Medan, 13/3 (Antara) - Pemerintah diminta menutup perusahaan penambangan yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan, karena saat ini dinilai banyak habitat flora dan fauna yang masuk kategori nyaris punah dan dilindungi terancam akibat kegiatan penambangan.

"Dalam hal ini, pemerintah harus benar-benar tegas, tutup saja perusahaan penambangan yang memang tidak berpihak dengan kelestarian lingkungan," kata Direktur Eksekutif Sumatra Rainforest Institute (SRI), Rasyid Assaf Dongoran di Medan, Rabu.

Hal itu itu, dia katakan saat ditanya mengenai keberadaan habitat flora dan fauna di beberapa lokasi di Indonesia yang masuk dalam kategori nyaris punah dan dilindungi, terancam akibat kegiatan penambangan, maupun perubahan fungsi lahan menjadi perkebunan.

"Pemerintah tidak bisa diam saja dengan kenyataan ini, jangan sampai ke depan anak cucu kita hanya mengenal flora dan fauna dari sebatas foto saja. Kalau hal ini sampai terjadi tentunya suatu bencana besar bagi kita dan ini adalah tanggung jawab kita bersama," katanya.

Menurut dia, ada dua hal utam yang harus dilakukan pemerintah baik pusat maupun daerah, yakni tutup memberikan izin bagi penambangan baru dan cabut izin bagi penambangan yang telah berjalan, kalau memang perusahaan penambangan tersebut tidak mampu menjaga kelestarian alam sekitarnya.

Bagi perusahaan penambangan yang sudah berjalan, pemerintah harus menekan agar perusahaan tersebut mengalokasikan sebagian dananya untuk memastikan bahwa tidak ada konflik manusia dengan hewan yang dilindungi akibat penambangan tersebut.

Perusahaan penambangan biasanya berada di hutan atau jauh dari pemukiman penduduk. Namun karena aktivitas penambangan tersebut berpotensi merusak habitat lingkungan, hewan-hewan akan menyingkir mencari lokasi baru karena habitatnya terusik atau rusak.

"Hewan-hewan akan mencari makan di peladangan penduduk karena habitatnya telah rusak. Ini yang akhirnya berpotensi memunculkan konflik antara manusia dengan hewan-hewan tersebut. Akibatnya tidak sedikit hewan yang dilindungi seperti orangutan, harimau, gajah harus mati karena konflik dengan manusia," katanya.

Di Sumut, kata dia, keberadaan beberapa hewan yang dilindungi seperti orangutan terancam punah akibat perburuan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab maupun akibat semakin menyusutnya hutan yang menjadi habitat hewan yang dilindungi tersebut.

"Populasi orangutan mengalami penurunan yang sangat drastis dalam kurun waktu 20 tahun terakhir akibat deforestasi. Kondisi ini menyebabkan orangutan Sumatra masuk kategori satwa sangat terancam punah di dunia," katanya.

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh lembaga Indonesia dan lembaga internasional pada periode tahun 2006-2008 telah menyimpulkan hanya beberapa blok hutan alami sebagai habitat satwa itu hanya ada di dua provinsi yakni hutan yang berada di Propinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Salah satu kawasan hutan yang di identifikasi sebagai habitat alami adalah Kawasan Ekosistem Batangtoru atau Hutan Tapanuli, dimana estimasi kawasan ini seluas lebih kurang 140,000 Hektar dan salah satu kabupaten yang memiliki satwa ini adalah Kabupaten Tapanuli Selatan.

Beberapa kantung hutan alami yang terdapat di Tapanuli Selatan seperti hutan batangtoru, hutan Cagar Alam Dolok Sibual buali, Cagar Alam Dolok Sipirok, Suaka Alam Lubuk Raya serta beberapa wilayah hutan lindung hutan produksi yang memegang peranan penting dalam upaya penyediaan habitat alami.

"Agar keberadaan orangutan tersebut tidak semakin habis, peran serta pemerintah daerah sangat penting, terutama dalam mengantisipasi perburuan maupun penebangan hutan yang dilakukan masyarakat," katanya. ***4***

(T.KR-JRD/B/S. Muryono/S. Muryono)

Pewarta: Juraidi

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013