Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menceritakan alasannya menolak permohonan uji materi dari almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat soal Undang-Undang Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Mahfud yang dahulu bertindak sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada sidang MK 19 April 2010 itu menilai undang-undang itu dibuat untuk melindungi kepentingan umat beragama, terutama untuk kalangan minoritas.

"Karena di dalam PNPS 1/1965 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 itu disebutkan juga '...adapun agama-agama lain (selain enam agama yang diakui negara) dibiarkan adanya," kata Mahfud secara daring dalam forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (15/12).

Baca juga: Hari terakhir kampanye, Mahfud MD minta paslon tertib dan patuhi prokes

Mahfud bercerita pada waktu UU Penodaan Agama itu digugat karena pemohon berpandangan adanya diskriminasi terhadap agama minoritas dalam undang-undang tersebut.

"Waktu itu digugat ke MK, bunyi kalimat ini: 'kok, yang lain disebutkan, kok, yang lain dibiarkan?' Saya katakan, yang pertama secara hukum itu urusan bahasa yang dibuat oleh DPR, oleh Bung Karnolah, pada tahun 1965," kata Mahfud.

Mahfud memandang undang-undang tersebut tidak menyalahi konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 karena kata 'dibiarkan' pada kalimat 'selain agama yang diakui' itu berarti agama tersebut 'tidak diganggu' atau 'diberlakukan sama pembinaannya' dengan agama yang diakui negara.

"Kalau dibiarkan 'kan anggapannya diskriminatif, yang satu dibina, yang satu dibiarkan begitu. Saya bilang tidak. Sebenarnya dibiarkan artinya dilindungi yang agama-agama yang lain itu," kata Mahfud.

Ketua MK periode 2008—2013 itu kemudian mengusulkan agar pemohon dapat mengajukan perubahan bahasa kepada pihak yang mengesahkan undang-undang, yaitu DPR RI.

"Diubahnya di DPR saja karena ini soal bahasa. Bukan soal substansi, begitu. Dan tidak ada yang salah dari itu," kata Mahfud pada forum yang membahas riset para profesor LIPI tentang Mewujudkan Harmoni dalam Kebinekaan: Masalah dan Solusinya tersebut.

Baca juga: Menko Polhukam akan sampaikan penundaan RUU HIP ke DPR

Mahfud mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki banyak agama dan aliran kepercayaan yang sama-sama berperan membangun kehidupan bermasyarakat yang harmonis di Indonesia.

Namun, adanya nilai-nilai yang berbeda di dalam agama dan aliran kepercayaan yang banyak itu harus terus ditata dengan asas berkeadilan oleh Negara agar keharmonisan bermasyarakat terus berjalan baik.

"Kunci keharmonisan itu, yaitu kita mau hidup bersama di dalam keberbedaan, dengan menyepakati tata nilai. Tata nilai yang kita angkat, kita ekstraksi dari berbagai perbedaan-perbedaan itu, kita angkat tata nilai yang kita sepakati bersama. Lalu itu yang kita sebut ideologi negara Pancasila," kata Mahfud.

Menurut Mahfud, Pancasila itu adalah bentuk penataan nilai-nilai yang masih bisa dikompromikan agar bisa disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia, kemudian oleh para pendiri, dijadikan dasar filosofi ideologi dasar negara Republik Indonesia.



"Nah, saudara, Pancasila itu memiliki fungsi dua, sebagai dasar negara dan selain dasar negara. Yang menjadi dasar negara itulah yang melahirkan tata hukum nasional. Mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, perppu, PP, perpres, perda provinsi, perda kabupaten/kota, dan sebagainya. Itu dibuat sebagai peraturan bersama," kata Mahfud.

Mahfud mengatakan bahwa negara harus menitikberatkan pada hukum dan keadilan dalam menata nilai-nilai yang berbeda yang tidak bisa dikompromikan dan menjadi urusan privasi warga negara masing-masing.

"Karena ini hukum nasional, pelaksanaan harus dipaksakan atau ditegakkan oleh Negara. Anda melanggar maka negara yang turun tangan," kata Mahfud.

Pewarta: Abdu Faisal

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020