Panyabungan (Antaranews Sumut) - Reruntuhan candi Siwa (Candi Simangambat) yang berlokasi di Kelurahan Simangambat Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal saat ini kondisinya nyaris diabaikan oleh pemerintah baik itu dari Balai Cagar Budaya Daerah maupun dinas daerah tingkat kabupaten yang membidanginya.
Candi ini sudah lama runtuh namun seyogianya struktur-struktur penting yang memiliki nilai sejarah tinggi banyak yang raib, dirusak orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga saat ini perlu menjadi perhatian oleh semua pihak.
Mengingat reruntuhan candi ini merupakan situs sejarah yang diyakini telah ada sejak abad ke-9 masehi dari masa Hindu-Budha klasik sudah seyogianya struktur-struktur candi tersebut hendaknya diamankan agar terhindar dari tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.
Seperti misalnya melakukan pemagaran lokasi dan pembuatan papan informasi dari instansi terkait sehingga masyarakat yang ada nantinya akan lebih mengetahui informasi tentang candi tersebut.
Penggiat sejarah Mandailing Natal, Askolani Nasution dalam bincang-bincangnya dengan Antara, Senin (22/10) menyebutkan, reruntuhan Candi Siwa di Simangambat ini diyakini telah ada sejak abad ke-9 masehi dari masa Hindu-Budha klasik.
Dan itu lebih tua dari candi-candi lainnya di kawasan Mandailing, misalnya Candi Bahal atau Candi Portibi yang selama ini lebih populer di wilayah bekas kabupaten Tapanuli Bagian Selatan.
Ia menyebutkan, candi yang berada dikawasan Padang Lawas tersebut baru dibangun pada abad 11 masehi. Jadi ada rentang waktu 200 tahun setelah candi kawasan Simangambat dibangun.
Atas hal itu dia berpendapat, bahwa candi Simangambat menguatkan deskripsi tentang kawasan kebudayaan Mandailing yang tertera dalam Kitab Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 masehi.
Selain itu, candi ini juga membuktikan bahwa penduduk sudah ada yang menatap di kawasan Mandailing yang usianya jauh lebih tua dari klaim tarombo (legenda silsilah) dari etnik Toba.
Candi ini juga mementahkan anggapan yang diyakini selama ini bahwa penduduk Mandailing terbentuk dari sebaran penduduk dari Utara yang katanya terjadi pada abad ke-15 masehi.
Berdasarkan penelitian Arie Sudewo dari Balai Arkeologi beberapa tahun lalu, Candi Simangambat memiliki konstruksi yang sama dengan candi Sewu di Jawa Tengah. Candi Sewu sendiri dibangun pada abad delapan masehi.
Adanya kesamaan konstruksi itu menimbulkan asumsi berpikir bahwa kebudayaan (dengan tujuh unsurnya) penduduk di sekitar candi Sewu setara dengan kebudayaan penduduk di kawasan Mandailing pada abad yang sama.
"Dengan begitu, abad ke delapan masehi, Mandailing sudah memiliki peradaban yang tinggi," katanya.
Asumsi lainnya, jika candi Sewu memiliki ratusan candi, (sewu sendiri berarti seribu), maka di sekitar Candi Simangambat juga terdapat “banyak” candi lainnya yang belum ditemukan.
Dengan adanya asumsi terakhir ini meyakini semakin kuat dengan adanya candi “Saba Siabu” dan rangkaian candi yang diyakini tertimbun di sekitar Aek Milas Siabu hingga sepanjang aliran sungai Aek Siancing – Aek Badan – dan Aek Sipuruk yang mengalir di bawah jembatan Bonandolok.
Dari konstruksinya dan patahan arca “kepala kala”, Candi Simangambat, juga diyakini merupakan pintu gerbang sebelah Barat dari sebuah kerajaan besar.
Klaim itu juga menimbulkan asumsi baru bahwa sebelah Timur Candi Simangambat merupakan sebuah kawasan kerajaan besar yang membentang sekurang-kurangnya hingga sepanjang aliran Sungai Aek Siancing – Aek Badan – dan Aek Sipuruk.
