Oleh Waristo

Simalungun, 9/4 (Antara) - Seorang pemilih keluar dari bilik suara dengan raut muka kebingungan karena tidak menemukan calon legislatif yang akan dipilihnya.

Pria paruh baya itu tampak dengan wajah hambar ke luar dari bilik TPS.

"Aku capek mencari-cari nama yang mau ku coblos, eh tidak ada dalam surat suara. Yah, katanya bebas memilih tetapi yang mau ku pilih tidak ada. Bagaimana ini," ucap kecewa warga Simalungun, Rabu di sela-sela hingar-bingar pesta demokrasi akbar di tanah air.

Warga yang masuk dalam daftar pemilih tetap di Kabupaten Simalungun ini menegaskan calon anggota legislatif pilihannya yang masih ada kaitan hubungan kekerabatan, sudah terdaftar dalam daftar caleg tetap.

Dia menyebut nama dan partai politik calon pilihan, dan ketika diperiksa ulang, memang terdaftar dalam caleg, namun berada di daerah pemilihan (Dapil) lain. Bukan di daerah tempat tinggalnya.

Pengalaman pria itu ternyata juga dialami warga lain karena ingin memilih kerabatnya (sesuai marga) ternyata bukan Dapil setempat.

Jika ditarik secara nasional maka pengalaman itu bukan hanya terjadi si Simalungun meskipun mungkin kasus-kasus tersebut kebanyakan terjadi di daerah yang nuansa kekerabatan masih kental karena didukung oleh adanya "marga" sehingga lebih mudah "menginditifikasikan" garis keluarga.

Bisa jadi kasus-kasus ini juga kental nuansanya di daerah Sulawesi Utara (warga Manado) dan warga Maluku yang cukup mudah mengenal silsilah (marga).

Perjalanan Panjang

Dari kasus itu, harusnya tidak perlu terjadi karena perjalanan Pemilu di Indonesia sudah cukup panjang.

Pemerintah telah melaksanakan 10 kali pemilihan sejak merdeka, dengan perubahan drastis dari demokrasi tidak langsung menjadi langsung sejak 1999.

Demokrasi tidak langsung, rakyat (pemilih) mewakilkan pilihannya melalui partai politik. Rakyat hanya mencoblos partai politik, siapa wakil rakyat yang didudukkan partai politik yang menentukan.

Sistem ini dinilai tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Rakyat merasa memilih 'dalam karung' karena tidak mengetahui siapa kelak yang mewakili mereka di kursi lembaga perwakilan.

Dan dalam perjalanan sistem ini, hampir keseluruhan wakil rakyat yang ditentukan partai politik untuk menjadi anggota Dewan, tidak berpihak kepada rakyat.

Sistem pun diganti, demokrasi langsung. Rakyat bukan hanya diberi kesempatan untuk memilih wakilnya secara langsung, tetapi juga mencalonkan diri untuk menduduki kursi 'kehormatan' itu.

Menjamurnya figur yang mencalonkan diri, menjadi alasan penyelenggara Pemilu mempergunakan sistem pembagian dapil mempertimbangkan ketidakmampuan surat suara memuat seluruh calon.

Kebijakan untuk membagi wilayah pemilihan ternyata memunculkan ketidakfairan terhadap hakekat hak memilih rakyat Indonesia secara penuh. Meski dalam satu kabupaten/kota, pemilih tidak bebas memilih caleg dari daerah itu.

Kasus di atas menunjukkan keinginan memilih dari sudut pandang kekerabatan yang tidak terakomodasi karena tidak berdomisili dalam dapil pemilih.

Bisa saja ada pemilih yang ingin memilih dari sudut pandang rekam jejak Caleg yang berkualitas, tetapi berasal dari Dapil yang berbeda, bagaimana?

Bukan Wakil Dapil

Bangsa Indonesia hakikatnya tidak menginginkan para wakil rakyat itu memiliki kualitas dalam segala hal, dan di sisi lain, secara tidak terpikirkan, ada upaya penghempangan memilih terhadap hak pemilih.

Amanat UU jelas bahwa warga yang sudah memenuhi persyaratan berhak memberikan suara pada Pemilu namun dalam praktiknya hak tersebut dibatasi.

Padahal, ketika para calon anggota legislatif itu nantinya terpilih, mereka itu wakil rakyat, bukan wakil Dapil.
Tampaknya, jika ingin memberikan hak suara kepada pemilih, berikan seluas-luasnya, tanpa pengkotak-kotakkan. Kalaupun surat suara nantinya demikian lebar, itu risiko.

"Terpasungnya" hak pilih akibat sistem Dapil ini terlihat ke depan harus ditangani serius melalui revisi UU, mengingat persoalannya sangat mendasar jika kembali membaca azas Pemilu, yakni "Luber dan Jurdil (asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil".

Adil kepada siapa jika hak pilih masih "terpasung"...? (KR-WRS)

Pewarta: Waristo

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014