Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2017-2022, Wahyu Setiawan didakwa menerima suap Rp600 juta dari kader PDI Perjuangan Harun Masiku, agar mengupayakan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI.

"Terdakwa I, Wahyu Setiawan bersama-sama dengan terdakwa II, Agustiani Tio Fridelina menerima uang secara bertahap sebesar 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya setara Rp600 juta dari Saeful Bahari bersama-sama dengan Harun Masiku," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Takdir Suhan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Baca juga: KPK perpanjang penahanan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan

Pengadilan berlangsung tanpa dihadiri kedua terdakwa. Hanya ada majelis hakim yang dipimpin Tuty Haryati, JPU KPK dan penasihat hukum, sedangkan terdakwa Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina mengikuti persidangan melalui "video conference" dari Gedung KPK.

"Uang tersebut diberikan agar terdakwa I, Wahyu Setiawan mengupayakan KPU menyetujui permohonan penggantian antarwaktu (PAW) PDI Perjuangan (PDIP) dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) 1 kepada Harun Masiku," ujar Takdir.

Baca juga: KPK periksa Ketua KPU Arief Budiman

Awalnya, DPP PDIP memberitahukan kepada KPU pada 11 April 2019 bahwa calon anggota legislatif PDIP Dapil Sumsel I atas nama Nazarudin Kiemas meninggal dunia, namun nama yang bersangkutan masih tetap tercantum dalam surat suara pemilu.

Pada 21 Mei 2019, KPU melakukan rekapitulasi perolehan suara PDIP Dapil Sumsel 1 dengan perolehan suara terbanyak oleh Riezky Aprilia sebanyak 44.402 suara. Di dapil yang sama, Harun Masiku mendapat suara 5.878.

Namun, pada Juli 2019, rapat pleno PDIP memutuskan Harun Masiku sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazarudin Kiemas dengan alasan meski namanya sudah dicoret, tapi Nazarudin masih mendapat suara sejumlah 34.276.

"Atas keputusan rapat pleno DPP PDIP tersebut, Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP meminta Donny Tri Istiqomah selaku penasihat hukum PDIP untuk mengajukan surat permohonan ke KPU RI," kata jaksa Takdir.

Namun KPU menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDIP, karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Setelah KPU tidak mengabulkan permohonan PDIP tersebut, maka pada September 2019, kader PDIP lain yaitu Saeful Bahri menghubungi Agustiani Tio selaku kader PDIP yang pernah menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sehingga mengenal Wahyu Setiawan.

"Pada intinya Saeful Bahri meminta tolong terdakwa II untuk menyampaikan kepada terdakwa I selaku anggota KPU RI yang memiliki kewenangan antara lain menerbitkan keputusan KPU terkait hasil pemilu, agar dapat mengupayakan persetujuan KPU terkait penggantian caleg DPR RI di Dapil Sumsel I dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku," ungkap jaksa Takdir.

Lalu Agustiani Tio pun menyampaikan hal tersebut kepada Wahyu termasuk meneruskan pesan "whatsapp" 24 September 2019 dari Saeful berisi surat DPP PDIP Nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 kepada KPU RI soal permohonan pelaksanaan putusan MA. Setelah menerima pesan tersebut, Wahyu membalas dengan isi pesan "siap mainkan".

Meski demikian, pada 1 Oktober 2019 dilakukan pelantikan terhadap seluruh calon anggota DPR terpilih termasuk Riezky Aprilia. Pada 5 Desember 2019, Saeful meminta Agustiani menanyakan kepada Wahyu mengenai besaran uang operasional agar KPU dapat menyetujui permintaan Harun Masiku.

"Pada awalnya Saeful Bahri menawarkan janji Rp750 juta dengan kalimat kurang lebih 'Tanyain berapa biaya operasionalnya, kalau bisa 750'. Atas permintaan tersebut, terdakwa II menyampaikan kepada Wahyu Setiawan melalui pesan iMessage: 'Mas, ops nya 750 cukup mas?' dan dibalas oleh Wahyu Setiawan dengan pesan iMessage: '1000', yang maksudnya uang sebesar Rp1 miliar. Terdakwa II lalu menyampaikan permintaan Wahyu tersebut kepada Saeful Bahri yang menyanggupi permintaan terdakwa I itu," ungkap jaksa Takdir.

Pada hari yang sama Agustiani mengirimkan surat DPP PDIP soal permohonan pelaksanaan fatwa MA kepada Wahyu dengan pesan "Bisa jd dasar utk menghitung kembali perolehan suara Sumsel 1 utk PDI Perjuangan? Atau KPU langsung memutuskan dgn dasar surat DPP saja?" atas pesan tersebut Wahyu membalas: "kita akan upayakan yang optimal".

