Depok, 8/6 (Antara) - Meski pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden 2014 masih sebulan lagi, tetapi jawaban atas teka teki tentang siapakah "Prabowo atau Jokowi" yang bakal melenggang ke istana presiden, membuat publik dan para pendukung kedua pasang capres/cawapres makin penasaran.

Meskipun beragam hasil survei dan "ramalan-ramalan" para ahli politik sudah bertebaran baik di media cetak dan elektronik maupun media sosial dan dunia maya, tetapi sulit bagi siapapun untuk menebak dengan jitu siapakah gerangan yang akan memenangi Pilpres 2014.

Memang Lingkaran Survei Indonesia (LSI) berpendapat, Pilpres 2014merupakan momentum Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Dia diprediksi bakal menjadi pendulang suara karena elektabilitasnya terus naik.

Peneliti dari LSI, Adjie Alfaraby menyebutkan, Pilpres 2014 merupakan momentum bagi Jokowi jika ingin menjadi presiden dan bila dia tidak mengambil kesempatan ini, posisi elektabilitasnya di kemudian hari tidak akan sekuat sekarang.

Sejak terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta, kata Adjie, popularitas Jokowi makin melejit. Gaya kepemimpinan Jokowi yang apa adanya, terang-terangannya, langsung turun ke bawah, tidak birokratis, sederhana, adalah antitesis dari gaya kepemimpinan para pemimpin sebelumnya, termasuk mantan gubernur Fauzi Bowo.

Namun demikian pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat lain. Jokowi tidak memiliki kekuasaan untuk memilih karena terikat dengan PDI Perjuangan. Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan sudah menetapkan Jokowi sebagi calon presiden.

"Jadi pimpinan parpol sebaiknya tidak terlena dengan hasil survei yang menempatkan Jokowi di posisi puncak, sebab kemampuan Jokowi belum teruji. Dia baru berhasil memimpin Kota Solo dan baru saja menjalankan tugasnya selaku Gubernur DKI Jakarta," katanya.

Sementara itu jika pilpres digelar 5 Juni, hasil sebuah survei menunjukkan pasangan Jokowi-JK menang 47,50 persen, Prabowo-Hatta hanya 36,90 persen.

Jokowi-JK berdasarkan riset LSI untuk sementara masih unggul di tataran survei, mereka menguasai 31 provinsi. Sebaliknya, Prabowo-Hatta hanya unggul di dua provinsi, yakni DKI Jakarta dan Banten.

Peneliti LSI lainnya, Rully Akbar mengingatkan, walaupun hasil survei menunjukkan Jokowi-JK sementara unggul, tapi Prabowo-Hatta trennya naik. Sebaliknya, Jokowi-JK cenderung stagnan.

"Jadi, belum bisa ditebak, siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam tarung head to head di Pilpres 9 Juli mendatang. Tapi siapapun yang bisa merebut pemilih yang mengambang (35 persen) dengan pencitraan figur yang lebih baik, mereka bisa memenangkan Pilpres 2014," katanya.

Lembaga Survei Populi Center memprediksi selisih elektabilitas Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 nanti hanya kisaran 5-15 persen.
Berdasarkan hasil survei Populi Center Rabu lalu, pasangan Jokowi-JK keluar sebagai pemenang dengan elektebilitas 47,50 persen. Sedangkan tingkat keterpilihan Prabowo-Hatta mencapai 36,90 persen.

Dari hasil survei itu diprediksi pilpres akan berlangsung ketat, kedua pasangan masih memiliki peluang yang sama untuk menang, karena perbedaannya tidak terlalu jauh, kata Ketua Populi Center, Nico Harjanto.

Meski demikian koalisi Prabowo-Hatta yang gemuk (didukung oleh mayoritas parpol) dinilai pengamat politik Karyono Wibowo tidak menjadi jaminan untuk memenangi pertarungan Pilpres 2014.

Dia malah meyakini bahwa pasangan Jokowi-JK akan memenangkan Pilpres 2014 nanti, meskipun koalisinya hanya didukungh empat partai saja. "Jokowi adalah pemimpin yang lahir dari rakyat dan membela rakyat.

"Saya pun yakin suara rakyat akan berpihak pada pemimpin yang punya komitmen kuat yaitu Joko Widodo," katanya.

