Punya rumah pada usia muda atau disebut generasi milenial adalah impian banyak orang, meski tak semua dari mereka dengan mudah dapat mewujudkannya.
Di Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri), kaum milenial dengan rentang usia 20-30 tahun cenderung berkeinginan punya rumah setelah menikah.
Demikian yang dilakukan oleh pasangan bernama Arpandi (29) dan Shinta (26). Keduanya sama-sama tercatat sebagai karyawan swasta di daerah tersebut.
Arpandi bercerita, keinginan punya rumah sendiri berawal dari rasa minder karena mereka cukup lama menumpang di rumah mertuanya.
Usai menikah, persisnya pada tahun 2014 silam, Arpandi atau akrab disapa Pandi itu, mengaku tak punya pilihan lain, selain ikut istri tinggal di rumah mertua.
"Memang kondisinya seperti itu, mertua minta tinggal serumah dulu. Cukup lama, sejak 2014 sampai 2018," katanya.
Dua tahun usia pernikahan mereka berjalan, sekitar tahun 2016, Pandi dan istri mulai menyisihkan sebagian penghasilan mereka buat menabung dan membeli rumah.
Sebulan menabung sekitar Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Gaji pasangan suami-istri itu kalau dikalkulasi sekitar Rp4,5 juta.
"Tak mungkin selamanya tinggal di rumah mertua. Karena tinggal dengan mertua, ada tak enaknya juga. Salah satu contoh, kalau tidur, tak bisa bangun siang," ujar Pandi menceritakan pengalamannya.
Sekira Tahun 2017, dari hasil tabungan keduanya, terkumpullah dana belasan juta rupiah. Pada saat yang bersamaan, berbagai tawaran rumah yang merupakan subsidi pemerintah pusat tengah "naik daun".
Brosur penjualan rumah subsidi dengan beragam promo dan kemudahan yang ditawarkan para pengembang bertebaran di mana-mana.
Hingga akhirnya, satu dari sekian banyak tawaran itu berhasil menggungah hati Pandi untuk segera berumah milik sendiri.
"Tahun 2017 itu, ada satu pengembang perumahan yang menawarkan rumah subsidi dengan letak yang sangat strategis seharga Rp136 juta. Dekat dengan pusat kota, tepatnya di Pinang Mas, Jalan Raja Ali Haji, Kilometer 8, Tanjungpinang," sebutnya.
Pandi lantas mengajukan diri dengan melengkapi persyaratan yang diminta pengembang, seperti, uang muka (DP) sekitar Rp30 juta, dengan cicilan selama setahun.
"Saat itu untuk DP rumah kami minus dana, tabungan tak sampai segitu. Terpaksa pinjam dengan mertua. Alhamdulillah, sekarang sudah dilunasi," kata dia.
Setahun berselang, tepatnya di awal tahun 2018, Pandi resmi terdaftar sebagai debitur KPR subsidi PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan pokok maksimal Rp4 juta/bulan.
Kini, dia dan istri menempati rumah sederhana tipe 36/84 di Perumnas Pinang Mas. Dengan fasilitas rumah terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu, toilet, dan air sumur.
Diakuinya, rumahnya dibanderol dengan harga yang cukup tinggi, karena tipenya hook, yakni rumah yang posisinya terletak pada bagian paling ujung dari ruas perumahan atau ruas jalan.
Karena posisinya yang tidak terhimpit antara rumah, maka akan terdapat satu sisi yang terbuka dan salah satu sisi lainnya berbatasan dengan rumah tetangga.
"Untuk mendapatkan hunian itu, selain DP Rp30 juta, kami membayar cicilan Rp861 ribu per bulan selama 20 tahun, dengan bunga flat 5 persen," ujarnya.
Sementara Muhammad Bunga Ashab (30), yang sehari-hari berkutat di dunia jurnalistik di ibu kota Kepri itu, berinisiatif membeli rumah subsidi setelah setahun menikah.