Saeful bersama Donny Tri Istiqomah lalu menemui Harun Masiku di restoran di Hotel Grand Hyatt Jakarta pada 13 Desember 2019, dan disepakati biaya operasional untuk Wahyu adalah sebesar Rp1,5 miliar dengan harapan Harun dapat dilantik sebagai anggota DPR pada Januari.

Pada 17 Desember 2019, Saeful memberitahukan kepada Agustiani soal surat yang pernah dikirimkan ke Wahyu yang pada pokoknya memohon agar KPU melaksanakan penggantian anggota DPR-RI dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

"Saeful Bahri meminta bantuan agar surat tersebut dapat diawasi langsung prosesnya di KPU. Terdakwa II lalu meneruskan permintaan itu kepada terdakwa I, yang kemudian mengarahkan agar surat tersebut diantar Saeful ke stafnya di KPU RI yang bernama Retno Wahyudiarti," kata jaksa lagi.

Uang diserahkan pada hari yang sama dari Harun Masiku kepada Saeful sebesar Rp400 juta. Selanjutnya ditukarkan menjadi 20 ribu dolar Singapura untuk diberikan kepada Wahyu sebagai "down payment". Uang diberikan melalui Agustiani Tio di Plaza Indonesia, sedangkan sisa uang dari Harun dibagi rata Saeful dan Donny masing-masing Rp100 juta.

Namun pada hari yang sama, Wahyu, Agustiani, dan Saeful juga bertemu di Mal Pejaten Village. Saeful kembali meminta Wahyu untuk membantunya dan dijawab "Iya saya upayakan".

"Setelah mendapat jawaban kepastian dari terdakwa I, selanjutnya Saeful Bahri pamit meninggalkan pertemuan, setelah sebelumnya mengambil kelebihan satu lembar uang 1.000 dolar Singapura dari terdakwa II, karena uang yang telah diserahkan ternyata kelebihan jumlahnya, sebab sesuai kurs saat itu seharusnya hanya 19 ribu dolar Singapura," ungkap jaksa Takdir.

Setelah Saeful pergi, Agustiani menyerahkan uang sejumlah 19 ribu dolar Singapura dengan mengatakan "Mas ini ada dana operasional". Wahyu hanya menerima 15 ribu dolar Singapura dan sisanya untuk Agustiani.

Pada 26 Desember 2019, Harun Masiku meminta Saeful mengambil uang Rp850 juta. Dari jumlah tersebut, Rp400 juta ditukarkan menjadi 38.500 dolar Singapura untuk diberikan sebagai DP II bagi Wahyu, sedangkan sisanya Rp170 juta diberikan kepada Donny Tri dan sisanya untuk operasional Saeful.

Saeful menyerahkan 38.350 dolar Singapura kepada Agustiani pada hari yang sama di Mal Pejaten Village. Selain itu, Agustiani juga mendapat Rp50 juta dari relasi Saeful bernama Donfri Jatmika. Agustiani melaporkan penerimaan uang kepada Wahyu, dan Wahyu meminta agar uang tetap disimpan Agustiani.

"Dalam upaya memenuhi permintaan Saeful Bahri, terdakwa I menyampaikan kepada anggota KPU RI lainnya yang sama-sama mempunyai kewenangan dalam menerbitkan keputusan terkait hasil pemilu, agar terhadap surat permohonan tersebut segera ditindaklanjuti dengan alasan karena 'di luar sudah ramai'," ujar jaksa Takdir.

Pada 6 Januari 2020, Wahyu Setiawan bersama dengan anggota KPU Hasyim Asyari bertemu dengan Agustiani Tio di Kantor KPU RI. Agustiani menayakan proses PAW untuk Riezky diganti Harun Masiku. dan dijawab Hasyim Asyari karena posisi Riezky telah dilantik maka mekanisme penggantiannya harus melalui PAW yang diajukan pimpinan DPR kepada KPU, bukan diajukan DPP PDIP.

KPU lalu mengirim surat kepada DPP PDIP yang intinya menyatakan bahwa KPU tidak dapat memenuhi permohonan PAW atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku, karena tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada 8 Januari 2020, Wahyu Setiawan menghubungi Agustiani agar mentransfer sebagian uang yang diterima dari Saeful, yaitu sejumlah Rp50 juta ke rekening BNI atas nama Wahyu. Namun, sebelum uang ditransfer, Agustiani dan Wahyu diamankan petugas KPK dengan menyita 38.350 dolar Singapura.

Atas perbuatannya, Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio didakwa berdasarkan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Terkait perkara ini, Saeful Bahri divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara, ditambah denga Rp150 juta, subsider 4 bulan kurungan.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020