Suatu malam, seorang lelaki muda dengan satu anak bertemu ulama sepuh. Malam itu, kiai sepuh mengingatkan si pemuda betapa beratnya peran seorang ayah dalam keluarga.
"Nak, hati-hati ya menjalani peran sebagai suami dan ayah. Jangan semua dibebankan kepada istri. Tugas istri itu cuma dua, yaitu melahirkan dan menyusui, selebihnya adalah tugas suami". Demikian penegasan ulama sepuh itu, mengingatkan.
Kalau selama ini, secara sosial, istri harus menyiapkan makan untuk keluarga, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan merawat anak, secara moral agama hal itu hanya merupakan tambahan amal ibadah dari seorang istri. Menurut sang kiai, semua itu seharusnya dikerjakan oleh suami.
Baca juga: Dokter anjurkan khitan anak sedini mungkin untuk hindari risiko ISK
Kewajiban seorang suami terhadap istri dan anak itu bukan sekadar mencari nafkah, melainkan memberi nafkah. Pemahaman memberi nafkah itu bukan seorang suami memberi uang pada istri, kemudian setelah itu menjadi kewajiban istri untuk mengatur apa yang akan dimakan oleh keluarga.
Seorang suami seharusnya menyiapkan makanan untuk istri dan anak, sedangkan istri hanya tinggal memakan suguhan yang telah disiapkan oleh suami. Apa yang disampaikan oleh sang kiai mungkin tergolong ekstrem dan tidak mudah diterima secara sosial.
Dalam budaya patriarki, sudah menjadi kelaziman jika suami hendak makan, si istri harus menyiapkan segalanya di meja makan. Suami hanya tinggal duduk di kursi meja makan dan langsung menikmati makanan di piring yang disuguhkan oleh istri.
Bahkan, di lingkungan sosial tertentu, jika seorang suami terlihat menyapu teras rumah dianggap sebagai kejanggalan dalam keluarga, apalagi jika suami terlihat menyuapi makan untuk anaknya. Lingkungan sosial dengan leluasa akan menghakimi bahwa si suami tergolong takut pada istri.
Semua cerita tentang peringatan seorang kiai tersebut agaknya tepat jika dikaitkan dengan fakta yang dikutip laman Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bahwa Indonesia merupakan negara yang tergolong dalam negara yang anak-anaknya kehilangan sosok ayah di keluarga.
Pengungkapan fakta itu mengajak kita semua untuk kembali menyadari peran ayah dalam mengisi tangki kasih pada jiwa anak. Orang tua berperan bukan sekadar memenuhi kebutuhan tubuh si anak untuk tumbuh dan berkembang. Lebih dari itu, ayah dan ibu harus mampu memenuhi kebutuhan jiwa si anak yang juga sedang berproses untuk bertumbuh kembang.
Kosongnya peran ayah dan ibu dalam memenuhi kebutuhan jiwa si anak akan berimplikasi pada masalah sosial dan pribadi si anak ketika dia beranjak menjadi remaja, bahkan hingga dewasa.
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang kurang mendapatkan asupan nutrisi untuk jiwanya berpotensi menjadi pribadi bermasalah dalam lingkungan sosial. Anak menjadi pribadi yang minder dan mudah tersinggung, sulit bersosialisasi atau sulit berada dalam lingkungan kerja yang memerlukan kerja sama tim. Dia juga berpotensi menjadi pribadi yang suka membuat masalah atau keributan dalam kehidupan sosial.
Masalah sosial yang ditunjukkan seseorang hakikatnya adalah ekspresi jiwa dari pelakunya yang mengalami masalah hubungan dengan orang tua, pada masa kecilnya, baik dengan ayah maupun ibu, atau dengan keduanya sekaligus.
Masalah hubungan anak dengan orang tua bukan sekadar orang tua itu ada atau tidak ada, melainkan pada kualitas kehadiran dari ayah atau si ibu. Keberadaan si ayah atau si ibu harus mampu mengisi tangki kasih sayang pada jiwa si anak.
