Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 31 Desember 2020 sebesar Rp956,3 triliun atau telah mencapai 6,09 persen dari PDB.
Sri Mulyani menyatakan defisit APBN yang dialami Indonesia sebesar Rp956,3 triliun atau 6,09 persen dari PDB tersebut masih lebih baik Rp82,9 triliun dari yang tertera dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp1.039,2 triliun.
"Lebih kecil dari yang ada di dalam Perpres 72/2020 sebesar 6,34 persen. Namun memang ini lebih besar dari UU awal yang didesain dalam kondisi sehat hanya defisit 1,76 persen atau Rp307,2 triliun,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Rabu (6/1).
Baca juga: Pemerintah kantongi Rp54,44 triliun anggaran vaksinasi COVID-19 gratis
Sri Mulyani menuturkan defisit 6,09 persen terjadi karena realisasi pendapatan negara secara keseluruhan tahun 2020 adalah Rp1.633,6 triliun atau 96,1 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp1.699,9 triliun.
Pendapatan negara itu jauh lebih kecil dibandingkan realisasi belanja negara yang sepanjang 2020 mencapai Rp2.589,9 triliun atau 94,6 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp2.739,2 triliun.
Sri Mulyani mengatakan pendapatan negara mengalami kontraksi 16,7 persen (yoy) karena penerimaan pajak tumbuh minus hingga 19,7 persen (yoy) yaitu hanya Rp1.070 triliun atau 89,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp1.198,8 triliun.
Hal sama juga terjadi pada penerimaan kepabeanan dan cukai yang terealisasi Rp212,8 triliun atau 103,5 persen dari target Rp205,7 triliun namun masih terkontraksi 0,3 persen (yoy) dibanding periode sama 2019 yakni Rp213,5 triliun.
Baca juga: Menkeu: Total nilai potensi ekspor makanan halal 229 juta dolar AS
Kemudian kontraksi pendapatan negara turut disumbang oleh realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berada di zona negatif 17,2 persen yakni Rp338,5 triliun atau 115,1 persen dari target Rp294,1 triliun.
Di sisi lain, untuk penerimaan negara dari hibah mengalami peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yakni mencapai 945,8 persen atau dari Rp5,5 triliun menjadi Rp12,3 triliun.
Sementara untuk realisasi belanja sebesar Rp2.589,9 triliun meningkat 12,2 persen (yoy) dari periode sama tahun lalu sebesar Rp2.309,3 triliun.
Realisasi belanja Rp2.589,9 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat Rp1.827,4 triliun atau 92,5 persen dari target sebesar Rp1.975,2 triliun dengan rincian belanja K/L Rp1.055 triliun dan belanja non K/L terealisasi Rp772,3 triliun.
Tak hanya itu, peningkatan belanja turut ditunjang oleh realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp762,5 triliun atau 99,8 persen dari target dalam Perpres 72/2020 mencapai Rp763,9 triliun.
Realisasi TKDD tersebut terdiri dari transfer ke daerah yang mencapai Rp691,4 triliun dan Dana Desa sebesar Rp71,1 triliun.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
Sri Mulyani menyatakan defisit APBN yang dialami Indonesia sebesar Rp956,3 triliun atau 6,09 persen dari PDB tersebut masih lebih baik Rp82,9 triliun dari yang tertera dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp1.039,2 triliun.
"Lebih kecil dari yang ada di dalam Perpres 72/2020 sebesar 6,34 persen. Namun memang ini lebih besar dari UU awal yang didesain dalam kondisi sehat hanya defisit 1,76 persen atau Rp307,2 triliun,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Rabu (6/1).
Baca juga: Pemerintah kantongi Rp54,44 triliun anggaran vaksinasi COVID-19 gratis
Sri Mulyani menuturkan defisit 6,09 persen terjadi karena realisasi pendapatan negara secara keseluruhan tahun 2020 adalah Rp1.633,6 triliun atau 96,1 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp1.699,9 triliun.
Pendapatan negara itu jauh lebih kecil dibandingkan realisasi belanja negara yang sepanjang 2020 mencapai Rp2.589,9 triliun atau 94,6 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp2.739,2 triliun.
Sri Mulyani mengatakan pendapatan negara mengalami kontraksi 16,7 persen (yoy) karena penerimaan pajak tumbuh minus hingga 19,7 persen (yoy) yaitu hanya Rp1.070 triliun atau 89,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp1.198,8 triliun.
Hal sama juga terjadi pada penerimaan kepabeanan dan cukai yang terealisasi Rp212,8 triliun atau 103,5 persen dari target Rp205,7 triliun namun masih terkontraksi 0,3 persen (yoy) dibanding periode sama 2019 yakni Rp213,5 triliun.
Baca juga: Menkeu: Total nilai potensi ekspor makanan halal 229 juta dolar AS
Kemudian kontraksi pendapatan negara turut disumbang oleh realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berada di zona negatif 17,2 persen yakni Rp338,5 triliun atau 115,1 persen dari target Rp294,1 triliun.
Di sisi lain, untuk penerimaan negara dari hibah mengalami peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yakni mencapai 945,8 persen atau dari Rp5,5 triliun menjadi Rp12,3 triliun.
Sementara untuk realisasi belanja sebesar Rp2.589,9 triliun meningkat 12,2 persen (yoy) dari periode sama tahun lalu sebesar Rp2.309,3 triliun.
Realisasi belanja Rp2.589,9 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat Rp1.827,4 triliun atau 92,5 persen dari target sebesar Rp1.975,2 triliun dengan rincian belanja K/L Rp1.055 triliun dan belanja non K/L terealisasi Rp772,3 triliun.
Tak hanya itu, peningkatan belanja turut ditunjang oleh realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp762,5 triliun atau 99,8 persen dari target dalam Perpres 72/2020 mencapai Rp763,9 triliun.
Realisasi TKDD tersebut terdiri dari transfer ke daerah yang mencapai Rp691,4 triliun dan Dana Desa sebesar Rp71,1 triliun.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021