Penasihat Hukum terdakwa Wali Kota Medan nonaktif Dzulmi Eldin dalam perkara dugaan penerimaan suap sebesar Rp2,1 miliar menyatakan bahwa surat dakwaan Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Medan tidak jelas dan harus batal demi hukum.
"Surat dakwaaan KPK tersebut kabur dan tidak tepat, maka harus dibatalkan oleh Majalis Hakim," ujar Penasihat Hukum Dzulmi Eldin, Nizamuddin, saat membacakan eksepsinya di Pengadilan Tindak Korupsi (Tipikor) Medan, Kamis.
Ia mengatakan, pada surat dakwaan pertama maupun kedua, Penuntut Umum KPK juga tidak menguraikan secara jelas keikutsertaan Dzulmi Eldin dalam kasus penerimaan suap tersebut.
Baca juga: Dzulmi Eldin mulai disidang
Sebelumnya, JPU KPK Iskandar Marwanto dalam dakwaannya menyebutkan Dzulmi Eldin Wali Kota Medan nonaktif periode tahun 2016-2021 menerima uang suap sebesar Rp2,1 miliar dari para Kepala Dinas di Pemkot Medan.
"Peristiwa suap itu terjadi pada bulan Oktober 2019," kata Iskandar di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (5/3).
Saat itu, terdakwa Eldin menerima sejumlah uang senilai total Rp130 juta dari Isa Ansyari Kepala Dinas PUPR Kota Medan.
Baca juga: Pengadilan Tipikor Medan adili Kasubag Protokoler terkait kasus suap Dzulmi Eldin
Jaksa mengatakan bahwa uang tersebut diberikan sebagai imbalan karena terdakwa mengangkat Isa Ansyari sebagai Kepala Dinas PUPR Kota Medan. Perkara berikutnya adalah ketika perjalanan dinas Wali kota Medan Eldin, dalam rangka kerja sama sister city antara Kota Medan dan Kota Ichikawa di Jepang.
Akibat perjalanan dinas tersebut, kemudian diketahui terdapat pengeluaran Wali Kota Medan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian terdakwa memerintahkan Syamsul mencari dana dan menutupi ekses dana non-budget perjalanan ke Jepang dengan nilai sekitar Rp800 juta.
Kadis PUPR Medan Isa Ansyari kemudian mengirim uang Rp200 juta kepada terdakwa atas permintaan melalui Syamsul untuk keperluan pribadi wali kota. Berikutnya, Syamsul menghubungi ajudan Eldin, Aidiel Putra Pratama dan menyampaikan keperluan dana sekitar Rp800-900 juta untuk menutupi pengeluaran ke Jepang.
Jaksa menyebutkan, terdakwa Eldin menerima suap dan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana Juncto Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Sidang perkara korupsi dipimpin Majelis Hakim diketuai Abdul Azis dilanjutkan Kamis depan (19/3) untuk pemeriksaan terdakwa dan para saksi.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
"Surat dakwaaan KPK tersebut kabur dan tidak tepat, maka harus dibatalkan oleh Majalis Hakim," ujar Penasihat Hukum Dzulmi Eldin, Nizamuddin, saat membacakan eksepsinya di Pengadilan Tindak Korupsi (Tipikor) Medan, Kamis.
Ia mengatakan, pada surat dakwaan pertama maupun kedua, Penuntut Umum KPK juga tidak menguraikan secara jelas keikutsertaan Dzulmi Eldin dalam kasus penerimaan suap tersebut.
Baca juga: Dzulmi Eldin mulai disidang
Sebelumnya, JPU KPK Iskandar Marwanto dalam dakwaannya menyebutkan Dzulmi Eldin Wali Kota Medan nonaktif periode tahun 2016-2021 menerima uang suap sebesar Rp2,1 miliar dari para Kepala Dinas di Pemkot Medan.
"Peristiwa suap itu terjadi pada bulan Oktober 2019," kata Iskandar di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (5/3).
Saat itu, terdakwa Eldin menerima sejumlah uang senilai total Rp130 juta dari Isa Ansyari Kepala Dinas PUPR Kota Medan.
Baca juga: Pengadilan Tipikor Medan adili Kasubag Protokoler terkait kasus suap Dzulmi Eldin
Jaksa mengatakan bahwa uang tersebut diberikan sebagai imbalan karena terdakwa mengangkat Isa Ansyari sebagai Kepala Dinas PUPR Kota Medan. Perkara berikutnya adalah ketika perjalanan dinas Wali kota Medan Eldin, dalam rangka kerja sama sister city antara Kota Medan dan Kota Ichikawa di Jepang.
Akibat perjalanan dinas tersebut, kemudian diketahui terdapat pengeluaran Wali Kota Medan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian terdakwa memerintahkan Syamsul mencari dana dan menutupi ekses dana non-budget perjalanan ke Jepang dengan nilai sekitar Rp800 juta.
Kadis PUPR Medan Isa Ansyari kemudian mengirim uang Rp200 juta kepada terdakwa atas permintaan melalui Syamsul untuk keperluan pribadi wali kota. Berikutnya, Syamsul menghubungi ajudan Eldin, Aidiel Putra Pratama dan menyampaikan keperluan dana sekitar Rp800-900 juta untuk menutupi pengeluaran ke Jepang.
Jaksa menyebutkan, terdakwa Eldin menerima suap dan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana Juncto Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Sidang perkara korupsi dipimpin Majelis Hakim diketuai Abdul Azis dilanjutkan Kamis depan (19/3) untuk pemeriksaan terdakwa dan para saksi.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020