Brazil berencana membatalkan kontrak 10 juta dosis vaksin COVID-19 Sputnik V buatan Rusia yang ditandatangani pada Maret, kata Menteri Kesehatan Marcelo Queiroga, Kamis (29/7).
Rencana diungkapkan ketika negara Amerika Selatan itu berjuang melawan salah satu wabah terparah di dunia.
Queiroga mengatakan pembatalan itu disebabkan oleh tenggat yang terlewat dalam proses pendaftaran dengan regulator kesehatan Brazil Anvisa.
Baca juga: Arab Saudi izinkan wisatawan asing mulai 1 Agustus
Ia menambahkan bahwa program vaksinasi nasional Brazil saat ini tidak membutuhkan vaksin Rusia, meskipun terjadi perubahan apabila Anvisa mengizinkan Sputnik V.
Kontrak untuk mengimpor 10 juta dosis vaksin diteken bersama perusahaan farmasi Brazil Uniao Quimica, yang berencana memproduksi vaksin Sputnik V secara lokal.
Namun, kontrak tersebut mengharuskan penggunaan darurat yang disetujui oleh Anvisa.
Proses persetujuan terhenti karena Uniao Quimica tidak menyerahkan data penting mengenai vaksin tersebut, kata regulator.
Sebanyak 16 negara bagian Brazil mengajukan izin untuk mengimpor vaksin Rusia yang disetujui berdasarkan sederet persyaratan yang mencakup pengujian di Brazil.
Anvisa mengatakan hanya empat negara bagian yang menyetujui persyaratan tersebut.
Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF), yang memasarkan vaksin yang dikembangkan oleh Gamaleya Institute Moskow, dan Uniao Quimica belum menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Queiroga saat konferensi pers mengumumkan pembatalan kontrak 20 juta dosis Covaxin buatan Bharat Biotech India senilai 316 juta dolar AS (sekitar Rp4,56 triliun).
Ia mengeklaim kontrak itu batal demi hukum lantaran Anvisa tidak menyetujui vaksin tersebut. Bharat Biotech memutus hubungan dengan Precisa Medicamentos, perwakilan sekaligus perantaranya di Brazil.
Sejak pandemi mulai merebak, Brazil melaporkan sekitar 20 juta infeksi dan lebih dari 550.000 kematian COVID-19. Angka harian kematian menurun lebih dari setengah dari puncaknya pada April.
Brazil mencatat jumlah kematian COVID-19 tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
Rencana diungkapkan ketika negara Amerika Selatan itu berjuang melawan salah satu wabah terparah di dunia.
Queiroga mengatakan pembatalan itu disebabkan oleh tenggat yang terlewat dalam proses pendaftaran dengan regulator kesehatan Brazil Anvisa.
Baca juga: Arab Saudi izinkan wisatawan asing mulai 1 Agustus
Ia menambahkan bahwa program vaksinasi nasional Brazil saat ini tidak membutuhkan vaksin Rusia, meskipun terjadi perubahan apabila Anvisa mengizinkan Sputnik V.
Kontrak untuk mengimpor 10 juta dosis vaksin diteken bersama perusahaan farmasi Brazil Uniao Quimica, yang berencana memproduksi vaksin Sputnik V secara lokal.
Namun, kontrak tersebut mengharuskan penggunaan darurat yang disetujui oleh Anvisa.
Proses persetujuan terhenti karena Uniao Quimica tidak menyerahkan data penting mengenai vaksin tersebut, kata regulator.
Sebanyak 16 negara bagian Brazil mengajukan izin untuk mengimpor vaksin Rusia yang disetujui berdasarkan sederet persyaratan yang mencakup pengujian di Brazil.
Anvisa mengatakan hanya empat negara bagian yang menyetujui persyaratan tersebut.
Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF), yang memasarkan vaksin yang dikembangkan oleh Gamaleya Institute Moskow, dan Uniao Quimica belum menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Queiroga saat konferensi pers mengumumkan pembatalan kontrak 20 juta dosis Covaxin buatan Bharat Biotech India senilai 316 juta dolar AS (sekitar Rp4,56 triliun).
Ia mengeklaim kontrak itu batal demi hukum lantaran Anvisa tidak menyetujui vaksin tersebut. Bharat Biotech memutus hubungan dengan Precisa Medicamentos, perwakilan sekaligus perantaranya di Brazil.
Sejak pandemi mulai merebak, Brazil melaporkan sekitar 20 juta infeksi dan lebih dari 550.000 kematian COVID-19. Angka harian kematian menurun lebih dari setengah dari puncaknya pada April.
Brazil mencatat jumlah kematian COVID-19 tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021