Kopi di era millenial saat ini bukan hanya sebagai barang konsumsi di rumah atau di warung saja, namun kekinian kopi telah dipercaya sebahagian orang mampu meningkatkan produktivitas kerja bagi pekerja kantoran atau pekerja lapangan. 

Bila dahulu kopi hanya dikonsumsi pada pagi hari di teras rumah, sekarang dengan munculnya berbagai macam kedai kopi di berbagai sudut kota, orang-orang sudah makin terbiasa menjadikan kopi sebagai bagian dari kesehariannya.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada 2018, produksi kopi Indonesia mencapai 674.636 ton. 

Secara umum, jenis kopi di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu kopi arabika dan kopi robusta. 

Baca juga: Ekspor kopi, teh dan rempah Sumut turun 17,02 persen

Dari total produksi kopi Indonesia, kopi arabika menghasilkan produksi sebanyak 187.031 ton atau sekitar 28 persen dari total produksi. 

Adapun produksi kopi robusta sebanyak 487.604 atau sekitar 72 persen dari total produksi.

Kawasan Tapanuli menjadi salah satu dari sumber penghasil kopi arabika di Indonesia, dimana berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumatera Utara, sebanyak 43.000 Ton (22 persen) kopi arabika berasal dari Tapanuli pada kondisi 2018.

Harga kopi arabika sendiri berada di atas harga kopi robusta, yang disebabkan produksi kopi yang lebih sedikit karena kopi arabika hanya dapat tumbuh di dataran tinggi. 

Baca juga: Sumut duduki urutan ketiga kontribusi komoditas Kopi Arabika di Indonesia

Sementara areal kopi di Indonesia tercatat di Kementerian Pertanian di 2018 mayoritas berada di dataran rendah.

Dari data Kementerian Pertanian pada 2018, jumlah total luas lahan kopi adalah 1.259.136 ha. 

Seluas 919.500 ha (73 persen) diantaranya adalah lahan untuk kopi robusta, sisanya adalah lahan untuk kopi arabika.

Namun komoditi kopi arabika di Tapanuli sendiri dianggap tidak dapat menjadi tulang punggung perekonomian para petani kopi sendiri. 

Baca juga: Usaha Tabo Kopi Sipirok mulai terima pengunjung syaratnya patuh protokol kesehatan

Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan mengelola pertanian kopi menjadi salah satu kendala.

Kopi hanya dikatakan sebagai "sigarar utang" (pelunas hutang) saat hasil kopi yang didapat para petani kopi digunakan untuk membayar pinjaman para petani terhadap pembelian pupuk yang digunakan untuk persawahan.

Marojahan Simangunsong, petani kopi di Desa Siantar Utara, Kabupaten Toba, merasakan hal ini. 

Keterbatasannya akan pengetahuan membuat dirinya dan rekan petani kopi lain tidak menggeluti pertanian kopi sebagai tulang punggung perekonomian. 

Persawahan dan perladangan jagung menjadi yang utama, kopi hanya sekunder.

Pria yang pulang merantau dari Jambi pada tahun 2009 memulai pertanian kopi dengan pengetahuan minim dan mencoba mencontoh cara bertanam kopi yang dilakukan masyarakat di kampungnya. 

Marojahan melakukan penanaman kopi dengan cara konvensional yakni menanam kopi dengan jarak tanam rapat ditujukan agar di lahan tersebut banyak tanaman kopi dengan harapan hasil yang semakin banyak juga.

Mendapat pengetahuan kopi melalui pelatihan yang diadakan PT Toba Pulp Lestari dan Pusat Penelitian Kakao dan Kopi Indonesia pada 2018, petani yang memulai penanaman kopi di 2009 ini sudah merubah "mindset" tentang kopi.

Budidaya kopi yang baik sesuai dengan "good agricultural practice" dari Puslitkoka melalui pemangkasan, pemupukan, penyiangan secara rutin, dan juga memberikan pohon pelindung masih banyak dilanggar oleh para petani. 

Metode budidaya yang efektif dan efisien perlu segera diperbaiki, meskipun terlihat sederhana, nyatanya di lapangan banyak petani yang tidak dapat menerapkan budaya tersebut, karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan mereka. 

Kemampuan finansial atau faktor alam juga dapat menjadi penghambat.
Marojahan kini mampu meningkatkan kapasitas produksi kopi yang dihasilkan oleh lahannya. 

Pengetahuan dari pelatihan berupa perbaikan jarak tanam, pemangkasan, pembuatan kompos, pembuatan rorak, pembuatan tanaman pelindung, pengendalian hama serta sortasi mampu meningkatkan produksi kopinya walau belum dengan angka yang terlalu signifikan.

Pada lahan pertanian kopi seluas 4 rante (0,16 ha), memang belum mampu meningkatkan perekonomian Marojahan secara signifikan. 

Namun dengan perubahan pola pikir penanaman kopi yang baik hingga kemampuan menghasilkan greenbean dapat meningkatkan ekonomi petani.

Marojahan mengaku, bahwa dari awal dirinya hanya menjual buah kopi secara langsung tanpa menghasilkan greenbean. 

Hal ini terjadi disebabkan pemahaman masyarakat yang mengira bahwa kopi mereka akan digunakan sebagai bahan mesiu senjata sehingga tidak untuk dikonsumsi. 

Namun saat ini Marojahan mampu menghasilkan 12 kg "greenbean" dalam setiap panennya.

Kini Marojahan sedang giatnya mengembangkan kopi dengan membuka pembibitan kopi dan penanaman bibit kopi yang unggul. 

Beliau mengaku bahwa dirinya didukung oleh perusahaan PT Toba Pulp Lestari melalui program CSR.

Harapan intervensi perusahaan TPL di pertanian kopi Marojahan dari proses pembibitan dan bibit unggul dapat meningkatkan produksi kopi arabika yang berkualitas yang secara otomatis meningkatkan perekonomian petani. 

Nantinya pertanian kopi Marojahan tidak lagi sebagai kopi sigarar utang, akan tetapi menjadi tulang punggung kehidupan.

Pewarta: Rilis

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020