Film “Penyalin Cahaya” karya sutradara Wregas Bhanuteja tak hanya dibintangi oleh para aktor muda bertalenta, tapi juga aktor watak yang sudah berpengalaman di film dan panggung teater. Dua aktor watak tersebut adalah Landung Simatupang dan Rukman Rosadi yang masing-masing akan memerankan karakter Burhan dan Dekan.
Film ini juga dibintangi oleh Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Lutesha, Jerome Kurnia, Dea Panendra, Giulio Parengkuan, Lukman Sardi, Ruth Marini.
"Hal yang bikin saya tertarik untuk memerankan tokoh Burhan adalah ketidakterdugaan sosok ini. Jadi, saya melihat tantangan akting, yaitu peluang atau kesempatan untuk memainkan watak manusia dan dunia batinnya secara tipis-tipis, tidak mengejan—tidak ngeden kalau dalam bahasa Jawa," ujar Landung dikutip dari siaran resmi, Kamis.
Aktor berusia 69 tahun yang lama menempa diri dalam Teater Garasi ini. Landung juga pernah berakting dalam "Sang Pemimpi" (2009), "Sang Penari" (2011), "Jenderal Sudirman" (2015), "Sultan Agung" (2018), hingga "Layla Majnun" (2021).
Tantangan akting pun menjadi alasan bagi Rukman Rosadi untuk menerima tawaran peran sebagai Dekan, selain juga karena kekhasan karakternya.
"Justru karena ini tokoh yang menyebalkan. Representasi dari penguasa birokrasi yang kepalanya melihat ke atas untuk kariernya, tapi tidak melihat ke bawah pada orang-orang yang seharusnya dinaunginya. Itu banyak dalam sistem birokrasi kita. Saya cukup cermat mengamati mereka," jelas Rosa, panggilan akrab Rukman Rosadi.
Aktor berusia 49 tahun ini sebelumnya bermain dalam film "Sokola Rimba" (2013), "Ziarah" (2016), "Istirahatlah Kata-kata" (2016), "Love for Sale" (2018), Sultan Agung (2018), hingga "Surga yang Tak Dirindukan 3" (2021).
Meskipun bukan karakter utama, namun sosok Burhan dan Dekan merupakan karakter vital dalam cerita film “Penyalin Cahaya”. Wregas sebagai sutradara membutuhkan aktor sekaliber Landung Simatupang dan Rukman Rosadi yang juga sudah berpengalaman di panggung teater. Landung aktif di teater sejak kuliah di Universitas Gadjah Mada, hingga berlanjut dalam Teater Garasi. Sementara Rukman Rosadi adalah pengajar Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan juga lulusan Departemen Film dan Teater di World Arts and Culture University of California, Los Angeles (UCLA).
"Selain kekuatan akting yang dalam, ciri khas Pak Landung adalah suka memberi gestur khusus kepada karakternya. Misalnya, dalam film ‘Sang Pemimpi’, ia memberi gestur hidung yang sinus untuk menggambarkan tokoh kepala sekolah yang keras dan tegas. Gestur yang seolah kecil ini justru memberi latar belakang karakter yang dapat dibaca lebih oleh penonton. Itulah yang saya butuhkan untuk karakter Burhan di film ini. Gestur tubuh yang Pak Landung tawarkan kepada saya saat proses reading adalah cara berjalan dari Burhan. Kita dapat membaca latar belakang sosok orang tua ini dari cara ia berjalan. Hal ini justru malah memberikan saya inspirasi lebih untuk menulis ulang dan mendalami karakter Burhan," jelas Wregas.
Gestur juga menjadi kekuatan Rukman Rosadi, sehingga Wregas memilihnya untuk memerankan karakter Dekan. "Mas Rosa mampu mentransfer mimik muka ke seluruh anggota tubuhnya, sehingga seluruh anggota tubuh itu berekspresi. Ia memiliki pengetahuan yang dalam akan seni peran, karena berprofesi sebagai aktor dan juga sutradara teater. Sehingga ia juga banyak membagi pengetahuannya kepada aktor ‘Penyalin Cahaya’ lainnya saat di set. Itulah sebabnya saya mengajak Mas Rosa sebagai karakter Dekan. Agar ia menghidupkan karakter Dekan supaya tidak hanya menjadi karakter individual saja, tapi juga dapat menjadi representasi soal sistem yang ada di institusi pendidikan," papar Wregas.
