Pemerintah Indonesia memprotes isi pidato yang disampaikan Presiden Prancis Emmanuel Macron awal bulan ini dan mendesak agar Pemerintah Prancis tidak menghubungkan Islam dan aksi terorisme atau ekstremisme.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Teuku Faizasyah saat dihubungi di Jakarta, Rabu (28/10), mengatakan Pemerintah Indonesia telah memanggil Duta Besar Prancis Olivier Chambard untuk meminta penjelasan mengenai pernyataan Presiden Macron.
Indonesia juga telah menyampaikan secara langsung kecaman terhadap Pemerintah Prancis mengenai isi pidato tersebut.
“Pemanggilan Dubes (Chambard, red) dan penyampaian secara langsung kecaman Indonesia merupakan penegasan posisi Indonesia untuk diketahui pihak Prancis,” kata Faizasyah saat dihubungi lewat pesan singkat oleh ANTARA.
Ia menjelaskan Pemerintah Indonesia keberatan terhadap pernyataan Presiden Macron yang mengindikasikan ada kaitan antara agama dan tindakan terorisme.
“(Tindakan yang, red) mengaitkan agama apapun - dalam hal ini adalah Agama Islam - dengan tindakan terorisme tidakkah bisa dibenarkan dan sungguh menyakitkan bagi pemeluk agama tersebut,” kata Faizasyah menjelaskan sikap Pemerintah Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar dunia.
Tidak hanya Indonesia, beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Turki, Arab Saudi, Iran, Bangladesh, Palestina, dan Pakistan juga mengecam pernyataan Macron.
Presiden Macron pada 2 Oktober 2020 menyampaikan pidato di hadapan anggota dewan, kepala daerah, dan perwakilan kelompok masyarakat sipil, terkait pentingnya mempertahankan nilai-nilai mendasar di Prancis dan ia turut menyampaikan beberapa pernyataan terkait Islam dan radikalisme. Berselang beberapa pekan kemudian dan setelah kematian Samuel Paty, seorang guru di Prancis, Presiden Macron kembali menegaskan pemerintah bersama rakyat Prancis akan terus mempertahankan nilai-nilai kebebasan yang jadi dasar terbentuknya republik.
Lewat pidatonya yang disampaikan di Les Mureaux, Macron menyebut ancaman masyarakat Prancis adalah “Islam separatis”. Istilah itu, menurut Macron, merujuk pada sekelompok penganut Islam ekstremis/fanatik yang “melenceng” dari nilai-nilai republik.
“Dalam konteks Islam radikal — karena ini yang jadi topik pembahasan dan mari kita bicara dan menyebut masalah ini — kehendak yang secara sistematis ingin melanggar aturan hukum republik dan membentuk aturan sendiri, [...] dan ini secara perlahan mengarah ke penolakan terhadap kebebasan berekspresi, kebebasan hati nurani, dan hak untuk menistakan (agama, red), dan diri kita pada akhirnya diam-diam berubah jadi seseorang yang radikal,” kata Presiden Macron lewat pidatonya yang disiarkan di laman resmi Kedutaan Besar Prancis di Jakarta.
Ia lanjut menyebutkan otoritas keamanan di Prancis telah mengawasi hampir 170 orang yang dicurigai akan terlibat aksi teror. “Kami tahu 70 orang dari kelompok itu telah pergi ke Suriah,” kata presiden.
Sementara itu, setelah kematian Paty, Macron mengatakan: “Kami akan terus bertahan, profesor (merujuk ke Samuel Paty, red). Kami akan terus berjuang untuk kebebasan, kamu telah jadi wajah perjuangan mempertahankan republik,” kata Macron lewat unggahannya di Twitter pada 22 Oktober 2020.
Samuel Paty merupakan seorang guru di Prancis yang tewas dipenggal kepalanya oleh Abdoullakh Abouyedovich Anzorov, di Conflans-Sainte-Honorine, daerah di luar Kota Paris pada 16 Oktober 2020. Sebelum tewas, Paty sempat menunjukkan karikatur Nabi Muhammad, yang kembali diterbitkan oleh Charlie Hebdo, bulan lalu.
Dari rangkaian peristiwa itu, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), lewat pernyataan tertulisnya bulan ini, menyesalkan adanya pernyataan yang berpotensi memecahkan persatuan antara Prancis dan umat Islam dunia. OKI menyebutkan seluruh pihak seharusnya bersama-sama meninjau kembali kebijakan diskriminatif terhadap Muslim dan menghindari aksi-aksi provokatif yang dapat melukai perasaan lebih dari satu miliar pemeluk Islam di dunia.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020