Ia juga menjelaskan, dari beberapa catatan tentang adanya jejak peradaban yang membentang dari Candi Simangambat hingga ke daerah aliran sungai Barumun juga menimbulkan asumsi baru bahwa kawasan antara Candi Simangambat-aliran Sungai Aek Badan hingga ke arah Utara pernah menjadi pusat peradaban besar.
"Candi ini pada awalnya dipublikasikan oleh peneliti Belanda, Bosch dan Schintger, tahun 1920. Tahun 2008 dilakukan penelitian oleh tim peneliti Universitas Sumatera Utara. Tahun 2009 kembali dilakukan penelitian oleh Balai Arkeologi Medan," sebut dia.
Kemudian hasil-hasil penelitian itu dipublikasikan dalam berbagai laporan, termasuk laporan yang amat mendetail dari Arie Sudewo.
Struktur Candi Simangambat masih ditemukan dengan jelas dari susunan batu bata merah di bagian dalam dan batu pasir di bagian luar.
Ditemukan juga struktur batu berhias dan patung kepala Kala. Pembangunan candi ini dengan bentangan yang luas menimbulkan asumsi besarnya jumlah penduduk kawasan ini pada saat itu.
Selain itu, candi dengan ornamen yang khas, menunjukkan tingginya ilmu arsitektur masyarakat sekitar. Semua asumsi itu tentu saja memerlukan kajian arkeologi dan entografi yang mendalam terutama peran pemerintah daerah dan lembaga pelestarian kebudayaan Mandailing.
Sekurang-kurangnya dengan sebuah studi yang mendalam, plus pelestarian, akan mampu menjelaskan secara komprehensif tentang manusia Mandailing di masa lalu, itu yang menjadi kita hari ini.
"Bukan macam sekarang, semua serba mengambang. Seolah-olah kita yang sekarang ada begitu saja tanpa sejarah yang lengkap," tegas dia.
Untuk itu dia berharap bahwa pelestarian budaya bukan sampai pada tahap menuliskan nilai-nilai adat dan budaya saja, yang implementasinya hanya sebatas pemberian marga, gelar kehormatan, dan prosesi adat lainnya.
Melainkan tanggung jawab kita hari ini adalah bagaimana mewariskan sejarah dan kebudayaan itu kepada generasi setelah kita, selagi semuanya masih membekas.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018
Candi ini sudah lama runtuh namun seyogianya struktur-struktur penting yang memiliki nilai sejarah tinggi banyak yang raib, dirusak orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga saat ini perlu menjadi perhatian oleh semua pihak.
Mengingat reruntuhan candi ini merupakan situs sejarah yang diyakini telah ada sejak abad ke-9 masehi dari masa Hindu-Budha klasik sudah seyogianya struktur-struktur candi tersebut hendaknya diamankan agar terhindar dari tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.
Seperti misalnya melakukan pemagaran lokasi dan pembuatan papan informasi dari instansi terkait sehingga masyarakat yang ada nantinya akan lebih mengetahui informasi tentang candi tersebut.
Penggiat sejarah Mandailing Natal, Askolani Nasution dalam bincang-bincangnya dengan Antara, Senin (22/10) menyebutkan, reruntuhan Candi Siwa di Simangambat ini diyakini telah ada sejak abad ke-9 masehi dari masa Hindu-Budha klasik.
Dan itu lebih tua dari candi-candi lainnya di kawasan Mandailing, misalnya Candi Bahal atau Candi Portibi yang selama ini lebih populer di wilayah bekas kabupaten Tapanuli Bagian Selatan.
Ia menyebutkan, candi yang berada dikawasan Padang Lawas tersebut baru dibangun pada abad 11 masehi. Jadi ada rentang waktu 200 tahun setelah candi kawasan Simangambat dibangun.
Atas hal itu dia berpendapat, bahwa candi Simangambat menguatkan deskripsi tentang kawasan kebudayaan Mandailing yang tertera dalam Kitab Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 masehi.
Selain itu, candi ini juga membuktikan bahwa penduduk sudah ada yang menatap di kawasan Mandailing yang usianya jauh lebih tua dari klaim tarombo (legenda silsilah) dari etnik Toba.