Film “Penyalin Cahaya” merupakan film panjang pertama Wregas Bhanuteja. Ia juga turut menulis skenarionya. Sineas kelahiran 28 tahun lalu ini sudah membuat film-film pendek yang berhasil masuk kompetisi festival film internasional. Antara lain, “Lemantun” (pemenang Film Pendek Terbaik di XXI Short Film Festival 2015), “Lembusura” (berkompetisi di Berlin International Film Festival 2015), “Prenjak” (pemenang Film Pendek Terbaik di Semaine de la Critique-Cannes Film Festival 2016 dan Piala Citra FFI 2016), serta “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” (pemenang Piala Citra FFI 2019 dan berkompetisi di Sundance Film Festival 2020).
Ini kali pertama Landung Simatupang dan Rukman Rosadi diarahkan oleh Wregas Bhanuteja dalam sebuah produksi film.
"Wregas sangat baik, detail dan argumentatif dalam menunjukkan track karakter bagi para pemainnya. Dia pengamat yang cermat, mengarahkan tepat tanpa membelenggu 'kesenimanan' aktor," ujar Rosa.
Sementara Landung merasa cocok dengan gaya penyutradaraan Wregas karena ada proses diskusi yang rinci tentang gagasan film dan kontribusi karakter Burhan terhadap alur cerita dan situasi dramatik film “Penyalin Cahaya”. Dengan demikian, pemain punya kesempatan untuk mereka-reka cara membangun karakter dan membawakannya dalam interaksi dengan tokoh lain dalam cerita.
"Lalu, ketika syuting, Wregas ialah sutradara yang tahu betul apa yang dia mau dan apa yang tidak dia inginkan. Tapi, dia juga masih lentur, terbuka terhadap prakarsa dan masukan dari pemain. Ini bekal yang penting untuk seorang sutradara dalam menciptakan situasi kerja yang kolaboratif antara elemen-elemen yang terlibat dalam produksi film," ungkap Landung.
Film “Penyalin Cahaya” yang diproduksi Rekata Studio bersama Kaninga Pictures ini berkisah tentang Sur (Shenina Cinnamon) yang harus kehilangan beasiswanya akibat dianggap mencemarkan nama baik fakultas usai swafotonya dalam keadaan mabuk beredar. Ia tidak mengingat apa pun yang terjadi pada dirinya saat menghadiri pesta kemenangan komunitas teater di kampusnya.
Dalam pesta tersebut, Sur tidak sadarkan diri. Ia lantas meminta bantuan Amin (Chicco Kurniawan), teman masa kecilnya yang juga tukang fotokopi yang tinggal dan bekerja di kampus, untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya di malam pesta.
"Perhatian dari cerita film ini ada pada persoalan kuasa, pemangku kuasa, dan relasi kuasa. Persoalan gender termasuk di situ. Ini masalah aktual. Saya juga terkesan dengan upaya menyandingkan mitos-mitos Barat dan Timur dalam mengangkat persoalan gender itu dalam cerita," jelas Landung.
Ia juga menilai bahwa cerita “Penyalin Cahaya” hanya cocok disampaikan lewat media film lantaran sifatnya yang filmis dan ingin memperlihatkan hal-hal yang detail.
Adapun Rukman Rosadi melihat kejelian Wregas sebagai penulis dan sutradara dalam mengangkat tema maupun persoalan hidup dalam cerita film “Penyalin Cahaya”.
"Wregas mengambil jalan yang berbeda dalam membidik tema. Selera yang belum tentu akan dipilih sutradara lain, tapi layak untuk dibicarakan bersama. Dan saya merasa harus ikut mendukungnya," ucap Rosa.
