Medan, 22/6 (Antara) - Presiden RI terpilih priode 2014-2019 diharapkan dapat membuat keputusan strategis untuk menunda Indonesia masuk dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)  atau ASEAN Economic Community (AEC) yang telah disepakati diterapkan mulai 1 Januari 2015.

Pakar Hubungan Internasional Universitas Sumatera Utara (USU) Rosmeri Sabri di Medan, Minggu, mengatakan, penundaan itu sangat penting karena Indonesia belum siap mengikuti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang menerapkan persaingan ekonomi yang sangat keras tersebut.

"Indonesia belum siap. Dari sisi mana kita siap. Atas nama pasar bebas, kita akan menjadi 'makanan' mereka," katanya.

Menurut Rosmeri, dari aspek keterampilan (skil), Indonesia jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan sumber daya manusia yang dimiliki Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Kondisi itu dapat dilihat dari data statistik tentang sebaran tenaga kerja Indonesia yang masih didomoniasi tamatan SD dan SMP.

"Sedangkan negara lain sudah S-1. Jadi, dari aspek skil, negara lain lebih menguasai," katanya.

Kemudian, Indonesia juga masih tertinggal dengan persediaan modal untuk mengeksplorasi berbagai sumber daya alam yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Dengan modal yang besar, tenaga ahli, dan penguasaan teknologi yang dimiliki, negara ASEAN seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia akan leluasa mengeksplorasi berbagai sumber daya alam Indonesia.

Karena itu, pemerintah Indonesia harus menunda pemberlakuan MEA tersebut sambil mempersiapkan diri agar tidak menjadi "makanan empuk" bagi negara lain.

Untuk tetap menjaga kebanggaan sebagai negara yang berdaulat, Indonesia yang memiliki banyak sumber daya alam dapat mencari tenaga terampil dan modal dari pasar internasional.

"Banyak kok ahli-ahli eksplorasi, kita bayar mereka. Kita yang mengelola sendiri, tetapi tenaganya kita gaji dari aspek profesionalitas," katanya.

Kebijakan tersebut diperkirakan memang mahal dari segi pendanaan. "Namun jauh lebih mahal jika mengorbankan sumber daya alam. Itu berkah dari Tuhan, Tidak bisa tergantikan dengan apapun," ujar Rosmeri.

Ia menjelaskan, kerja sama ekonomi yang dibangun harus dapat menjamin kepentingan nasional agar proses yang dijalani memberikan manfaat bagi kemajuan bangsa.

Jika kepentingan nasional tidak terjamin, maka kerja sama ekonomi yang dibangun menjadi sia-sia dan hanya menjadikan bangsa tertentu sebagai "makanan" bagi negara lain.

Kebijakan yang mengutamakan kedaulatan bangsa tersebut akan diterapkan Inggris yang merasa kepentingan nasionalnya tidak terjamin dalam kerja sama unieropa yang dianggap sebagai contoh paling komprehensif dari bentuk kerja sama ekenomi dunia.

Indonesia harus menyadari bahwa kepentingan untuk mempersiapkan fondasi ekonomi yang kuat jauh lebih utama karena tidak adanya jaminan bantuan dari peserta kerja sama ekonomi jika Indonesia mengalami krisis.

"Buktinya, ketika Indonesia mengalami krisis tahun 1998, tidak ada negara Asean yang membantu. Masing-masing menyelamatkan diri," katanya.

Tidak adanya jaminan bantuan terhadap negara yang mengalami krisis dari mitra kerja sama ekonomi juga dialami Yunani yang menjadi anggota unieropa.

"Yunani yang mengalami krisis tidak mendapatkan bantuan dari unieropa. Jerman berulang kali berjanji mau membantu atas nama solidaritas unieropa, tetapi tidak pernah dibantu, akhirnya Yunani kolaps," uajrnya.

Indonesia perlu meniru sikap tegas yang ditunjukkan China yang konsisten tidak mau memasuki pasar bebas internasional karena merasa belum siap.

Setelah siap, China baru ikut pasar bebas sehingga mampu mengambil keuntungan. "Ketika lemah, China tidak mau masuk pasar bebas," kata Rosmeri.

Ia menambahkan, Indonesia tidak perlu takut dikucilkan atau mendapatkan sanksi jika menunda untuk ikut MEA karena keikutsertaan dalam kerja sama ekonomi tersebut tidak bersifat mutlak.

"Tidak ada mekanisme hukum internasional yang bisa menggiring kita kalau tidak mau ikut. Kedaulatan itu hanya di batas negara, tidak ada kedaulatan di atas negara," katanya.

Salah satu contoh negara yang sangat mengedepankan kedaulatan dan kebanggaannya sebagai sebuah bangsa adalah Israel dengan menerapkan kebijakan yang hanya menguntungkan negaranya.

Meski sangat sering menerima resolusi PBB, tetapi Israel tidak pernah goyah dari kedaulatannya. "Israel negara yang paling banyak menerima resolusi PBB. Namun Israel tetap berdiri, apa bisa PBB bubarin (Israel)?," ujar Rosmeri.

Pemilihan presiden 9 Juli 2014 diikuti dua pasangan calon yakni Prabowo-Hatta (nomor urut 1) yang didukung Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PKS, PBB, dan PAN.

Sedangkan kandidiat lain Jokowi-JK (nomor urut2 ) didukung PDI Perjuangan, PKB, Partai NasDem, dan PKPI. (I023)

Pewarta: Irwan Arfa

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014