Tangki kasih itu harus diisi dengan perhatian penuh sayang dari orang tua. Karena itu, seseorang anak yang tangki kasihnya kosong akan mencari kompensasi ketika si anak sudah besar, bahkan jika kekosongan itu parah akan terbawa hingga dia dewasa. Seseorang yang suka membuat masalah di masyarakat, sejatinya ingin mendapatkan perhatian dari orang lain, sebagai kompensasi atas perhatian jiwa yang tidak diperolehnya dengan maksimal di dalam keluarga pada masa kecil.
Jika tangki kasih pada anak tidak mampu dipenuhi orang tua atau malah justru diisi dengan energi negatif, maka jiwa si anak akan terus menghausi rasa kasih itu dengan berbagai ekspresi negatif, baik di rumah maupun di luar rumah. Pertengkaran antara ayah dengan ibu atau pola pendidikan yang hanya bersifat otoriter dan marah-marah dari orang tua, tidak akan pernah mampu mengisi tangki kasih dalam jiwa anak.
Banyak hal yang menyebabkan kekosongan peran dalam keluarga, seperti kematian ayah, perceraian, atau kekurangpedulian seorang ayah pada peran domestik karena pengaruh budaya patriarki.
Lepas dari budaya patriarki, kehidupan masyarakat modern yang menuntut seorang ayah harus memenuhi banyak kebutuhan dalam keluarga, menyebabkan kualitas pertemuan kepala keluarga itu dengan anak menjadi berkurang. Seorang ayah pulang ke rumah dalam kondisi letih. Anaknya yang mendekat dan meminta perhatian hanya akan mendapatkan sikap marah.
Seorang ayah yang merasa sudah banting tulang mencari nafkah, kemudian pulang ke rumah, menuntut anak untuk memahami kondisinya. Justru sebaliknya, seharusnya orang tua yang harus memahami jiwa si anak yang memang sedang haus perhatian.
Dalam pola pengasuhan yang sehat, seharusnya orang tua mampu masuk ke dalam "gelembung jiwa" anak, bukan sebaliknya. Bagi seorang anak yang memang membutuhkan perhatian, sangat sulit memahami alasan seorang ayah yang mengaku lelah dan tidak mau "diganggu" oleh anaknya.
"Ayah, aku butuh perhatian dan kasih sayangmu, bukan hanya omongan dan uangnmu", begitu kira-kira rintihan jiwa si anak.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023
"Nak, hati-hati ya menjalani peran sebagai suami dan ayah. Jangan semua dibebankan kepada istri. Tugas istri itu cuma dua, yaitu melahirkan dan menyusui, selebihnya adalah tugas suami". Demikian penegasan ulama sepuh itu, mengingatkan.
Kalau selama ini, secara sosial, istri harus menyiapkan makan untuk keluarga, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan merawat anak, secara moral agama hal itu hanya merupakan tambahan amal ibadah dari seorang istri. Menurut sang kiai, semua itu seharusnya dikerjakan oleh suami.
Baca juga: Dokter anjurkan khitan anak sedini mungkin untuk hindari risiko ISK
Kewajiban seorang suami terhadap istri dan anak itu bukan sekadar mencari nafkah, melainkan memberi nafkah. Pemahaman memberi nafkah itu bukan seorang suami memberi uang pada istri, kemudian setelah itu menjadi kewajiban istri untuk mengatur apa yang akan dimakan oleh keluarga.
Seorang suami seharusnya menyiapkan makanan untuk istri dan anak, sedangkan istri hanya tinggal memakan suguhan yang telah disiapkan oleh suami. Apa yang disampaikan oleh sang kiai mungkin tergolong ekstrem dan tidak mudah diterima secara sosial.
Dalam budaya patriarki, sudah menjadi kelaziman jika suami hendak makan, si istri harus menyiapkan segalanya di meja makan. Suami hanya tinggal duduk di kursi meja makan dan langsung menikmati makanan di piring yang disuguhkan oleh istri.
Bahkan, di lingkungan sosial tertentu, jika seorang suami terlihat menyapu teras rumah dianggap sebagai kejanggalan dalam keluarga, apalagi jika suami terlihat menyuapi makan untuk anaknya. Lingkungan sosial dengan leluasa akan menghakimi bahwa si suami tergolong takut pada istri.