Film "Penyalin Cahaya" (judul internasional: "Photocopier") akan melakukan World Premiere dan masuk program kompetisi utama di Busan International Film Festival (BIFF) ke-26 di Korea Selatan pada 6-15 Oktober 2021.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
Film ini juga dibintangi oleh Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Lutesha, Jerome Kurnia, Dea Panendra, Giulio Parengkuan, Lukman Sardi, Ruth Marini.
"Hal yang bikin saya tertarik untuk memerankan tokoh Burhan adalah ketidakterdugaan sosok ini. Jadi, saya melihat tantangan akting, yaitu peluang atau kesempatan untuk memainkan watak manusia dan dunia batinnya secara tipis-tipis, tidak mengejan—tidak ngeden kalau dalam bahasa Jawa," ujar Landung dikutip dari siaran resmi, Kamis.
Aktor berusia 69 tahun yang lama menempa diri dalam Teater Garasi ini. Landung juga pernah berakting dalam "Sang Pemimpi" (2009), "Sang Penari" (2011), "Jenderal Sudirman" (2015), "Sultan Agung" (2018), hingga "Layla Majnun" (2021).
Tantangan akting pun menjadi alasan bagi Rukman Rosadi untuk menerima tawaran peran sebagai Dekan, selain juga karena kekhasan karakternya.
"Justru karena ini tokoh yang menyebalkan. Representasi dari penguasa birokrasi yang kepalanya melihat ke atas untuk kariernya, tapi tidak melihat ke bawah pada orang-orang yang seharusnya dinaunginya. Itu banyak dalam sistem birokrasi kita. Saya cukup cermat mengamati mereka," jelas Rosa, panggilan akrab Rukman Rosadi.
Aktor berusia 49 tahun ini sebelumnya bermain dalam film "Sokola Rimba" (2013), "Ziarah" (2016), "Istirahatlah Kata-kata" (2016), "Love for Sale" (2018), Sultan Agung (2018), hingga "Surga yang Tak Dirindukan 3" (2021).
Meskipun bukan karakter utama, namun sosok Burhan dan Dekan merupakan karakter vital dalam cerita film “Penyalin Cahaya”. Wregas sebagai sutradara membutuhkan aktor sekaliber Landung Simatupang dan Rukman Rosadi yang juga sudah berpengalaman di panggung teater. Landung aktif di teater sejak kuliah di Universitas Gadjah Mada, hingga berlanjut dalam Teater Garasi. Sementara Rukman Rosadi adalah pengajar Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan juga lulusan Departemen Film dan Teater di World Arts and Culture University of California, Los Angeles (UCLA).
"Selain kekuatan akting yang dalam, ciri khas Pak Landung adalah suka memberi gestur khusus kepada karakternya. Misalnya, dalam film ‘Sang Pemimpi’, ia memberi gestur hidung yang sinus untuk menggambarkan tokoh kepala sekolah yang keras dan tegas. Gestur yang seolah kecil ini justru memberi latar belakang karakter yang dapat dibaca lebih oleh penonton. Itulah yang saya butuhkan untuk karakter Burhan di film ini. Gestur tubuh yang Pak Landung tawarkan kepada saya saat proses reading adalah cara berjalan dari Burhan. Kita dapat membaca latar belakang sosok orang tua ini dari cara ia berjalan. Hal ini justru malah memberikan saya inspirasi lebih untuk menulis ulang dan mendalami karakter Burhan," jelas Wregas.
Gestur juga menjadi kekuatan Rukman Rosadi, sehingga Wregas memilihnya untuk memerankan karakter Dekan. "Mas Rosa mampu mentransfer mimik muka ke seluruh anggota tubuhnya, sehingga seluruh anggota tubuh itu berekspresi. Ia memiliki pengetahuan yang dalam akan seni peran, karena berprofesi sebagai aktor dan juga sutradara teater. Sehingga ia juga banyak membagi pengetahuannya kepada aktor ‘Penyalin Cahaya’ lainnya saat di set. Itulah sebabnya saya mengajak Mas Rosa sebagai karakter Dekan. Agar ia menghidupkan karakter Dekan supaya tidak hanya menjadi karakter individual saja, tapi juga dapat menjadi representasi soal sistem yang ada di institusi pendidikan," papar Wregas.
