen) dan JP Morgan (4,9 persen).

Meskipun ada juga yang berpandangan optimistik semisal ADB, OECD, DBS dan ANZ (6,0 persen) serta ING Group paling optimistis (7,0 persen). Perbedaan proyeksi itu menggambarkan tingkat kepercayaan pihak asing yang berfluktuasi.

Sementara itu, di dalam negeri berkembang sentimen yang meragukan efektivitas APBN dalam melayani kebutuhan rakyat, apalagi menyejahterakan golongan fakir-miskin yang masih sangat besar jumlahnya.

Hal itu diwakili oleh FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) yang menyebutkan empat lubang potensi kebocoran APBN 2014.

Pertama, dari pos BUMN yang diyakini bakal jadi "sapi perahan" kepentingan politik.

Laba ditahan milik BUMN sebesar Rp407,3 triliun dan laba tidak disetor di 15 BUMN berpotensi dimanfaatkan kelompok kepentingan politik menjelang Pemilu.

Potensi kedua berasal dari alokasi dana optimalisasi bagi kementerian/lembaga pemerintahan sebesar Rp26,9 triliun, tanpa dibarengi evaluasi atas kinerja kementerian/lembaga, itu berpotensi menjadi dana titipan buah kolaborasi birokrat dengan politikus tertentu.

Tidak hanya itu, potensi ketiga, alokasi dana untuk program-program populis atas nama pengentasan kemiskinan mulai dari Bantuan Siswa Miskin, Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Miskin (Raskin), BPJS dan PNPM yang nilai totalnya mencapai Rp52,9 triliun berpotensi sebagai alat mobilisasi di daerah.

PKH yang dikelola Kementerian Sosial telah memiliki basis data penerima yang teruji dan mekanisme pengiriman langsung melalui PT Pos Indonesia, sehingga relatif lebih terjamin.
Sementara bantuan lain harus dikaji mekanisme dan validitas data penerimanya.

Potensi paling rawan, pos bantuan sosial (Bansos) sebesar Rp75,7 triliun yang tersebar di 14 kementerian/lembaga di mana Rp25,6 triliun di antaranya tersebar di 10 BUMN yang bakal menjadi ATM bagi kepentingan politik.

Sejumlah kasus penyimpangan bansos di berbagai daerah telah terkuak, namun bansos pusat harus dikawal lebih ketat, termasuk oleh masyarakat.

Kecurigaan LSM belum tentu benar, namun tragisnya kepercayaan publik terhadap efektivitas pemerintah dan kontinuitas kebijakan telanjur merosot drastik.

APBN 2014 dapat dibilang sebagai dokumen transisi, karena pemerintahan baru hasil Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2014 mungkin melakukan revisi dan menetapkan APBN-Perubahan sesuai visi dan misi pembangunannya.

Dalam konteks ini, patut dipertimbangkan inisiatif untuk menetapkan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) sebagaimana GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), sehingga pergantian rezim pemerintahan tidak memengaruhi kebijakan pembangunan yang mendasar. Hak-hak fundamental rakyat harus mendapat perlindungan, agar terhindar dari gonta-ganti kebijakan politik.

Terjebak Rutinitas
Menarik, penilaian aktual KEN terhadap kebijakan moneter ketat yang dilakukan Bank Indonesia saat ini, bahwa hal itu tidak akan menjawab permasalahan fundamental ekonomi.

Dampak dari kebijakan penaikan suku bunga tabungan dan pinjaman yang nyata adalah menurunnya volume kredit yang disalurkan, selanjutnya menekan konsumsi publik dan akhirnya pertumbuhan ekonomi juga terkoreksi.

Ekonomi nasional mungkin sehat secara makro, namun tingkat kesejahteraan rakyat bisa merosot di tengah hingar-bingar pesta demokrasi. Karena itu, tak aneh masyarakat yang semakin miskin menjadi permisif terhadap gejala politik uang.

Di samping kebijakan reaktif Bank Indonesia, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mencanangkan paket kebijakan jangka menengah dan panjang untuk mengatasi defisit transaksi berjalan.

Pertama, mendorong ekspor dan daya saing produk manufaktur, meliputi: perbaikan kualitas logistik dan infrastruktur, pelayanan birokrasi, peningkatan produktivitas dan keahlian tenaga kerja.

Kedua, mengurangi ketergantungan impor barang konsumsi dan minyak, meliputi perbaikan struktur industri hulu dan hilir, mengurangi impor BBM dan menggantikannya dengan gas.

Ketiga, memberikan insentif pajak untuk dunia usaha yang menanamkan kembali keuntungan usahanya di Indonesia.

Keempat, mengatasi tingginya inflasi dan ketidakseimbangan eksternal, meliputi mengganti kebijakan tata niaga yang tidak efisien dengan kebijakan tarif, meniadakan pungutan di jalan dan di instansi pemerintahan, memperbaiki infrastruktur pertanian dan sistem produksi pertanian.

Semua agenda itu sesungguhnya adalah kebijakan rutin yang harus dijalankan pemerintah secara konsisten, tetapi selama ini diabaikan. Akibatnya, defisit terjadi dan nilai tukar rupiah tertekan, pada gilirannya cadangan devisa terkuras dalam waktu singkat.