Awalnya, dia dan istri hanya mengambil rumah kontrakan di salah satu sudut Kota Tanjungpinang. Seiring waktu berjalan, pria yang akrab disapa Coki itu pun mulai merasa gerah berstatus penghuni kontrakan.
"Setelah saya pikir-pikir daripada ngontrak, kenapa tak beli rumah saja. Cicilan per bulan juga tak jauh beda, tinggal tambah sedikit, yang pasti rumah sendiri, milik sendiri," ujarnya
Kala itu, Tahun 2019, Coki menemukan rumah subsidi yang cocok. Sesuai kemampuan dan kondisi perumahan yang ia inginkan.
Bahkan, menurutnya, dari segi lokasi dan spesifikasi rumah yang ia maksud sangat bagus, lebih dekat dengan pasar dan pusat pemerintahan.
Tak lama, Coki pun mengajukan uang muka senilai Rp3 juta kepada pihak pengembang rumah subsidi. Selanjutnya pengembang mengajukan KPR ke BTN.
"Total DP dan KPR, habis sekitar Rp6,5 juta. Semua pengembang yang urus KPR di BTN. Saya cuma diwawancara dan tandatangan saja di bank, setelah itu selesai," ucapnya.
Usai urusan KPR, lantas tak membuat Coki dan istri langsung pindah ke rumah barunya. Dia harus menunggu sekitar tiga bulan sampai rumah tersebut sudah benar-benar siap untuk ditempati.
"Kebetulan waktu itu, tunggu rehab lantai, pagar, dan canopy" sebut coki.
Coki dan istri kini menjadi warga Perumnas Citra Pelita, Jalan Karya. Hunian itu diperolehnya dengan cicilan Rp800 ribu per bulan selama 20 tahun.
Artinya kalau saat ini umurnya 30 tahun, maka kredit rumah subsidinya lunas ketika ia berumur 50 tahun.
"Tipe rumah 36, ada dua kamar, satu toilet, ruang tamu, dapur. Lalu sisa lebih tanah 3,5 meter ke depan, dan 3 meter ke belakang," katanya.
Sadar memiliki tanggung jawab membayar cicilian rumah, Coki harus berhemat, mengencangkan ikat pinggang, membatasi pengeluaran agar bisa dibagi-bagi, mana buat kebutuhan pokok, bayar rumah, syukur-syukur bisa menabung.
"Gaji saya per bulan sekitar Rp4 juta. Itulah yang diolah buat kebutuhan saya dan istri. Kebetulan Istri juga belum bekerja, maka itu harus pandai-pandai berhemat," tutur Coki.
Baik Arpandi maupun Coki, keduanya sama-sama memegang prinsip bahwa pasangan nikah muda tak sulit membeli rumah sendiri, sekalipun dengan penghasilan pas-pasan, asal memiliki niat dan tekad yang sungguh-sungguh, pasti akan terwujud.
Apalagi saat ini, bagi kaum milenial, untuk mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Bank BTN cukup mudah.
Melansir btn.co.id, syarat pengajuan KPR WNI cukup mudah antara lain, usia minimal 21 tahun atau telah menikah, memiliki status karyawan tetap/wiraswasta/professional, kemudian lama bekerja karyawan minimal 1 tahun, lama usaha/profesi minimal 1 tahun.
Lalu usia pemohon tidak melebihi 65 tahun, dan pemohon wajib menutup asuransi (jiwa dan kebakaran) dengan syarat Banker Clause, bersedia menandatangani perjanjian kredit dan APHT (Akta Pembebanan Hak Tanggungan), dan pembayaran angsuran secara auto debet dari rekening Pemohon yang bersangkutan di Bank BTN.
Kurang berminat
Ketua Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Provinsi Kepri, kecuali Batam, Urip Widodo, menyebut ketertarikan kaum milenial buat membeli rumah subsidi masih rendah.
Secara persentase, dia tak merinci seberapa tinggi atau rendahnya minat kalangan milenial di wilayah Kepri untuk memiliki hunian sendiri.
