Jakarta (ANTARA) - Wacana pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta memang telah bergulir lama, bahkan sejak era Presiden pertama RI Soekarno.
Simpang siur pilihan daerahnya terdiri mulai dari Jonggol di Jawa Barat, Maja di Tangerang, Banten, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, hingga Kabupaten Mamuju di Sulawesi Barat dan kawasan di Kalimantan Timur.
Kendati tindak lanjutnya jarang terlihat masyarakat umum, namun pemerintah terus melakukan kajian di sejumlah kota.
Wacana tersebut kembali mencuat ramai ketika Presiden Joko Widodo pun memiih opsi untuk memindahkan ibu kota pemerintahan ke luar Pulau Jawa.
Dalam rapat terbatas bertopik "Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota pada Senin (29/4/2019), Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro yang memaparkan kajian Bappenas mengenai pemindahan ibu kota pemerintahan menjelaskan terdapat tiga opsi pemindahan ibu kota.
Opsi yang pertama yakni ibu kota tetap berada di seputaran istana kepresidenan dan Monumen Nasional Jakarta dengan kantor pemerintahan yang berada dalam kawasan distrik. Lalu pilihan yang kedua yakni memindahkan lokasi ibu kota dari Jakarta ke daerah yang dekat dengan kawasan itu, seperti di seputaran Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek).
Sementara pilihan yang ketiga yakni memindahkan ibu kota pemerintahan ke luar Pulau Jawa.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu menjelaskan sebab ibu kota pemerintahan perlu dipindah dari Jakarta yakni dikarenakan keterbatasan Jakarta untuk mendukung pengembangan ibu kota.
Sejumlah aspek yang disoroti antara lain kemacetan yang tercatat pada 2013 merugikan perekonomian dengan jumlah Rp56 triliun dan berlipat dua kali pada saat ini, banjir baik yang disebabkan hujan di hulu dan penurunan tanah di pantai utara dimana 50 persen wilayah Jakarta berkategori rawan banjir.
Selain itu, kualitas air sungai di Jakarta 96 persen berkondisi tercemar berat sehingga memiliki bahaya signifikan karena sanitasi yang buruk.
"Penurunan permukaan air tanah di utara rata-rata 7,5 cm per tahun dan tanah turun sudah sampai 60 cm pada 1989-2007 karena akan terus meningkat sampai 120 cm karena pengurasan air tanah. Sedangkan air laut naik rata-rata 4-6 cm karena perubahan iklim," ungkap Bambang menjelaskan kondisi kota Jakarta yang telah berumur 491 tahun itu.
Selain pengembangan ibu kota, upaya pemindahan itu juga harus mencerminkan Indonesiasentris dan dapat membangun kota baru serta menyebarkan perekonomian di wilayah lain Indonesia.
Dengan mempertimbangkan sejumlah hal, pemerintah pun sepakat untuk memindahkan ibu kota pemerintahan ke luar Pulau Jawa.
"Intinya, kalau kita hanya memindahkan masih di wilayah Pulau Jawa, apalagi hanya di seputaran Jakarta, ini tidak mengurangi beban dari Pulau Jawa dan tidak membuat pembangunan lebih Indonesiasentris, tapi lebih memperkuat Pulau Jawanya," ujar Bambang.
Bappenas juga menyebutkan sejumlah kriteria penetapan lokasi untuk ibu kota baru yakni letak geografis kota tersebut harus berada di tengah wilayah Indonesia dengan memperhitungkan jarak baik barat ke timur maupun utara ke selatan.
Wilayah itu juga mencerminkan Indonesiasentris sehingga merepresentasikan keadilan dan dapat mendorong percepatan pembangunan.
Ketersediaan lahan yang luas milik pemerintah maupun BUMN juga menjadi salah satu kriteria sehingga pembangunan dapat lebih mudah karena tidak memerlukan biaya pembebasan lahan.
Lahan itu juga harus berada di kawasan yang minim resiko bencana baik gempa bumi, gunung berapi, banjir, tanah longsor, tsunami hingga kebakaran hutan.
Sumber air bersih dan sanitasi air, jaringan listrik dan komunikasi yang memadai juga masuk sebagai kriteria ibu kota baru itu.
"Untuk bisa melakukan efisiensi dalam investasi awal infrastruktur, kami mengusulkan lokasi ibu kota baru tersebut dengan kota kelas menengah yang sudah 'existing'. Maksudnya kota yang sudah punya akses mobilitas atau logistik, misalkan kita tidak perlu membangun bandara baru di kota tersebut dan bisa menggunakan bandara yang sudah ada, demikian juga pelabuhan dan sebagian akses jalan," ujar Bambang.
Sementara dari aspek sosial, Bappenas berharap masyarakat di sekitar wilayah kota itu juga memiliki budaya terbuka terhadap pendatang untuk meminimalisasi potensi konflik.
Untuk pertahanan dan keamanan, ibu kota itu juga harus memiliki jarak perimeter dari negara lain.
Pemindahan ibu kota memang tidaklah murah. Sebagai perbandingan, Korea Selatan yang memindahkan ibu kota pemerintahannya dalam jangka panjang ke Kota Sejong diperkirakan membutuhkan 22 miliar dolar AS dengan desain kota untuk kapasitas tinggal 500 ribu orang.
