Jakarta, 16/4 (Antara) - Bank Indonesia memperkirakan ekonomi domestik pada 2013 masih mengalami pertumbuhan berada dalam kisaran 6,2 persen - 6,6 persen di tengah ekspektasi negatif perekonomian global.

"Stabilitas sistem keuangan masih terjaga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan," ujar Direktur Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Endy Dwi Tjahjono dalam seminar "Ekonomi Outlook 2013" di Jakarta, Selasa.

Ia menyebutkan, kondisi itu terlihat dari pertumbuhan kredit sektor keuangan pada bulan Februari 2013 sebesar 23,4 persen. Peningkatan pertumbuhan kredit terutama disebabkan oleh sumbangan kredit modal kerja (KMK) yang lebih tinggi, menjadi 24,5 persen dibandingkan triwulan sebelumnya 23,2 persen (year on year/yoy).

Sementara itu, lanjut dia, pertumbuhan kredit investasi (KI) dan kredit konsumsi (KK) masing-masing mengalami penurunan menjadi 25,4 persen dan 19,8 persen (yoy) dibandingkan dengan bulan Desember 2012 sebesar 27,4 persen dan 20,0 persen (yoy).

Sedangkan secara sektoral, dikemukakan bahwa peningkatan kredit terutama disebabkan oleh pertumbuhan kredit sektor lainnya, perdagangan dan sektor listrik, gas serta air.

Pada 2013, Endy menilai intermediasi industri perbankan diperkirakan berjalan cukup baik dengan risiko kredit yang cukup terjaga.

Menurut dia, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yakni pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi stabil dan relatif tinggi.

Lalu, peningkatan jumlah penduduk kelas menengah, yang mendorong tingkat konsumsi dalam negeri. Proyek infrastruktur pemerintah dan swasta yang diperkirakan mencapai Rp458 triliun pada 2013 akan menurunkan biaya produksi dan logistik.

Kemudian, kondisi investasi 6 bulan mendatang diperkirakan meningkat, terutama sektor industri pengolahan dan keuangan (survei SKDU Tw III 2012). Pemilu 2014 yang dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan daya beli masyarakat di tahun 2013.

Endy juga mengatakan terdapat beberapa faktor yang diperkirakan dapat menghambat pertumbuhan kredit dan DPK, di antaranya kenaikan tarif dasar listrik (TDL), gas maupun upah minimum provinsi (UMP) yang menimbulkan kenaikan biaya produksi, serta kenaikan harga komoditas dalam negeri akan meningkatkan inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat.

"Selain itu, pemulihan ekonomi global juga masih belum menemukan titik terang yang berpotensi menekan pertumbuhan ekspor Indonesia," kata dia.

Terkait inflasi, ia memperkirakan berada dalam kisaran 4,5 persen "plus-minus" satu persen dengan faktor risiko yang cenderung ke atas terkait inflasi dari makanan dan semakin membesarnya beban subsidi bahan bakar minyak (BBM).

"Risiko ketidakseimbangan masih berlangsung, baik di sisi eksternal maupun internal. Tanpa adanya respons kebijakan yang tepat, risiko makro ekonomi berpotensi memburuk sehingga BI perlu mempersiapkan respons bauran kebijakan yang tepat pula untuk meredam potensi pemburukan persepsi pasar lebih lanjut," katanya.

Dalam jangka pendek, Endy mengatakan, strategi kebijakan difokuskan pada peningkatan suplai valuta asing (valas), termasuk investasi portofolio, sebagai "cushion" bagi peningkatan kapasitas langkah stabilisasi nilai tukar.(KR-ZMF)

Pewarta: Zubi Mahrofi

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013