Bank Mestika mengunjungi petani dan pengrajin gula aren di Kutalimbaru, Deliserdang, Sumut, bukti kepedulian perusahaan terhadap program ekonomi berkelanjutan di sekitar perusahaan. 

"Senang bisa melihat kebun aren dan sekaligus pengolahan gula aren petani di Kutalimbaru. Ternyata potensinya cukup besar untuk mendukung perekonomian Sumut," ujar Sekretaris Perusahaan PT Bank Mestika Dharma, Suharto Kurniawan, di Deliserdang, Kamis. 

Kunjungan ke petani dan  penghasil gula aren di Kutalimbaru setelah berbincang-bincang dengan Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Aren Indonesia (DPW AAI) Sumut yang diketuai Edi Koesriadi mengenai tanaman dan produksi gula aren yang masih diselimuti banyak masalah di tengah potensi yang cukup besar dari tanaman itu. 

Menurut Suharto Kurniawan, dari hasil kunjungan, Bank Mestika melihat potensi besar untuk bisnis tanaman dan gula aren. 

Potensi besar itu mengacu pada kebutuhan gula aren yang terus meningkat di dalam negeri sejalan dengan pola hidup sehat, tetap tingginya kebutuhan produk kecap dan menjamurnya bisnis cafe yang menjual kopi. 

Cukup banyak konsumen yang lebih menyukai jika meminum kopi dengan gula aren. 

"Potensi itu menjadi bertambah besar karena adanya peluang ekspor gula aren disamping untuk memenuhi kebutuhan domestik," katanya.

Dari hasil kunjungan itu juga disimpulkan, potensi ekonomi yang cukup besar tersebut belum diikuti dengan kemampuan sumber daya manusianya (petani) dan dukungan peralatan pengolahan yang memadai. 

Termasuk tidak adanya data akurat tentang jumlah produksi aren dan gula aren itu. 

Pengrajin gula aren misalnya, kata dia, mengolah dengan peralatan yang sederhana dengan kebersihan di sekitar tempat memasak yang belum terjaga. 
"Yang lebih mengkhawatirkan, pengrajin menggunakan kayu yang ditebang dari pohon-pohon produktif yang ada di sekitar tempat produksi. Cara itu berisiko merusak lingkungan," ujar Suharto yang didampingi Kepala Seksi Corporate Secretary PT Bank Mestika Dharma, Tbk Doris Thianne. 

Sebagai salah satu perusahaan perbankan yang memiliki reputasi baik dan telah berstatus perusahaan terbuka, katanya, Bank Mestika sangat peduli dengan kelestarian lingkungan, ketahanan dan keberlanjutan ekonomi para pelaku usaha mikro dan kecil.

Selain pentingnya untuk mencari solusi bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan, Suharto menilai perlu difikirkan juga untuk membuat "rumah produksi/rumah memasak" gula aren bersama dengan lokasi yang tidak jauh dari rumah/kebun aren para petani agar biaya produksi lebih efisien.

Pemasaran yang belum bisa meluas dengan kemasan yang masih sangat sederhana itu juga harus menjadi perhatian. 

Untuk itu, katanya, perlu "duduk sama" semua pemangku kepentingan untuk bisa mengangkat potensi ekonomi berkelanjutan dari aren itu. 

Sekretaris DPW AAI Sumut, Hendra Peranginangin berharap pemerintah dan termasuk Bank Mestika memberikan pembinaan dan mendukung pengembangan produksi tanaman aren dan produk jadi tanaman itu, mulai gula aren dan produk turunannya, hingga dapat menjadi destinasi wisata edukasi. 

Alasan dia, potensi besar aren itu karena hampir semua kota dan kabupaten di Sumut memiliki tanaman aren, namun ternyata nilai ekonominya masih kecil akibat kurangnya pembinaan. 

Petani, katanya, juga sering diliputi keraguan untuk berbisnis tanaman dan gula aren karena pendapatan mereka tidak seperti diharapkan.

"Petani jadi banyak meninggalkan bisnis gula aren dan terpaksa memilih menjual dalam bentuk nira karena selisih harganya hanya sedikit," katanya. 

Harga Nira Rp12.500 per liter dan tidak perlu memasak lama menjadi Gula Aren dengan harga Rp20. 000 per kg. 
Pengrajin gula aren di Desa Suka Makmur Dusun 7, Rumah Bacang Kecamatan Kutalimbaru Deliserdang, Budi Sembiring mengatakan, untuk satu kuali dengan hasil 8 kilogram gula aren diperlukan 60 liter nira. 

Ada pun untuk mendapatkan 60 liter nira diperlukan menyadap empat pohon aren karena satu pohon menghasilkan 15 liter nira. 

"Jadi kami harus mengumpulkan nira 60 liter baru mulai memasaknya," katanya. 

Pengrajin gula aren lainnya, Eka Sembiring menyebutkan, mereka terpaksa tetap menggunakan kayu bakar karena keterbatasan pasokan listrik dan biayanya yang juga mahal. 

"Yah apa boleh buat, apinya dari kayu bakar walau menyadari bahwa bau asap mengurangi citarasa gula yang dihasilkan" katanya. 

Harga gula yang dijual ke pedagang pengumpul juga dinilai murah atau paling mahal Rp20. 000 per kg. 

"Memang ada ajakan untuk mencampur nira dengan gula pasir dan ampas tebu biar dapat untung lebih besar dari penjualan gula aren. Tapi batin saya menolak, saya tidak mau menipu berjualan, walau memang rasanya sedih juga dengan untungnya yang sedikit, " katanya. 

Ketua DPW AAI Sumut, Edi Koesriadi sebelumnya, mengungkapkan, aren merupakan tanaman serbaguna. Mulai dari pohon hingga buahnya bisa berguna. 

"Aren merupakan tanaman hutan seperti untuk reboisasi, tanaman tumpang sari karena bisa sesuai dengan tanaman lainnya dan bisa ditanam di hutan sosial dan bahkan tanaman kearifan lokal," ujar Edi Koesriadi yang dipanggil akrab Ody. 

Namun akibat petani kurang memahami cara cocok tanam yang baik dan pengolahan produk secara benar, maka hasilnya belum maksimal. 

Dia memberi contoh, petani membeli bibit aren yang tidak sesuai dengan kondisi lahan yang akan ditanam yang berakibat produksinya tidak maksimal. 

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023