Kebanyakan, kata dia, pembeli rumah memang sudah berusia 30 tahun ke atas, atau minimal punya anak satu. Sangat jarang didapati yang masih lajang.
"Kalau saya lihat, pembeli rumah yang melakukan akad di BTN, kondisi fisik didominasi 30-35 tahun, begitu pun yang terdata di Himperra Kepri," ujar Urip kepada ANTARA.
Dia menilai, kondisi yang terjadi saat ini ialah, kaum milenial masih berpikir kalau rumah bukan merupakan kebutuhan pokok.
Apalagi Tanjungpinang, ibu kota Kepri, bukan kota yang besar. Kadang generasi milenial merasa tak bankable, di mana ketika dia ingin punya rumah dengan pekerjaan yang dimiliki, tapi tak bisa tercover mendapatkan fasilitas pinjaman/KPR di bank.
"Tanjungpinang ini bayangkan, umur bawah 25 tahun, kalau ambil rumah, pekerjaan apa, paling banter honor dan PNS yang notabane setiap tahun penerimaan semakin kecil, industri tak ada, dunia hiburan tak hidup. Makanya tidak punya profesi yang bisa jadi sandaran dia dalam penilaian bank meloloskan pinjaman," ujarnya.
Dia katakan, kadang agar lolos KPR di bank, diakali dengan penghasilan take homepay, misalnya kerja di toko handphone dengan gaji sekitar Rp 2,5 juta.
Oleh pihak bank, kemudian dibuat laporan ada lembur dan bonus, sehinga angka gaji jadi Rp3,8 juta. Karena rumus bank untuk cicilan rumah, yaitu sepertiga dari penghasilan, kalau kurang dari itu tak dikabulkan.
"Saat mengajukan pinjaman di bank, ditanya gaji berapa, misalnya Rp2 juta, cicilan Rp900 ribu per bulan. Maka tak akan dikabulkan, karena 2/3 dianggap habis untuk kebutuhan dia, 1/3 habis buat cicil rumah," tutur Urip.
"Makanya maksimal angka Rp4 juta ditetapkan pemerintah, dengan asumsi cicilan rumah per bulan 900 ribu, sehingga masih tersimpan Rp3,1 juta, untuk kebutuhan harian," ungkapnya lagi.
Sudah waktunya
Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi milenial untuk membeli rumah subsidi, karena kondisi dunia properti sedang lesu. Sehingga pihak pengembang rumah terutama pemain besar, berlomba-lomba memberikan beragam kemudahan dan diskon, seperi DP rumah Rp0.
"Situasi ini dapat dimanfaatkan oleh para milenial, sebab kondisi begini tak lama. Jika perekonomian sudah normal, kemudahan-kemudahan itu biasanya akan dihilangkan," ujar Urip.
Menurut dia, rumah itu karateristiknya bukan semata-mata sebagai hunian, tapi sebuah investasi masa depan. Ketika sesorang tepat mengambil rumah di waktu yang tepat, dengan pilihan dan lokasi yang tepat pula, maka bakal mendatangkan keuntungan di kemudian hari.
"Misalnya beli sekarang Rp146 juta, rumahnya bagus, row jalannya bagus, tata ruang bagus. Nilainya 3-4 tahun kemudian bisa 400 juta, artinya ada nilai investasi di situ," katanya.
Masalah cicilan rumah acap kali menjadi momok bagi milenial, lanjut dia, kalau sampai hari ini sudah punya fix income, baik karyawan swasta, PNS atau pengsuha, tak perlu khawatir.
Dalam aturan terbaru, menurut Urip, uang muka rumah subsidi semakin diperirngan oleh pemerintah. Uang muka 0,5 persen untuk masyarakat umum dan sektor sawasta, dan khusus PNS, TNI-Polri 0,1 persen.