Nilai tukar rupiah menembus angka terlemah pada 5 Desember lalu, yakni Rp12.018 per dolar AS.

Kondisi itu mendekati kurs terlemah pada 2 Maret 2009, yaitu Rp 12.025 per dolar AS. Kinerja ekonomi pemerintah bisa dinilai "setback", dalam konteks ini.

Respons yang dilakukan otoritas moneter juga terkesan panik, sehingga tak mampu menenangkan pasar. Apalagi, di akhir/awal tahun akan muncul fenomena borong valas karena elite pejabat dan kelas menengah atas hobi pesiar ke luar negeri.

Stabilisasi makro perekonomian yang berjalan lambat seakan membuktikan pemerintah tak bekerja serius.

Karena itu, KEN mengusulkan Satuan Tugas untuk mencari solusi jangka pendek dari defisit neraca transaksi berjalan yang saat ini (kuartal III) mencapai 3,8 persen dari PDB.

Sebelumnya, pada kuartal II, defisit sempat menembus 4,4 persen dari PDB. Namun, efektivitas Satgas juga masih tanda-tanya sebagaimana Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan sejenisnya yang pernah muncul.

Proses pemulihan ekonomi Indonesia tentu dipengaruhi juga oleh ketidakpastian ekonomi global yang diakibatkan perubahan arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat.

Pengurangan stimulus fiskal AS akan menarik arus uang dolar AS, sehingga memukul perekonomian negara-negara yang mematok dolar AS dalam transaksinya.

Sudah saatnya dipertimbangkan agar Indonesia melepaskan diri dari ketergantungan terhadap dolar AS dan menerapkan sistem kurs tetap, agar perekonomian lebih terkendali.

Akhir tahun 2013 Pemerintah malah merencanakan revisi daftar negatif investasi demi membuka akses baru bagi investor asing di berbagai bidang.

Sektor bisnis yang rencananya dibuka untuk asing adalah: pelabuhan laut (bisa mencapai 49 persen), operator bandar udara (100 persen), jasa kebandaraan (49 persen), terminal darat untuk barang (49 persen), dan periklanan (terutama negara-negara anggota ASEAN mencapai 49 persen).

Faktanya, dominasi asing sudah terjadi pada sejumlah sektor penting dalam ekonomi nasional kiwari: 50,6 persen aset perbankan nasional, 40 persen dari 8,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit, pertambangan (70-85 persen tambang migas, batubara, tembaga dan emas), dan telekomunikasi (35-66 persen perusahaan telekomunikasi nasional).

Kebijakan baru nanti, apakah akan memperkuat perekonomian nasional ataukah justru menggoyahkannya secara sistematis?
Indonesia for Global Justice (IGJ) membeberkan fakta sedikitnya 29 persen kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Tanah Air kini telah dikuasai asing, seperti perusahaan Australia, Brazil, Singapura dan Thailand.

Penguasaan asing di sektor kelautan dan perikanan meliputi kegiatan pertambangan pasir, pariwisata bahari, budidaya dan kawasan penampung limbah. Pada saat yang sama, revisi UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil membuka peluang investasi asing dan memicu kriminalisasi terhadap nelayan dan masyarakat ada di laut. Sebuah tragedi telah menerawang ke depan.

Komitmen Politik
Menyaksikan persoalan bangsa yang sangat kompleks dan mengkhawatirkan itu, tiba saatnya bagi para politikus dari kelompok atau partai manapun untuk menegakkan komitmen bahwa keberlanjutan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan yang tak bisa ditawar.

Mari hentikan praktik penyimpangan anggaran negara untuk membeli suara rakyat, sebab hal itu jelas-jelas menciderai prinsip demokrasi dan pondasi negara kesejahteraan.

Tuntutan serupa juga berlaku kepada aparat birokrasi yang selama ini berkongkalikong dengan politisi. Jika penyimpangan terus berlangsung, maka suatu ketika rakyat akan marah dan fondasi negara akan rapuh karena defisit kepercayaan publik mencapai titik tertinggi.

Berdasarkan fakta dan kecenderungan yang ada, maka seluruh komponen bangsa perlu berpartisipasi dalam mengawal perekonomian nasional di Tahun Ketidakpastian dengan berbagai cara.

Kesatu mulai dari mendorong Pemerintah dan penentu kebijakan ekonomi nasional agar menerapkan konsistensi kebijakan dalam bidang fiskal dan moneter.

Kedua, mengawasi pelaksanaan APBN tahun 2014 secara massif dan konstruktif, agar anggaran negara benar-benar dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan memperkecil kebocoran untuk belanja politik.

Ketiga, mengawasi proses perubahan terhadap APBN 2014, manakala terjadi pergantian Kabinet, sehingga tetap memprioritaskan kepentingan rakyat dan tidak diselewengkan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Keempat, mendorong investasi domestik dan asing yang dapat memperkuat fundamental ekonomi Indonesia, dan mengawasi dominasi asing yang merugikan rakyat.

Dan kelima, menghentikan praktik penyimpangan keuangan negara untuk tujuan politik tertentu dengan menumbuhkan kesadaran politik rakyat. (A035)

*) Ketua Umum Asosiasi Pedagang Valas (APVA) Indonesia

Pewarta: Muhammad Idrus

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013