Debby Kent (36), istri dari Hendrik Kosumo, terdakwa pemilik pabrik ekstasi rumahan di Jalan Kapten Jumhana, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera menangis tersedu-sedu saat memberikan keterangan di persidangan.

Pada persidangan beragendakan pemeriksaan terhadap terdakwa, Debby Kent tak kuasa menahan air mata saat ditanya oleh majelis hakim mengenai keterlibatannya dalam jaringan peredaran ekstasi yang dilakukan suaminya.

“Saya tidak tahu kalau suami saya membuat pil ekstasi. Saya ditangkap karena hasil penjualan ekstasi dikirim ke nomor rekening saya,” ujar Debby di hadapan Hakim Ketua Nani Sukmawati di ruang sidang Cakra VI, Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (15/1).

Suaranya terdengar gemetar, dan ia tampak sangat emosional saat mengungkapkan perasaannya terkait tuduhan yang ditujukan kepadanya.

Debby mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui sama sekali bahwa suaminya, Hendrik, telah membuat dan menjual ekstasi.

Ia hanya mengetahui bahwa uang dari penjualan ekstasi yang diproduksi suaminya masuk ke rekeningnya, tanpa mengetahui asal usul uang tersebut.

Mendengar keterangan tersebut, Hakim Anggota Efrata Happy Tarigan mempertanyakan ketidaktahuan Debby yang tinggal serumah dengan suaminya. 

“Kamu masak tidak mengetahui, tapi di BAP disebutkan bahwa saudari yang menyimpan lima bungkus ekstasi ke lantai empat saat polisi melakukan penggerebekan,” tanya Efrata. 

Debby menjawab bahwa dirinya menyimpan lima bungkus ekstasi itu atas perintah dari suaminya terdakwa Hendrik Kusumo.

“Iya, saya menyimpan karena suami saya yang menyuruh, dan pada saat itu ada pihak kepolisian yang melakukan penggerebekan. Tapi saya kira itu adalah perampokan,” ujar dia.

Sementara itu, suaminya, Hendrik Kosumo, sebelumnya dalam persidangan mengungkapkan bahwa ia telah memproduksi ekstasi sejak Juli 2023, yang awalnya hanya untuk konsumsi pribadi.

Namun, pada akhir Januari 2024, ia mulai menjual ekstasi dengan harga bervariasi: Rp 150 ribu per butir untuk dosis tinggi dan Rp 90 ribu untuk dosis rendah.

Hendrik mengaku memproduksi ekstasi di rumahnya menggunakan mesin cetak yang dibeli di Jalan Setia Budi, Medan. 

Mesin tersebut mampu mencetak satu butir ekstasi dalam waktu lima detik. Dalam waktu tiga bulan terakhir sebelum penangkapannya, Hendrik telah memproduksi dan mengedarkan puluhan ribu ekstasi.

Hendrik juga mengungkapkan bahwa pemesan utama ekstasi tersebut adalah Hilda Dame Ulina Pangaribuan (berkas terpisah) merupakan supervisor di Koin Bar di Pematangsiantar. 

Selain itu, terdakwa Syahrul Savawi alias Dodi juga terlibat dalam pemesanan ekstasi untuk wilayah Medan.

Setelah mendengarkan keterangan dari Hendrik dan Debby, Hakim Ketua Nani Sukmawati melanjutkan pemeriksaan terhadap ketiga terdakwa lainnya.

Ketiga terdakwa yaitu, Hilda Dame Ulina Pangaribuan, Syahrul Savawi alias Dodi, dan Arpen Tua Purba, yang merupakan pegawai loket ekspedisi Paradep.

Dalam pengakuannya, Hilda Dame Ulina Pangaribuan (36), mengaku sudah beberapa kali memesan ekstasi dari terdakwa Hendrik, bahkan setiap kali memesan ekstasi, jumlah yang dipesan mencapai ratusan butir.

“Saya bekerja di Koin Bar sebagai supervisor, awalnya saya ditawari oleh terdakwa Hendrik, lalu berlanjut dan saya memesan ekstasi dengan terdakwa Hendrik” ujar dia.

Dia menambahkan, harga per butir yang dibeli dari terdakwa Hendrik Rp100 ribu dan menjual kembali seharga Rp150 ribu.

“Saya memesan pil ekstasi dan menyerahkan kepada Rizki Ramadan (DPO) di Koin Bar. Terakhir kalinya saya menyerahkan 100 butir ekstasi,” jelasnya.

Setelah mendengarkan keterangan para terdakwa, Hakim Ketua Nani Sukmawati menunda dan melanjutkan persidangan pada Rabu (5/2), dengan agenda tuntutan.

“Sidang ditunda, dan kita minta kepada penuntut umum agar segera mempersiapkan tuntutan,” kata Nani Sukmawati.

Pewarta: Aris Rinaldi Nasution

Editor : Azhari


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2025