Semua cerita tentang peringatan seorang kiai tersebut agaknya tepat jika dikaitkan dengan fakta yang dikutip laman Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bahwa Indonesia merupakan negara yang tergolong dalam negara yang anak-anaknya kehilangan sosok ayah di keluarga.
Pengungkapan fakta itu mengajak kita semua untuk kembali menyadari peran ayah dalam mengisi tangki kasih pada jiwa anak. Orang tua berperan bukan sekadar memenuhi kebutuhan tubuh si anak untuk tumbuh dan berkembang. Lebih dari itu, ayah dan ibu harus mampu memenuhi kebutuhan jiwa si anak yang juga sedang berproses untuk bertumbuh kembang.
Kosongnya peran ayah dan ibu dalam memenuhi kebutuhan jiwa si anak akan berimplikasi pada masalah sosial dan pribadi si anak ketika dia beranjak menjadi remaja, bahkan hingga dewasa.
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang kurang mendapatkan asupan nutrisi untuk jiwanya berpotensi menjadi pribadi bermasalah dalam lingkungan sosial. Anak menjadi pribadi yang minder dan mudah tersinggung, sulit bersosialisasi atau sulit berada dalam lingkungan kerja yang memerlukan kerja sama tim. Dia juga berpotensi menjadi pribadi yang suka membuat masalah atau keributan dalam kehidupan sosial.
Masalah sosial yang ditunjukkan seseorang hakikatnya adalah ekspresi jiwa dari pelakunya yang mengalami masalah hubungan dengan orang tua, pada masa kecilnya, baik dengan ayah maupun ibu, atau dengan keduanya sekaligus.
Masalah hubungan anak dengan orang tua bukan sekadar orang tua itu ada atau tidak ada, melainkan pada kualitas kehadiran dari ayah atau si ibu. Keberadaan si ayah atau si ibu harus mampu mengisi tangki kasih sayang pada jiwa si anak.
Tangki kasih itu harus diisi dengan perhatian penuh sayang dari orang tua. Karena itu, seseorang anak yang tangki kasihnya kosong akan mencari kompensasi ketika si anak sudah besar, bahkan jika kekosongan itu parah akan terbawa hingga dia dewasa. Seseorang yang suka membuat masalah di masyarakat, sejatinya ingin mendapatkan perhatian dari orang lain, sebagai kompensasi atas perhatian jiwa yang tidak diperolehnya dengan maksimal di dalam keluarga pada masa kecil.
Jika tangki kasih pada anak tidak mampu dipenuhi orang tua atau malah justru diisi dengan energi negatif, maka jiwa si anak akan terus menghausi rasa kasih itu dengan berbagai ekspresi negatif, baik di rumah maupun di luar rumah. Pertengkaran antara ayah dengan ibu atau pola pendidikan yang hanya bersifat otoriter dan marah-marah dari orang tua, tidak akan pernah mampu mengisi tangki kasih dalam jiwa anak.
Banyak hal yang menyebabkan kekosongan peran dalam keluarga, seperti kematian ayah, perceraian, atau kekurangpedulian seorang ayah pada peran domestik karena pengaruh budaya patriarki.
Lepas dari budaya patriarki, kehidupan masyarakat modern yang menuntut seorang ayah harus memenuhi banyak kebutuhan dalam keluarga, menyebabkan kualitas pertemuan kepala keluarga itu dengan anak menjadi berkurang. Seorang ayah pulang ke rumah dalam kondisi letih. Anaknya yang mendekat dan meminta perhatian hanya akan mendapatkan sikap marah.
Seorang ayah yang merasa sudah banting tulang mencari nafkah, kemudian pulang ke rumah, menuntut anak untuk memahami kondisinya. Justru sebaliknya, seharusnya orang tua yang harus memahami jiwa si anak yang memang sedang haus perhatian.
Dalam pola pengasuhan yang sehat, seharusnya orang tua mampu masuk ke dalam "gelembung jiwa" anak, bukan sebaliknya. Bagi seorang anak yang memang membutuhkan perhatian, sangat sulit memahami alasan seorang ayah yang mengaku lelah dan tidak mau "diganggu" oleh anaknya.
"Ayah, aku butuh perhatian dan kasih sayangmu, bukan hanya omongan dan uangnmu", begitu kira-kira rintihan jiwa si anak.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023