"Kalau harga rumah Rp100 juta, masyarakat umum cukup bayar Rp5 juta. PNS dan TNI-Polri Rp1 juta," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai secara umum anak-anak muda, khususnya di Kepri, porsi terbesarnya ialah gaya hidup, busana, gawai, nongkrong, dan sebagainya.
Padahal anggatan itu bisa dimaksimalkan untuk sesuatu yang punya nilai.
Diakuinya, situasi ekonomi di Kepri tengah lesu, kalau untuk menaikkan income. Namun, income yang ada bisa dikelola dengan lebih baik.
"Dengan mereduksi pengeluaran yang tak penting, dana itu bisa diambil buat beli rumah," sebut Urip.
Di tambah, dari tahun ke tahun harga rumah subsidi terus mengalami kenaikan. Tahun 2018 tipe 36 Rp136 juta, 2019 Rp146 juta, 2020 sudah Rp156 juta.
Data di Himperra Kepri, secara nasional tahun 2020 ini kuota rumah subsidi yang ditetapkan pusat ada 102 ribu unit, senilai Rp11 triliun.
Kalau untuk kuota di daerah, kata dia, sifatnya berdasarkan serapan. Siapa yang habis dulu, maka kuota akan ditambah oleh pusat.
"Khusus di Kepri, sekitar 90 persen, KPR rumah subsidi ditangani Bank BTN," ucap Urip.
Strategi BTN
PT Bank Tabungan Negara Persero Tbk menyiapkan lima strategi bisnis pada tahun ini untuk meningkatkan penetrasi Kredit Pemilikan Rumah dan penghimpunan dana murah dari nasabah generasi milenial.
"Tahun ini perseroan mengincar dapat menyediakan rumah bagi milenial sekaligus sebagai rumah para kaum muda tersebut untuk menyimpan dana, hingga melakukan berbagai transaksi," kata Direktur Utama Bank BTN Pahala N. Mansury dalam keterangan tertulis di Jakarta, baru-baru ini.
Pahala mengatakan ada lima strategi yang disiapkan perseroan untuk pergeseran fokus target ke nasabah milenial. Strategi pertama yakni meningkatkan berbagai lini digital perbankan.
Seperti diketahui, BTN baru saja meluncurkan program KPR Gaeesss for millenials yang dapat diakses lewat aplikasi BTN Properti Mobile. Keunggulan program KPR ini antara lain syarat uang muka (down payment/DP) mulai dari satu persen, bebas biaya admin, suku bunga satu digit, diskon provisi 50 persen, dan jangka waktu kredit hingga 30 tahun.
"Kalangan milenial ini menginginkan hal yang praktis. Dengan berbagai kemudahan digital yang kami miliki, kami membidik para milenial untuk dapat menjadikan Bank BTN sebagai rumah dalam bertransaksi maupun memiliki hunian," katanya.
Strategi kedua, kata dia, adalah mengakselerasi kemitraan dengan berbagai sektor dan pemangku kepentingan di industri properti dan pelaku industri keuangan seperti sektor finansial berbasis aplikasi (fintech).
"Saya melihat fintech dapat menjadi partner bagi kami untuk sama-sama dapat memberikan pelayanan terbaik terutama bagi nasabah milenial," kata Pahala.
Pahala mengatakan strategi ketiga adalah mengembangkan berbagai segmen bisnis serta infrastruktur, termasuk infrastruktur digital. Untuk mendukung pengembangan tersebut, di strategi keempat, BTN juga akan terus meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perseroan. SDM, tambah Pahala, akan berfokus pada peningkatan produktivitas serta kapasitas namun tetap mengutamakan kehati-hatian.
Untuk strategi terakhir, perseroan juga akan menerapkan bisnis model yang baru yang lebih berfokus pada pendanaan ritel serta pendanaan berskala menengah ke besar (wholesale funding). Aksi tersebut dilakukan untuk mengurangi biaya dana sehingga meningkatkan keuntungan perseroan.
