Oleh Evalisa Siregar



Medan, 31/3 (Antara) - "Dulu (dahulu, red) harga patokan karet petani satu kilogram sama dengan dua kilogram beras. Sekarang jangan (ber)harap".

Kalimat itu diucapkan petani karet dari Labuhanbatu, Sumatera Utara, K Siregar (50 tahun) di Medan, Jumat (28/3), mengawali cerita soal harga karet yang sedang anjlok. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, harga karet sering tidak sebanding dengan satu kilogram beras.

"Lihat sekarang, harga getah karet hanya Rp6 ribuan per kg sementara beras terus naik Rp7 ribuan per kg," katanya.

Makanya, kata dia tidak mengherankan kalau akhirnya petani karet menebang pohonnya lalu menggantikan ke tanaman sawit. Atau, berhenti menjadi petani pemilik dan bekerja jadi buruh tani atau lainnya baik di kampung atau di kota seperti Kota Medan.

"Yang paling sering dilakukan adalah melakukan penggantian tanaman ke sawit dan menjadi buruh/pekerja di kota saat harga anjlok seperti saat ini," kata K Siregar.

Ia sendiri saat ini memilih menjadi sopir angkot milik saudaranya di Medan karena kebetulan bisa mengemudi.

"Hidupkan harus diteruskan, kalau tidak diupayakan, bagaimana nasib keluarga,"katanya.

Siregar tidak mengganti tanaman karetnya karena tidak punya dana untuk membeli bibit dan khawatir tidak bisa merawat sawitnya karena sejak awal hanya berkebun karet.

"Mau dapat darimana uangnya. Pinjam ke bank takut tak terbayar," katanya.

Gapkindo Mengakui

Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut, Edy Irwansyah mengakui adanya kebiasaan petani karet menjadi pekerja saat harga turun seperti dewasa ini.

"Makanya Gapkindo terus berupaya mendongkrak harga jual karet agar petani tidak hidup dalam kesulitan seperti itu," katanya.

Tetapi menaikkan harga tidaklah mudah karena seperti halnya yang terjadi pada komoditas lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi harga jual karet. Mulai dari harga minyak bumi, situasi permintaan di pasar, nilai tukar uang, produksi hingga aksi spekulasi pedagang besar di pasar internasional.

Dewasa ini, misalnya harga ekspor karet yang di bawah 3 dolar AS per kg merupakan dampak pengaruh krisis global, menguatnya dolar AS hingga aksi spekulan yang mengesankan sedang terjadi "banjir" stok.

Pemerintah dan Gapkindo baik secara sendiri-sendiri dan bekerja sama dengan asosiasi atau negara produsen utama karet sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk mendongkrak harga seperti menahan produksi dan ekspor.

Penurunan produksi sebesar 10 persen oleh negara produsen yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) yakni Thailand dan Malaysia terus diupayakan dilakukan.

ITRC pernah mengambil langkah serupa pada Januari-Juni 2009 dan Oktober 2011-Maret 2012.

Tetapi nyatanya harga karet tetap saja sulit diangkat ke harga 3 dolar AS ke atas," katanya.

Harga jual karet jenis SIR20 di bursa Singapura pada tanggal 27 Maret untuk pengapalan April misalnya masih 1,868 dolar AS per kg sehingga harga bahan olah karet di pabrikan berkisar Rp16.671-Rp19.671 per kg.

Tidak heran kalau harga getah petani hanya tinggal Rp6ribuan per kg.

"Mungkin yang perlu dilakukan adalah bagaimana bisa menampung atau membeli karet saat harga jatuh seperti yang dilakukan Pemerintah Thailand," katanya.

Jangan sampai, semua petani beralih ke tanaman sawit, lalu di Sumut bahkan di Indonesia beralih menjadi pengimpor karet.

Ekspor Naik

Meski harga jual anjlok, volume ekspor karet dari Sumut yang merupakan salah satu sentra utama Indonesia tetap naik.

Volume ekspor karet Sumut pada Januari hingga Februari 2014 misalnya masih bertumbuh walau hanya 1,2 persen dari periode sama tahun lalu.

Pada Januari-Februari 2014, ekspor karet dari anggota Gapkindo Sumut sebanyak 86.643 ton dari periode sama 2013 tercatat 85.594 ton.

Meski ada kenaikan ekspor sebanyak 1.049 ton, tetapi, menurut Edy hal itu belum bisa menunjukkan indikasi adanya lonjakan permintaan pada tahun ini.

Alasan dia, karena pengiriman atau ekspor karet pada bulan Januari dan Februari masih merupakan pemenuhan kontrak tahun 2013.

Meski demikian, dengan adanya kenaikan ekspor itu cukup menggembirakan mengingat terjadi di saat harga juga masih rendah.

"Semoga volume ekspor naik tahun ini bahkan lebih tinggi dari tahun lalu,"kata Edy.

Volume ekspor karet eksportir anggota Gapkindo Sumut pada 2013 naik 3,64 persen menjadi 509.125.992 kg.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut Wien Kusdiatmono menyebutkan karet adalah penyumbang devisa kedua terbesar Sumut setelah minyak sawit mentah atau CPO.

Kalau harga jual karet turun, otomatis menekan perolehan devisa Sumut. (E016)

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014