Pengamat ekonomi Wahyu Ario Pratomo menilai saat ini masyarakat masih lebih dapat menerima pembatasan pemakaian elpiji 3 kg dibandingkan dengan pengalihan dari gas ke kompor listrik.

"Salah satu solusi terbaik adalah menjatah gas untuk warga yang benar-benar berhak, bukan dialihkan seperti ke kompor listrik," ujar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara (USU) itu di Medan, Selasa. 

Langkah itu tentunya perlu pendataan akurat soal jumlah warga yang layak mendapat subsidi dan diikuti dengan pemberian sanksi tegas bagi yang melakukan penyimpangan. 

Alternatif lain, katanya, tidak lagi ada penjualan elpiji 3 kg, dan untuk masyarakat miskin diberikan subsidi uang tunai per bulan untuk dapat membeli gas yang tidak bersubsidi.

"Tapi subsidi uang tunai itu bisa berdampak negatif yakni warga bisa saja beralih ke penggunaan bahan bakar kayu dengan dalih tidak ada uang penambah beli gas non subsidi," ujarnya.

Penggunaan bahan bakar kayu itu mengkhawatirkan karena berpotensi merusak hutan, sementara penggantian ke kompor listrik juga dinilai bukan solusi yang baik dan efektif. 

Kompor listrik akan memberatkan masyarakat miskin karena harus membeli kompor baru. Atau kalau pun kompor listriknya dibiayai pemerintah, biaya listriknya juga mahal.

"Bisa jadi pencurian listrik semakin marak karena kelompok masyarakat miskin memerlukan daya listrik yang lebih besar di rumahnya," katanya. 

Di sisi lain, PLN juga dikhawatirkan tidak sanggup menangani permintaan pemasangan daya listrik yang meningkat pada setiap rumah tangga. Kalau pun sanggup, PLN harus menambah investasi yang besar untuk pembangunan pembangkit listrik. 

"Kompor listrik bukan solusi tepat. Untuk itu, perlu dilakukan analisis mendalam, strategi apa yang paling memungkinkan dan paling efisien untuk solusi penggantian subsidi elpiji 3 kg itu," ujar Wahyu.

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022