Kabupaten Mandailing Natal yang berada di ujung paling Selatan Provinsi Sumatera Utara, memang memiliki banyak ragaman budaya. Adat istiadat dan budaya Mandailing menyentuh hampir semua sisi kehidupan manusia, mulai prosesi kelahiran hingga prosesi kematian. Karena itu, Pandemi COVID-19 yang menghentakkan nyaris seluruh belahan dunia, juga menyentuh sendi-sendi kebudayaan masyarakat Mandailing Natal.

Dengan jumlah penduduk 447.287  jiwa, Kabupaten Mandailing Natal juga tak luput dari beban pandemi COVID-19 itu. Selain berdampak pada jumlah orang terkonfirmasi juga telah berdampak pada pembatasan fisik sehingga menyebabkan beban sosial yang luar biasa. Masyarakat misalnya, tidak bisa melakukan berbagai ragaman prosesi budaya yang menuntut keterlibatan banyak orang. 

Dalam pernikahan, misalnya, banyak ragaman jenjang prosesi yang harus dilalui masing-masing calon pengantin sampai berujung pada pesta pernikahan. Tragisnya lagi, semua prosesi itu melibatkan banyak orang, mulai dari manyapai boru (meminang), marsapa utang (penetapan mahar), pokat sisolkot (musyawarah dalam lingkungan keluarga batih), pokat kahanggi (musyawarah semarga), pokat godang (musyawarah lintas marga), hingga pesta pernikahan itu sendiri (horja).

Beruntungnya, pembatasan kegiatan adat dan budaya tersebut dapat dipatuhi secara luas. Banyak pesta pernikahan yang ditunda. Kalaupun ada pernikahan, tapi dilakukan secara terbatas. Misalnya, hanya sampai tahap akad nikah saja. Tidak ada pesta. Kepatuhan masyarakat terhadap pembatasan adat dan budaya ini sebagai salah satu modal didalam memutus mata rantai penyebaran virus Corona  di kabupaten itu.

Dampak terluas Pandemi COVID-19 justru pada sisi ekonominya. Tentu karena adanya penekanan pembatasan aktivitas sosial. Termasuk karena liburnya sekolah-sekolah. Padahal, Kabupaten Mandailing Natal banyak pesantren dengan jumlah santri yang signifikan untuk menyerap kebutuhan pasar. Misalnya kebutuhan sayur-mayur. Karena itu, sebagian besar produksi tani melorot tajam harganya. Terutama palawija.

Selain itu, hasil tani yang berkaitan dengan produk ekspor juga melorot turun harganya. Terutama karet. Padahal, hampir sebagian besar penduduk Mandailing Natal hidup dari pekerjaan menderes karet. Sejak masa kolonial, karet menjadi komoditas utama perkebunan di Mandailing Natal.
Sudah tentu dampak ekonominya besar. Betapa orang yang sebagian besar tergantung kepada hasil tani dan kebun, tiba-tiba kehilangan sumber pendapatan keluarga yang sangat signifikan. Kemiskinan menjadi kentara. Karena itu di beberapa kawasan Mandailing Natal persoalan bantuan sosial dari pemerintah menjadi letupan sosial yang menakutkan. Orang gampang tersulut amarah dan kecurigaan yang berujung dengan tindakan anarkis.

Tanpa sentuhan budaya Mandailing, dampak sosial dari pandemi COVID-19 bisa lebih parah lagi. Meskipun tidak disadari, ancaman kemiskinan bisa diterima bersama sebagai hal yang tidak terhindarkan. Ketakutan terhadap hal itu tidak sebesar ketakutan di daerah lain dalam menyikapi kesulitan ekonomi. 
Dalam kebudayaan Mandailing, ada beberapa pola budaya yang menguatkan distribusi sosial. Misalnya, budaya marsialap ari, budaya opuk, dan lain-lain. 

Budaya marsialap ari, misalnya. Konsep itu membuat para petani saling bergotong royong untuk mengerjakan lahan persawahan bersama. Misalnya, empat keluarga petani bergantian mengerjakan sawah kumpulan itu. Hari pertama di sawah A, hari kedua di lahan B, dan seterusnya.

Berbeda dengan gotong royong untuk kepentingan bersama, dalam marsialap ari tetap mengacu kepada kepentingan terbatas dalam kelompok itu. Ikatan keanggotaannya juga lentur. Bisa berubah-ubah setiap musim tanam. Budaya marsialap ari membuat beban kerja bertani semakin mudah.

Budaya Opuk mungkin lebih bersinergi dengan dampak Pandemi COVID-19. Dalam khazanah budaya tradisional Mandailing, setiap kampung ditemukan Opuk. Opuk berbentuk bangunan semacam pondok kecil di sebelah rumah utama. Bentuknya berjenjang, berdinding bambu yang dibentuk menyerupai papan, dan beratap ijuk. 

Ketika musim panen tiba, gabah akan disimpan dalam opuk. Hanya dikeluarkan saat dibutuhkan untuk dijemur dan dijadikan beras. Gabah kering yang disimpan dalam opuk digunakan hingga panen berikutnya. 
Tapi fungsi sosialnya yang paling unik dalam kebudayaan Mandailing. Ketika musim paceklik tiba, gabah akan dikeluarkan dan dibagikan kepada keluarga yang tak punya beras. Dengan begitu, beras yang disimpan bukan hanya untuk kebutuhan satu keluarga saja, tapi peruntukannya kepada kebutuhan kerabat yang membutuhkan setiap kali mereka tidak memiliki ketersediaan pangan.

Dalam musim Pandemi COVID-19, di Kabupaten Mandailing Natal, budaya opuk ini amat menolong mereka yang kekurangan bahan pangan. Terutama di berbagai desa yang masih kuat ikatan kekerabatannya. Karena itu, kekhawatiran terhadap kesulitan pangan di Mandailing Natal tidak menjadi hal yang ditakuti. Sebab, selama ratusan tahun distribusi kesejahteraan yang ada pada fungsi Opuk selalu amat menolong.

Pada akhirnya kita menyadari bahwa setiap daerah sebenarnya memiliki karakteristik budaya yang khas untuk meminimalisir dampak Pandemi COVID-19 termasuk perubahan prilaku disiplin protokol kesehatan. Karakteristik itu seharusnya yang diberi penguatan oleh pemerintah, baik pusat.

 

Pewarta: Holik

Editor : Akung


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020