"Kami juga ingin menempatkan posisi BTN tidak hanya sebagai bank spesialis perumahan, tapi juga sebagai bank tabungan sebagai tempat menabung khususnya bagi para milenial," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Di Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri), kaum milenial dengan rentang usia 20-30 tahun cenderung berkeinginan punya rumah setelah menikah.
Demikian yang dilakukan oleh pasangan bernama Arpandi (29) dan Shinta (26). Keduanya sama-sama tercatat sebagai karyawan swasta di daerah tersebut.
Arpandi bercerita, keinginan punya rumah sendiri berawal dari rasa minder karena mereka cukup lama menumpang di rumah mertuanya.
Usai menikah, persisnya pada tahun 2014 silam, Arpandi atau akrab disapa Pandi itu, mengaku tak punya pilihan lain, selain ikut istri tinggal di rumah mertua.
"Memang kondisinya seperti itu, mertua minta tinggal serumah dulu. Cukup lama, sejak 2014 sampai 2018," katanya.
Dua tahun usia pernikahan mereka berjalan, sekitar tahun 2016, Pandi dan istri mulai menyisihkan sebagian penghasilan mereka buat menabung dan membeli rumah.
Sebulan menabung sekitar Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Gaji pasangan suami-istri itu kalau dikalkulasi sekitar Rp4,5 juta.
"Tak mungkin selamanya tinggal di rumah mertua. Karena tinggal dengan mertua, ada tak enaknya juga. Salah satu contoh, kalau tidur, tak bisa bangun siang," ujar Pandi menceritakan pengalamannya.
Sekira Tahun 2017, dari hasil tabungan keduanya, terkumpullah dana belasan juta rupiah. Pada saat yang bersamaan, berbagai tawaran rumah yang merupakan subsidi pemerintah pusat tengah "naik daun".
Brosur penjualan rumah subsidi dengan beragam promo dan kemudahan yang ditawarkan para pengembang bertebaran di mana-mana.
Hingga akhirnya, satu dari sekian banyak tawaran itu berhasil menggungah hati Pandi untuk segera berumah milik sendiri.
"Tahun 2017 itu, ada satu pengembang perumahan yang menawarkan rumah subsidi dengan letak yang sangat strategis seharga Rp136 juta. Dekat dengan pusat kota, tepatnya di Pinang Mas, Jalan Raja Ali Haji, Kilometer 8, Tanjungpinang," sebutnya.
Pandi lantas mengajukan diri dengan melengkapi persyaratan yang diminta pengembang, seperti, uang muka (DP) sekitar Rp30 juta, dengan cicilan selama setahun.
"Saat itu untuk DP rumah kami minus dana, tabungan tak sampai segitu. Terpaksa pinjam dengan mertua. Alhamdulillah, sekarang sudah dilunasi," kata dia.
Setahun berselang, tepatnya di awal tahun 2018, Pandi resmi terdaftar sebagai debitur KPR subsidi PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan pokok maksimal Rp4 juta/bulan.
Kini, dia dan istri menempati rumah sederhana tipe 36/84 di Perumnas Pinang Mas. Dengan fasilitas rumah terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu, toilet, dan air sumur.
Diakuinya, rumahnya dibanderol dengan harga yang cukup tinggi, karena tipenya hook, yakni rumah yang posisinya terletak pada bagian paling ujung dari ruas perumahan atau ruas jalan.
Karena posisinya yang tidak terhimpit antara rumah, maka akan terdapat satu sisi yang terbuka dan salah satu sisi lainnya berbatasan dengan rumah tetangga.
"Untuk mendapatkan hunian itu, selain DP Rp30 juta, kami membayar cicilan Rp861 ribu per bulan selama 20 tahun, dengan bunga flat 5 persen," ujarnya.
Sementara Muhammad Bunga Ashab (30), yang sehari-hari berkutat di dunia jurnalistik di ibu kota Kepri itu, berinisiatif membeli rumah subsidi setelah setahun menikah.