Candi ini juga mementahkan anggapan yang diyakini selama ini bahwa penduduk Mandailing terbentuk dari sebaran penduduk dari Utara yang katanya terjadi pada abad ke-15 masehi.
Berdasarkan penelitian Arie Sudewo dari Balai Arkeologi beberapa tahun lalu, Candi Simangambat memiliki konstruksi yang sama dengan candi Sewu di Jawa Tengah. Candi Sewu sendiri dibangun pada abad delapan masehi.
Adanya kesamaan konstruksi itu menimbulkan asumsi berpikir bahwa kebudayaan (dengan tujuh unsurnya) penduduk di sekitar candi Sewu setara dengan kebudayaan penduduk di kawasan Mandailing pada abad yang sama.
"Dengan begitu, abad ke delapan masehi, Mandailing sudah memiliki peradaban yang tinggi," katanya.
Asumsi lainnya, jika candi Sewu memiliki ratusan candi, (sewu sendiri berarti seribu), maka di sekitar Candi Simangambat juga terdapat “banyak” candi lainnya yang belum ditemukan.
Dengan adanya asumsi terakhir ini meyakini semakin kuat dengan adanya candi “Saba Siabu” dan rangkaian candi yang diyakini tertimbun di sekitar Aek Milas Siabu hingga sepanjang aliran sungai Aek Siancing – Aek Badan – dan Aek Sipuruk yang mengalir di bawah jembatan Bonandolok.
Dari konstruksinya dan patahan arca “kepala kala”, Candi Simangambat, juga diyakini merupakan pintu gerbang sebelah Barat dari sebuah kerajaan besar.
Klaim itu juga menimbulkan asumsi baru bahwa sebelah Timur Candi Simangambat merupakan sebuah kawasan kerajaan besar yang membentang sekurang-kurangnya hingga sepanjang aliran Sungai Aek Siancing – Aek Badan – dan Aek Sipuruk.
Ia juga menjelaskan, dari beberapa catatan tentang adanya jejak peradaban yang membentang dari Candi Simangambat hingga ke daerah aliran sungai Barumun juga menimbulkan asumsi baru bahwa kawasan antara Candi Simangambat-aliran Sungai Aek Badan hingga ke arah Utara pernah menjadi pusat peradaban besar.
"Candi ini pada awalnya dipublikasikan oleh peneliti Belanda, Bosch dan Schintger, tahun 1920. Tahun 2008 dilakukan penelitian oleh tim peneliti Universitas Sumatera Utara. Tahun 2009 kembali dilakukan penelitian oleh Balai Arkeologi Medan," sebut dia.
Kemudian hasil-hasil penelitian itu dipublikasikan dalam berbagai laporan, termasuk laporan yang amat mendetail dari Arie Sudewo.
Struktur Candi Simangambat masih ditemukan dengan jelas dari susunan batu bata merah di bagian dalam dan batu pasir di bagian luar.
Ditemukan juga struktur batu berhias dan patung kepala Kala. Pembangunan candi ini dengan bentangan yang luas menimbulkan asumsi besarnya jumlah penduduk kawasan ini pada saat itu.
Selain itu, candi dengan ornamen yang khas, menunjukkan tingginya ilmu arsitektur masyarakat sekitar. Semua asumsi itu tentu saja memerlukan kajian arkeologi dan entografi yang mendalam terutama peran pemerintah daerah dan lembaga pelestarian kebudayaan Mandailing.
Sekurang-kurangnya dengan sebuah studi yang mendalam, plus pelestarian, akan mampu menjelaskan secara komprehensif tentang manusia Mandailing di masa lalu, itu yang menjadi kita hari ini.
"Bukan macam sekarang, semua serba mengambang. Seolah-olah kita yang sekarang ada begitu saja tanpa sejarah yang lengkap," tegas dia.
Untuk itu dia berharap bahwa pelestarian budaya bukan sampai pada tahap menuliskan nilai-nilai adat dan budaya saja, yang implementasinya hanya sebatas pemberian marga, gelar kehormatan, dan prosesi adat lainnya.
Melainkan tanggung jawab kita hari ini adalah bagaimana mewariskan sejarah dan kebudayaan itu kepada generasi setelah kita, selagi semuanya masih membekas.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018