Ini adalah tanah juara dunia, tetapi apakah ini benar-benar negara sepak bola? Itulah pertanyaan yang diajukan beberapa orang di Prancis pekan ini sementara tetangga-tetangganya di Eropa berupaya mengembalikan olahraga itu setelah penutupan akibat virus corona.
Debat telah berkecamuk sejak liga Prancis memutuskan untuk mengakhiri musim sebelum waktunya di akhir April dengan 10 putaran pertandingan yang tidak dimainkan.
Sebaliknya, dua pekan telah berlalu sejak Bundesliga Jerman dimulai kembali.
Pada hari Kamis menteri olahraga Italia mengkonfirmasi bahwa Serie A akan kembali pada 20 Juni, sementara La Liga dan Liga Premier keduanya tampaknya akan kembali pada saat itu.
Baca juga: Coppa Italia jadi pembuka kembalinya kompetisi sepak bola di Italia
Baca juga: Khedira belum terpikir tinggalkan Juventus
"Seperti idiot" demikian judul berita utama di depan L'Equipe pada hari Jumat, seperti dilansir AFP, ketika harian olahraga itu mempertanyakan mengapa keputusan terburu-buru dibuat oleh liga (LFP) untuk mengakhiri musim.
Pengumuman LFP pada saat itu didasarkan pada pernyataan Perdana Menteri Perancis Edouard Philippe bahwa musim "tidak dapat dimulai kembali" ketika pandemi merebak pada akhir April.
Namun, Prancis telah secara teratur mengurangi pengunciannya dalam beberapa pekan terakhir dan Philippe menyatakan pada Kamis bahwa olahraga tim dapat dimulai kembali setelah 21 Juni.
"Kita akan menjadi satu-satunya negara sepak bola terbesar di Eropa yang tetap pada keputusan ini dan tidak mengkondisikannya pada evolusi pandemi dan pelonggaran kuncian," tulis Vincent Duluc di L'Equipe
Prancis secara resmi mencatat hampir 29.000 kematian akibat COVID-19, jauh lebih banyak dari Jerman tetapi lebih sedikit dari Italia atau Inggris dan lebih sedikit dari Spanyol per kepala populasi.
Prancis bukan satu-satunya negara sepak bola Eropa yang mengakhiri musimnya, dengan Belanda membatalkan kampanye secara keseluruhan.
Paris Saint-Germain dinobatkan sebagai juara untuk tahun ketiga berturut-turut. Amiens dan Toulouse terdegradasi dan klub-klub tersebut telah mengajukan langkah hukum.
Namun, suara utama yang menentang penutupan awal adalah Jean-Michel Aulas, presiden Lyon. Mereka urutan ketujuh ketika musim berhenti pada pertengahan Maret dan karenanya gagal lolos kualifikasi Eropa.
Baik mereka maupun PSG sekarang tidak akan memiliki pertandingan kompetitif sebelum Liga Champions - di mana keduanya masih terlibat - diperkirakan akan dimulai kembali pada bulan Agustus.
"Saya sepenuhnya yakin bahwa apa yang terjadi bukan untuk kebaikan klub atau sepak bola Prancis secara keseluruhan," kata Aulas kepada Le Parisien.
Argumen utamanya adalah ekonomi. Sebelumnya pada bulan Mei liga mengatakan harus mengeluarkan pinjaman yang dijamin pemerintah sekitar 225 juta euro ($ 250 juta) untuk mengatasi klub-klub yang terkena dampak hilangnya pendapatan dari penyiaran karena begitu banyak pertandingan yang belum dimainkan.
Sementara tim nasional Prancis memenangkan Piala Dunia untuk kedua kalinya pada tahun 2018, sebagian besar pemain terkemuka bercita-cita untuk bermain di luar negeri dan perdebatan yang sedang berlangsung menimbulkan pertanyaan tidak nyaman tentang apakah liga domestiknya benar-benar termasuk dalam kategori yang sama dengan para pesaingnya.
Ketika berbicara tentang liga 'Lima Besar' Eropa, Ligue 1 berada di posisi kelima dalam hal pendapatan.
Kebutuhan untuk melindungi kesepakatan TV baru yang lebih menguntungkan yang akan dimulai pada musim depan - dengan tidak membiarkan musim ini berlarut-larut hingga akhir Agustus - telah dikutip sebagai salah satu argumen yang mendukung keputusan untuk berhenti.
PSG dan Lyon adalah satu-satunya klub Prancis dalam urutan 30 teratas klub dengan penghasilan terbesar versi Deloitte.
Hanya ada satu pemenang Perancis - Marseille pada 1993 - dalam sejarah 65 tahun Piala Eropa. Itu sebanyak Rumania, Skotlandia dan bekas Yugoslavia, dan Aston Villa.
Sementara negara-negara lain yang telah dihantam lebih keras oleh pandemi ini menemukan cara untuk memulai kembali musim sepak bola dengan mempromosikan argumen tentang signifikansi ekonomi dan budaya permainan, di Prancis ada perasaan bahwa itu tidak masalah.
"Negara-negara lain telah mengadakan pertemuan antar-administrasi dengan perwakilan penting dari klub profesional, dan mereka memulai kembali," kata seorang eksekutif Ligue 1.