Awalnya, dia dan istri hanya mengambil rumah kontrakan di salah satu sudut Kota Tanjungpinang. Seiring waktu berjalan, pria yang akrab disapa Coki itu pun mulai merasa gerah berstatus penghuni kontrakan.
"Setelah saya pikir-pikir daripada ngontrak, kenapa tak beli rumah saja. Cicilan per bulan juga tak jauh beda, tinggal tambah sedikit, yang pasti rumah sendiri, milik sendiri," ujarnya
Kala itu, Tahun 2019, Coki menemukan rumah subsidi yang cocok. Sesuai kemampuan dan kondisi perumahan yang ia inginkan.
Bahkan, menurutnya, dari segi lokasi dan spesifikasi rumah yang ia maksud sangat bagus, lebih dekat dengan pasar dan pusat pemerintahan.
Tak lama, Coki pun mengajukan uang muka senilai Rp3 juta kepada pihak pengembang rumah subsidi. Selanjutnya pengembang mengajukan KPR ke BTN.
"Total DP dan KPR, habis sekitar Rp6,5 juta. Semua pengembang yang urus KPR di BTN. Saya cuma diwawancara dan tandatangan saja di bank, setelah itu selesai," ucapnya.
Usai urusan KPR, lantas tak membuat Coki dan istri langsung pindah ke rumah barunya. Dia harus menunggu sekitar tiga bulan sampai rumah tersebut sudah benar-benar siap untuk ditempati.
"Kebetulan waktu itu, tunggu rehab lantai, pagar, dan canopy" sebut coki.
Coki dan istri kini menjadi warga Perumnas Citra Pelita, Jalan Karya. Hunian itu diperolehnya dengan cicilan Rp800 ribu per bulan selama 20 tahun.
Artinya kalau saat ini umurnya 30 tahun, maka kredit rumah subsidinya lunas ketika ia berumur 50 tahun.
"Tipe rumah 36, ada dua kamar, satu toilet, ruang tamu, dapur. Lalu sisa lebih tanah 3,5 meter ke depan, dan 3 meter ke belakang," katanya.
Sadar memiliki tanggung jawab membayar cicilian rumah, Coki harus berhemat, mengencangkan ikat pinggang, membatasi pengeluaran agar bisa dibagi-bagi, mana buat kebutuhan pokok, bayar rumah, syukur-syukur bisa menabung.
"Gaji saya per bulan sekitar Rp4 juta. Itulah yang diolah buat kebutuhan saya dan istri. Kebetulan Istri juga belum bekerja, maka itu harus pandai-pandai berhemat," tutur Coki.
Baik Arpandi maupun Coki, keduanya sama-sama memegang prinsip bahwa pasangan nikah muda tak sulit membeli rumah sendiri, sekalipun dengan penghasilan pas-pasan, asal memiliki niat dan tekad yang sungguh-sungguh, pasti akan terwujud.
Apalagi saat ini, bagi kaum milenial, untuk mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Bank BTN cukup mudah.
Melansir btn.co.id, syarat pengajuan KPR WNI cukup mudah antara lain, usia minimal 21 tahun atau telah menikah, memiliki status karyawan tetap/wiraswasta/professional, kemudian lama bekerja karyawan minimal 1 tahun, lama usaha/profesi minimal 1 tahun.
Lalu usia pemohon tidak melebihi 65 tahun, dan pemohon wajib menutup asuransi (jiwa dan kebakaran) dengan syarat Banker Clause, bersedia menandatangani perjanjian kredit dan APHT (Akta Pembebanan Hak Tanggungan), dan pembayaran angsuran secara auto debet dari rekening Pemohon yang bersangkutan di Bank BTN.
Kurang berminat
Ketua Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Provinsi Kepri, kecuali Batam, Urip Widodo, menyebut ketertarikan kaum milenial buat membeli rumah subsidi masih rendah.
Secara persentase, dia tak merinci seberapa tinggi atau rendahnya minat kalangan milenial di wilayah Kepri untuk memiliki hunian sendiri.
