Kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diterapkan oleh pemerintah dengan tujuan mulia untuk menyederhanakan dan menyesuaikan biaya pendidikan tinggi dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, kini mulai menunjukkan dampak yang mengkhawatirkan. Alih-alih meringankan beban, kebijakan ini faktanya kini justru memicu berbagai persoalan baru yang menyulitkan mahasiswa, terutama dari kalangan menengah ke bawah.

Implementasi UKT di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sering kali tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Misalnya kebijakan mengenai UKT terkait tingginya biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Mahalnya UKT ini bukan hanya menjadi beban finansial, tetapi juga menciptakan berbagai masalah sosial dan ekonomi yang kompleks.

Belakangan ini masyarakat kerap disuguhkan dengan pemberitaan para mahasiswa yang melakukan aksi demo di berbagai kampus di Indonesia terkait kenaikan UKT. Memang tak bisa disangkal bila tingginya UKT akan berdampak buruk kepada kehidupan mahasiswa dan keluarganya. 

Tantangan Ekonomi Mahasiswa dan Keluarga

UKT yang tinggi memberikan dampak langsung pada kemampuan finansial mahasiswa dan keluarganya. Banyak keluarga yang harus mengeluarkan sebagian besar pendapatan mereka untuk membiayai pendidikan anak-anaknya di perguruan tinggi. Bagi keluarga dengan pendapatan rendah hingga menengah, hal ini bisa sangat membebani, mengingat masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi.

Akibatnya, tidak jarang kita menemukan mahasiswa yang terpaksa bekerja paruh waktu untuk membantu biaya kuliah mereka. Hal ini, meskipun memberikan pengalaman kerja, seringkali mengganggu konsentrasi dan waktu belajar mahasiswa, yang seharusnya difokuskan untuk meraih prestasi akademis. Bahkan, bukan tidak mungkin nantinya ada mahasiswa yang mundur dari sebuah PTN tertentu setelah dinyatakan lulus. 

Dari persoalan-persoalan tersebut, kebijakan UKT telah memicu berbagai protes dan demonstrasi di berbagai universitas di Indonesia. Mahasiswa merasa tertekan oleh biaya yang dianggap terlalu tinggi, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini.

Kasus-kasus seperti ini bukanlah sekadar angka di atas kertas, melainkan realita pahit yang dialami oleh banyak mahasiswa. Di sejumlah daerah, laporan tentang mahasiswa yang mengalami stres, hingga tekanan mental karena beban biaya pendidikan yang terlalu berat, semakin meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan UKT, yang seharusnya menjadi solusi, justru berpotensi menjadi bumerang.

Dalam Undang-undang Dasar, tepatnya Pasal 28 (dari Pasal 28A s.d Pasal 28J UUD 1945), diterangkan bahwa setidaknya ada 10 hak mendasar yang melekat pada manusia. Adapun beberapa hak mendasar atau hak asasi manusia di Indonesia, antara lain hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi, hingga hak untuk mendapatkan pendidikan.

Pasal tentang pendidikan sebagai hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Adapun bunyi pasal tersebut menegaskan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Lebih lanjut mengenai pasal UUD tentang pendidikan, secara khusus pasal tentang pendidikan ini dimuat lebih menyeluruh dalam Pasal 31 UUD 1945. Penempatan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan ini dilakukan pada amandemen keempat UUD 1945.

Adapun bunyi Pasal 31 UUD 1945 tentang pendidikan ini mengatur sejumlah ketentuan berikut. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Lalu, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan negara dan daerah. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Merujuk sejumlah ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Negara juga memiliki otoritas untuk mendesak terciptanya perlindungan hukum terhadap hak asasi setiap warga negara khususnya untuk mendapatkan pendidikan.

Harus diingat bahwa salah satu tujuan utama dari penerapan UKT adalah untuk memberikan akses yang lebih merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Namun, tingginya biaya UKT justru berpotensi mempersempit akses ini. Banyak calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu yang akhirnya mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena terkendala biaya.

Kondisi ini memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi, di mana hanya mereka yang berasal dari keluarga mampu yang dapat menikmati pendidikan tinggi. Ironisnya, hal ini justru bertentangan dengan semangat awal kebijakan UKT yang diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada semua kalangan.

Kebijakan yang Perlu Ditinjau Ulang

Melihat berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh tingginya UKT, sudah saatnya kebijakan ini ditinjau ulang. Pemerintah dan pihak perguruan tinggi perlu mencari solusi yang lebih inklusif dan berkeadilan. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain:

Subsidi Silang: Memberikan subsidi silang di mana mahasiswa dari keluarga mampu membayar lebih tinggi, sementara mahasiswa dari keluarga kurang mampu mendapatkan potongan biaya atau bahkan bebas biaya.

Bantuan Beasiswa: Memperbanyak skema beasiswa bagi mahasiswa berprestasi dan kurang mampu. Beasiswa tidak hanya berasal dari pemerintah, tetapi juga melibatkan sektor swasta dan alumni.

Keringanan Pembayaran: Menyediakan opsi pembayaran yang fleksibel, seperti angsuran atau pembayaran per semester yang tidak memberatkan mahasiswa dan keluarganya.

Evaluasi Kategori UKT: Meninjau kembali kategori penentuan UKT berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga dengan lebih akurat dan transparan untuk menghindari ketidakadilan dalam penetapan biaya.

Memang di berbagai platform media massa, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim berjanji pihaknya akan akan menghentikan lompatan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak masuk akal.

Semoga saja janji itu dapat ditepati sehingga penerapan sistam UKT ini benar-benar dapat berdampak baik kepada masyarakat khususnya mahasiswa, Jangan sampai yang terjadi justru sebaliknya.

Kesimpulan

Kebijakan UKT yang tinggi telah menjadi problematika tersendiri dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Meskipun bertujuan baik untuk memeratakan akses pendidikan, realitasnya menunjukkan bahwa kebijakan ini sering kali membebani mahasiswa dan keluarganya. 

Diperlukan langkah konkret dan strategis dari pemerintah dan perguruan tinggi untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap dapat diakses oleh semua kalangan tanpa terkecuali, demi masa depan bangsa yang lebih baik dan berkeadilan.

Bila tidak segera dievaluasi dan diperbaiki, kebijakan ini justru akan terus memakan korban di kalangan mahasiswa. Pemerintah dan pihak terkait harus segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, agar tujuan mulia dari kebijakan ini dapat benar-benar tercapai dan tidak hanya menjadi sekadar wacana.

Pendidikan tinggi adalah hak setiap warga negara, dan tugas kita bersama untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa dapat mengakses pendidikan tanpa harus mengorbankan kesehatan mental dan masa depannya.

Penulis adalah Dosen STIK-P Medan, Mahasiswa Doktoral UIN Sumut

 

Pewarta: Arianda Tanjung SIKom, MKom.I

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024