"Di Prancis tidak ada pertemuan itu. Dari jauh, Anda bisa menyimpulkan bahwa negara tidak benar-benar tertarik dengan sepak bola."
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Debat telah berkecamuk sejak liga Prancis memutuskan untuk mengakhiri musim sebelum waktunya di akhir April dengan 10 putaran pertandingan yang tidak dimainkan.
Sebaliknya, dua pekan telah berlalu sejak Bundesliga Jerman dimulai kembali.
Pada hari Kamis menteri olahraga Italia mengkonfirmasi bahwa Serie A akan kembali pada 20 Juni, sementara La Liga dan Liga Premier keduanya tampaknya akan kembali pada saat itu.
Baca juga: Coppa Italia jadi pembuka kembalinya kompetisi sepak bola di Italia
Baca juga: Khedira belum terpikir tinggalkan Juventus
"Seperti idiot" demikian judul berita utama di depan L'Equipe pada hari Jumat, seperti dilansir AFP, ketika harian olahraga itu mempertanyakan mengapa keputusan terburu-buru dibuat oleh liga (LFP) untuk mengakhiri musim.
Pengumuman LFP pada saat itu didasarkan pada pernyataan Perdana Menteri Perancis Edouard Philippe bahwa musim "tidak dapat dimulai kembali" ketika pandemi merebak pada akhir April.
Namun, Prancis telah secara teratur mengurangi pengunciannya dalam beberapa pekan terakhir dan Philippe menyatakan pada Kamis bahwa olahraga tim dapat dimulai kembali setelah 21 Juni.
"Kita akan menjadi satu-satunya negara sepak bola terbesar di Eropa yang tetap pada keputusan ini dan tidak mengkondisikannya pada evolusi pandemi dan pelonggaran kuncian," tulis Vincent Duluc di L'Equipe
Prancis secara resmi mencatat hampir 29.000 kematian akibat COVID-19, jauh lebih banyak dari Jerman tetapi lebih sedikit dari Italia atau Inggris dan lebih sedikit dari Spanyol per kepala populasi.
Prancis bukan satu-satunya negara sepak bola Eropa yang mengakhiri musimnya, dengan Belanda membatalkan kampanye secara keseluruhan.
Paris Saint-Germain dinobatkan sebagai juara untuk tahun ketiga berturut-turut. Amiens dan Toulouse terdegradasi dan klub-klub tersebut telah mengajukan langkah hukum.
Namun, suara utama yang menentang penutupan awal adalah Jean-Michel Aulas, presiden Lyon. Mereka urutan ketujuh ketika musim berhenti pada pertengahan Maret dan karenanya gagal lolos kualifikasi Eropa.
Baik mereka maupun PSG sekarang tidak akan memiliki pertandingan kompetitif sebelum Liga Champions - di mana keduanya masih terlibat - diperkirakan akan dimulai kembali pada bulan Agustus.
"Saya sepenuhnya yakin bahwa apa yang terjadi bukan untuk kebaikan klub atau sepak bola Prancis secara keseluruhan," kata Aulas kepada Le Parisien.
Argumen utamanya adalah ekonomi. Sebelumnya pada bulan Mei liga mengatakan harus mengeluarkan pinjaman yang dijamin pemerintah sekitar 225 juta euro ($ 250 juta) untuk mengatasi klub-klub yang terkena dampak hilangnya pendapatan dari penyiaran karena begitu banyak pertandingan yang belum dimainkan.
Sementara tim nasional Prancis memenangkan Piala Dunia untuk kedua kalinya pada tahun 2018, sebagian besar pemain terkemuka bercita-cita untuk bermain di luar negeri dan perdebatan yang sedang berlangsung menimbulkan pertanyaan tidak nyaman tentang apakah liga domestiknya benar-benar termasuk dalam kategori yang sama dengan para pesaingnya.
Ketika berbicara tentang liga 'Lima Besar' Eropa, Ligue 1 berada di posisi kelima dalam hal pendapatan.
Kebutuhan untuk melindungi kesepakatan TV baru yang lebih menguntungkan yang akan dimulai pada musim depan - dengan tidak membiarkan musim ini berlarut-larut hingga akhir Agustus - telah dikutip sebagai salah satu argumen yang mendukung keputusan untuk berhenti.
PSG dan Lyon adalah satu-satunya klub Prancis dalam urutan 30 teratas klub dengan penghasilan terbesar versi Deloitte.
Hanya ada satu pemenang Perancis - Marseille pada 1993 - dalam sejarah 65 tahun Piala Eropa. Itu sebanyak Rumania, Skotlandia dan bekas Yugoslavia, dan Aston Villa.
Sementara negara-negara lain yang telah dihantam lebih keras oleh pandemi ini menemukan cara untuk memulai kembali musim sepak bola dengan mempromosikan argumen tentang signifikansi ekonomi dan budaya permainan, di Prancis ada perasaan bahwa itu tidak masalah.
"Negara-negara lain telah mengadakan pertemuan antar-administrasi dengan perwakilan penting dari klub profesional, dan mereka memulai kembali," kata seorang eksekutif Ligue 1.
"Di Prancis tidak ada pertemuan itu. Dari jauh, Anda bisa menyimpulkan bahwa negara tidak benar-benar tertarik dengan sepak bola."
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020