Kebanyakan, kata dia, pembeli rumah memang sudah berusia 30 tahun ke atas, atau minimal punya anak satu. Sangat jarang didapati yang masih lajang.
"Kalau saya lihat, pembeli rumah yang melakukan akad di BTN, kondisi fisik didominasi 30-35 tahun, begitu pun yang terdata di Himperra Kepri," ujar Urip kepada ANTARA.
Dia menilai, kondisi yang terjadi saat ini ialah, kaum milenial masih berpikir kalau rumah bukan merupakan kebutuhan pokok.
Apalagi Tanjungpinang, ibu kota Kepri, bukan kota yang besar. Kadang generasi milenial merasa tak bankable, di mana ketika dia ingin punya rumah dengan pekerjaan yang dimiliki, tapi tak bisa tercover mendapatkan fasilitas pinjaman/KPR di bank.
"Tanjungpinang ini bayangkan, umur bawah 25 tahun, kalau ambil rumah, pekerjaan apa, paling banter honor dan PNS yang notabane setiap tahun penerimaan semakin kecil, industri tak ada, dunia hiburan tak hidup. Makanya tidak punya profesi yang bisa jadi sandaran dia dalam penilaian bank meloloskan pinjaman," ujarnya.
Dia katakan, kadang agar lolos KPR di bank, diakali dengan penghasilan take homepay, misalnya kerja di toko handphone dengan gaji sekitar Rp 2,5 juta.
Oleh pihak bank, kemudian dibuat laporan ada lembur dan bonus, sehinga angka gaji jadi Rp3,8 juta. Karena rumus bank untuk cicilan rumah, yaitu sepertiga dari penghasilan, kalau kurang dari itu tak dikabulkan.
"Saat mengajukan pinjaman di bank, ditanya gaji berapa, misalnya Rp2 juta, cicilan Rp900 ribu per bulan. Maka tak akan dikabulkan, karena 2/3 dianggap habis untuk kebutuhan dia, 1/3 habis buat cicil rumah," tutur Urip.
"Makanya maksimal angka Rp4 juta ditetapkan pemerintah, dengan asumsi cicilan rumah per bulan 900 ribu, sehingga masih tersimpan Rp3,1 juta, untuk kebutuhan harian," ungkapnya lagi.
Sudah waktunya
Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi milenial untuk membeli rumah subsidi, karena kondisi dunia properti sedang lesu. Sehingga pihak pengembang rumah terutama pemain besar, berlomba-lomba memberikan beragam kemudahan dan diskon, seperi DP rumah Rp0.
"Situasi ini dapat dimanfaatkan oleh para milenial, sebab kondisi begini tak lama. Jika perekonomian sudah normal, kemudahan-kemudahan itu biasanya akan dihilangkan," ujar Urip.
Menurut dia, rumah itu karateristiknya bukan semata-mata sebagai hunian, tapi sebuah investasi masa depan. Ketika sesorang tepat mengambil rumah di waktu yang tepat, dengan pilihan dan lokasi yang tepat pula, maka bakal mendatangkan keuntungan di kemudian hari.
"Misalnya beli sekarang Rp146 juta, rumahnya bagus, row jalannya bagus, tata ruang bagus. Nilainya 3-4 tahun kemudian bisa 400 juta, artinya ada nilai investasi di situ," katanya.
Masalah cicilan rumah acap kali menjadi momok bagi milenial, lanjut dia, kalau sampai hari ini sudah punya fix income, baik karyawan swasta, PNS atau pengsuha, tak perlu khawatir.
Dalam aturan terbaru, menurut Urip, uang muka rumah subsidi semakin diperirngan oleh pemerintah. Uang muka 0,5 persen untuk masyarakat umum dan sektor sawasta, dan khusus PNS, TNI-Polri 0,1 persen.
"Kalau harga rumah Rp100 juta, masyarakat umum cukup bayar Rp5 juta. PNS dan TNI-Polri Rp1 juta," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai secara umum anak-anak muda, khususnya di Kepri, porsi terbesarnya ialah gaya hidup, busana, gawai, nongkrong, dan sebagainya.