Film “Penyalin Cahaya” merupakan film panjang pertama Wregas Bhanuteja. Ia juga turut menulis skenarionya. Sineas kelahiran 28 tahun lalu ini sudah membuat film-film pendek yang berhasil masuk kompetisi festival film internasional. Antara lain, “Lemantun” (pemenang Film Pendek Terbaik di XXI Short Film Festival 2015), “Lembusura” (berkompetisi di Berlin International Film Festival 2015), “Prenjak” (pemenang Film Pendek Terbaik di Semaine de la Critique-Cannes Film Festival 2016 dan Piala Citra FFI 2016), serta “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” (pemenang Piala Citra FFI 2019 dan berkompetisi di Sundance Film Festival 2020).
Ini kali pertama Landung Simatupang dan Rukman Rosadi diarahkan oleh Wregas Bhanuteja dalam sebuah produksi film.
"Wregas sangat baik, detail dan argumentatif dalam menunjukkan track karakter bagi para pemainnya. Dia pengamat yang cermat, mengarahkan tepat tanpa membelenggu 'kesenimanan' aktor," ujar Rosa.
Sementara Landung merasa cocok dengan gaya penyutradaraan Wregas karena ada proses diskusi yang rinci tentang gagasan film dan kontribusi karakter Burhan terhadap alur cerita dan situasi dramatik film “Penyalin Cahaya”. Dengan demikian, pemain punya kesempatan untuk mereka-reka cara membangun karakter dan membawakannya dalam interaksi dengan tokoh lain dalam cerita.
"Lalu, ketika syuting, Wregas ialah sutradara yang tahu betul apa yang dia mau dan apa yang tidak dia inginkan. Tapi, dia juga masih lentur, terbuka terhadap prakarsa dan masukan dari pemain. Ini bekal yang penting untuk seorang sutradara dalam menciptakan situasi kerja yang kolaboratif antara elemen-elemen yang terlibat dalam produksi film," ungkap Landung.
Film “Penyalin Cahaya” yang diproduksi Rekata Studio bersama Kaninga Pictures ini berkisah tentang Sur (Shenina Cinnamon) yang harus kehilangan beasiswanya akibat dianggap mencemarkan nama baik fakultas usai swafotonya dalam keadaan mabuk beredar. Ia tidak mengingat apa pun yang terjadi pada dirinya saat menghadiri pesta kemenangan komunitas teater di kampusnya.
Dalam pesta tersebut, Sur tidak sadarkan diri. Ia lantas meminta bantuan Amin (Chicco Kurniawan), teman masa kecilnya yang juga tukang fotokopi yang tinggal dan bekerja di kampus, untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya di malam pesta.
"Perhatian dari cerita film ini ada pada persoalan kuasa, pemangku kuasa, dan relasi kuasa. Persoalan gender termasuk di situ. Ini masalah aktual. Saya juga terkesan dengan upaya menyandingkan mitos-mitos Barat dan Timur dalam mengangkat persoalan gender itu dalam cerita," jelas Landung.
Ia juga menilai bahwa cerita “Penyalin Cahaya” hanya cocok disampaikan lewat media film lantaran sifatnya yang filmis dan ingin memperlihatkan hal-hal yang detail.
Adapun Rukman Rosadi melihat kejelian Wregas sebagai penulis dan sutradara dalam mengangkat tema maupun persoalan hidup dalam cerita film “Penyalin Cahaya”.
"Wregas mengambil jalan yang berbeda dalam membidik tema. Selera yang belum tentu akan dipilih sutradara lain, tapi layak untuk dibicarakan bersama. Dan saya merasa harus ikut mendukungnya," ucap Rosa.
Film "Penyalin Cahaya" (judul internasional: "Photocopier") akan melakukan World Premiere dan masuk program kompetisi utama di Busan International Film Festival (BIFF) ke-26 di Korea Selatan pada 6-15 Oktober 2021.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021