Kubu Prabowo-Hatta menanggapi santai hasil survei yang menempatkan Jokowi-JK unggul sementara. Menurut Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Fadli Zon, hasil survei hanyalah sebagai alat potret.

Survei tidak menunjukkan hasil pilpres sebenarnya. "Ya, ini kan masih tahap sekarang. Nanti yang menentukan juga rakyat," ujarnya.

Bahkan, tiga hari menjelang pilpres keadaan bisa saja berubah. "Nggak jamin itu," ujar Fadli yang justru mengaku optimistis Prabowo-Hatta akan menang Pilpres 2014. Apalagi, dukungan dari berbagai elemen masyarakat terus bermunculan.

Dari survei internal Gerindra, katanya, elektabilitas Prabowo naik terus. Fadli yakin elektabilitas Prabowo-Hatta akan terus naik hingga di atas angka 45 persen. Bahkan, saat Pilpres nanti bisa tembus 60 persen.

Sengit di tujuh provinsi



LSI juga mengidentifikasi tujuh provinsi strategis akan menjadi ajang pertarungan sengit antar dua kubu capres-cawapres di Pilpres 2014. "Ketujuh provinsi itu adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara," kata Rully Akbar.

Menurut dia, untuk memenangi pilpres yang tinggal 30 hari lagi, tim sukses dan pasangan capres-cawapres harus menguasai teritori strategis ini karena populasi pemilih di ketujuh provinsi strategis ini mencapai 70 persen dari total pemilih nasional.

"Mereka yang memenangi suara pemilih di tujuh provinsi tersebut akan menjadi presiden dan wakil presiden terpilih," katanya.

Sementara itu pakar hukum tata negara dari Universitas Hasanuddin, Margarito menegaskan, syarat kemenangan 20 persen di separuh provinsi (17 Provinsi) di Indonesia mutlak harus dipenuhi.

Pasalnya, ketentuan itu tidak hanya tercantum dalam UU No. 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden saja, juga ketentuan dari pasal 6A ayat 3 dan 4 UUD 1945.

Pasal tersebut juga mengharuskan syarat persebaran suara diberlakukan bagi pasangan capres dan cawapres terpilih.

Penetapan pemenang pilpres dengan suara terbanyak baru diberlakukan setelah pasal 1 dan 2 tidak terpenuhi.

"Misalnya pada putaran pertama tidak ada yang memenuhi syarat persebaran suara, baru diberlakukan pasal 3 dan 4, tidak bisa langsung lompat," kata Margarito.

Dengan demikian, Komisi Pemilihan Umum menurut dia tidak perlu lagi membuat peraturan untuk menguatkan atau menjelaskan syarat tersebut.

"Bahkan syarat persebaran tersebut tak perlu lagi diuji ke Mahkamah Konstitusi, ini sudah ketentuan hukum."

Ada dua penafsiran menyangkut isi pasal 159 UU No. 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden.

Pandangan pertama menafsirkan: karena hanya ada dua pasang capres dan cawapres, maka peraih suara terbanyak dalam pemilihan presiden ditetapkan sebagai pemenang. Syarat harus meraih kemenangan minimal 20 persen di separuh jumlah provinsi di Indonesia diabaikan.

Sementara pendapat kedua menyatakan, selain suara terbanyak syarat sebaran suara tersebut harus dipenuhi.

Perbedaan pendapat itu menjadi perhatian Komisi Pemilihan Umum. KPU saat ini tengah menyiapkan aturan untuk mengantisipasi perbedaan tersebut.

Namun, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengatakan, perbedaan pendapat tak hanya pada soal pemenangan pilpres.

Namun juga perlu tidaknya KPU mengeluarkan peraturan terkait syarat pemenangan.

Menurut guru besar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada itu, bakal ada pihak yang berpandangan bahwa peraturan KPU tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dia menyarankan perbedaan penafsiran atas syarat pemenangan pilpres tesebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

"Jadi ujungnya tetap diselesaikan di MK sebagai sengketa pilpres," katanya.

Terlepas dari ketentuan UU tentang pemenang pilpres, nyatanya sulit untuk menentukan pemenang Pilpres 2014.

Pasalnya, walaupun dalam pemilu legislatif lalu memilih partai pendukung dan pengusung capres/cawapres yang sekarang, belum tentu pemilih akan memilih mereka lagi pada Pipres 9 Juli.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 diikuti pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. (Z002)

Pewarta: Illa Kartila

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014