Padahal anggatan itu bisa dimaksimalkan untuk sesuatu yang punya nilai.
Diakuinya, situasi ekonomi di Kepri tengah lesu, kalau untuk menaikkan income. Namun, income yang ada bisa dikelola dengan lebih baik.
"Dengan mereduksi pengeluaran yang tak penting, dana itu bisa diambil buat beli rumah," sebut Urip.
Di tambah, dari tahun ke tahun harga rumah subsidi terus mengalami kenaikan. Tahun 2018 tipe 36 Rp136 juta, 2019 Rp146 juta, 2020 sudah Rp156 juta.
Data di Himperra Kepri, secara nasional tahun 2020 ini kuota rumah subsidi yang ditetapkan pusat ada 102 ribu unit, senilai Rp11 triliun.
Kalau untuk kuota di daerah, kata dia, sifatnya berdasarkan serapan. Siapa yang habis dulu, maka kuota akan ditambah oleh pusat.
"Khusus di Kepri, sekitar 90 persen, KPR rumah subsidi ditangani Bank BTN," ucap Urip.
Strategi BTN
PT Bank Tabungan Negara Persero Tbk menyiapkan lima strategi bisnis pada tahun ini untuk meningkatkan penetrasi Kredit Pemilikan Rumah dan penghimpunan dana murah dari nasabah generasi milenial.
"Tahun ini perseroan mengincar dapat menyediakan rumah bagi milenial sekaligus sebagai rumah para kaum muda tersebut untuk menyimpan dana, hingga melakukan berbagai transaksi," kata Direktur Utama Bank BTN Pahala N. Mansury dalam keterangan tertulis di Jakarta, baru-baru ini.
Pahala mengatakan ada lima strategi yang disiapkan perseroan untuk pergeseran fokus target ke nasabah milenial. Strategi pertama yakni meningkatkan berbagai lini digital perbankan.
Seperti diketahui, BTN baru saja meluncurkan program KPR Gaeesss for millenials yang dapat diakses lewat aplikasi BTN Properti Mobile. Keunggulan program KPR ini antara lain syarat uang muka (down payment/DP) mulai dari satu persen, bebas biaya admin, suku bunga satu digit, diskon provisi 50 persen, dan jangka waktu kredit hingga 30 tahun.
"Kalangan milenial ini menginginkan hal yang praktis. Dengan berbagai kemudahan digital yang kami miliki, kami membidik para milenial untuk dapat menjadikan Bank BTN sebagai rumah dalam bertransaksi maupun memiliki hunian," katanya.
Strategi kedua, kata dia, adalah mengakselerasi kemitraan dengan berbagai sektor dan pemangku kepentingan di industri properti dan pelaku industri keuangan seperti sektor finansial berbasis aplikasi (fintech).
"Saya melihat fintech dapat menjadi partner bagi kami untuk sama-sama dapat memberikan pelayanan terbaik terutama bagi nasabah milenial," kata Pahala.
Pahala mengatakan strategi ketiga adalah mengembangkan berbagai segmen bisnis serta infrastruktur, termasuk infrastruktur digital. Untuk mendukung pengembangan tersebut, di strategi keempat, BTN juga akan terus meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perseroan. SDM, tambah Pahala, akan berfokus pada peningkatan produktivitas serta kapasitas namun tetap mengutamakan kehati-hatian.
Untuk strategi terakhir, perseroan juga akan menerapkan bisnis model yang baru yang lebih berfokus pada pendanaan ritel serta pendanaan berskala menengah ke besar (wholesale funding). Aksi tersebut dilakukan untuk mengurangi biaya dana sehingga meningkatkan keuntungan perseroan.
"Kami juga ingin menempatkan posisi BTN tidak hanya sebagai bank spesialis perumahan, tapi juga sebagai bank tabungan sebagai tempat menabung khususnya bagi para milenial," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020