Sementara Brazil yang memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Kota Brasilia sejak 1955 membutuhkan biaya sebesar 8,1 miliar dolar AS untuk pembangunan tahap awal.
Kota Brasilia itu, pada tahap awal direncanakan hanya ditinggali oleh 500 ribu jiwa, namun saat ini ditempati oleh 2,5 juta orang.
Pemindahan ibu kota dijelaskan pemerintah sebagai proyek besar dengan jangka panjang yang tentu saja membutuhkan banyak biaya.
"Kita ingin berpikir visioner untuk kemajuan negara ini dan memindahkan ibukota memerlukan persiapan yang matang, persiapan yang detail, baik dari sisi pilihan lokasi yang tepat, termasuk dengan memperhatikan aspek geopolitik, geostrategis, kesiapan infrastruktur pendukungnya dan juga soal pembiayaannya," kata Presiden Jokowi dalam sambutan rapat terbatas.
Untuk membangun ibu kota baru, Bappenas mengajukan skema-skema pembiayaan sesuai dengan luas lahan dan kapasitas tinggal di kawasan.
Jika jumlah penduduk sebanyak 1,5 juta jiwa yang terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif serta pelaku ekonomi, serta anggota TNI dan Polri turut migrasi ke ibu kota baru itu, maka dibutuhkan luas lahan sekitar 40 ribu hektare.
Estimasi biaya yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru pemerintahan dengan kapasitas tersebut yakni Rp466 triliun.
Sementara opsi kedua, jika ASN yang pindah hanya sebagian, atau sebanyak 870 ribu jiwa, diperkirakan membutuhkan luas lahan yang lebih kecil yakni 30 ribu hektare, dengan kebutuhan biaya pembangunan sebesar Rp323 triliun.
Arahan Presiden Jokowi mengenai skema biaya pembangunan yakni jangan terlalu memberatkan APBN.
Oleh karena itu, kerja sama baik dengan BUMN, swasta secara langsung, maupun dalam bentuk Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk pembangunan sarana-prasarana awal diutamakan oleh pemerintah dalam rencana pemindahan ibu kota.
Namun kendali utama tetap berada di tangan pemerintah.
Proses pembangunan infrastruktur awal seperti kantor pemerintahan, akses jalan, sanitasi dan jaringan air bersih, telekomunikasi serta listrik dan permukiman diperkirakan membutuhkan waktu hingga 5 tahun.
"Kalau dahulu saya berdiskusi dengan Presiden dibutuhkan 4-5 tahun sampai pembangunan selesai. Kalau pindahnya, tidak harus sekaligus, secara bertahap," kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.
Sementara itu, Bambang menyebut proses pembangunan ibu kota baru akan berlangsung secara multiyears dan memakan waktu sekitar 5-10 tahun hingga beroperasi penuh.
Namun demikian, jika pemerintahan di ibu kota baru itu sudah berjalan, Jakarta akan tetap memiliki peran besar yakni sebagai kota pusat bisnis.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerangkan bahwa pembangunan mega-proyek di provinsinya akan tetap berlangsung kendati pemerintah fokus kepada pembangunan ibu kota baru.
"Dalam pertemuan, Presiden menegaskan bahwa pembicaraan mengenai (pemindahan) ibu kota tidak ada hubungannya dengan rencana pembangunan besar-besaran di Jakarta. Rencana pembangunan besar-besaran di Jakarta tetap jalan terus," ujar Anies.
Kendati demikian, pemerintah pusat belum berkenan membeberkan kota-kota kelas menengah mana saja yang menjadi kandidat ibu kota baru.
Selain itu, untuk memutuskan kota mana yang sangat layak menjadi ibu kota memerlukan kajian lanjutan.
"(Perlu) Studi lanjutan, kemudian rekomendasi dimana itu yang memenuhi syarat. Jadi syaratnya dulu disetujui, siapa (daerah) yang paling mendekati syarat itu. Jadi tidak langsung ditunjuk," kata Wapres JK di Istana Wakil Presiden Jakarta, Selasa (3/4/2019).
Sejumlah daerah memang telah menjadi sasaran survei pemerintah secara berkala.
Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Fahrizal Fitri pada akhir Maret 2019 mengungkap Kota Palangkaraya di provinsi itu telah disurvei oleh perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Tim memeriksa kesiapan Palangkaraya dari aspek politik, hukum dan segi keamanan.
Sementara itu, Sekretaris Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur Tohar pun mengungkap tim dari Bappenas sudah delapan kali mengkaji lokasi calon ibu kota negara di wilayah tersebut sejak 2018.
Tohar menjelaskan selain Penajam Paser, tim juga mengkaji kondisi Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan sebagai calon ibu kota baru pemerintahan.
Pemerintah akan terus melakukan kajian dalam memilih kota mana yang layak menjadi ibu kota baru pemerintahan Indonesia.
Setelah semua aspek kajian terpenuhi, pemerintah berkonsultasi kepada DPR RI dan sejumlah tokoh bangsa sebelum memutuskan kota definitif untuk pembangunan ibu kota baru bangsa Indonesia.
Diharapkan dengan pengkajian yang mendalam dan detil, dapat mencapai harapan ibu kota modern yang bertaraf internasional sebagai perwujudan Indonesiasentris dan mengembangkan perekonomian ke daerah secara berkeadilan melalui konsep kota "smart, green, and beautiful city".