Barisan meja dan tumpukan buku menghiasi ruangan di sebuah ruko di Kebun Jeruk, Jakarta Barat, dengan ornamen pohon plastik berhiaskan angpau sebagai petunjuk bahwa penghuninya merayakan Imlek atau Tahun Baru China.

"Kalau (Imlek) di kantor ini memang hanya ini, di rumah lebih ramai dengan lebih banyak hiasan merah, terus ada pohon angpau juga," kata Letrawati, perempuan etnis Tionghoa, yang bekerja sebagai pemilik sebuah wedding organizer.

Perayaan Imlek memang bisa dibilang adalah rutinitas yang dilakukan oleh ibu dua anak itu setiap tahun. Meski demikian dia mengaku tidak melakukan persiapan khusus untuk merayakan pergantian tahun menurut penanggalan suryacandra itu.

Menghias rumah sudah dia lakukan beberapa hari sebelum Imlek. Letra dan keluarganya juga kemudian berbelanja bahan makanan yang biasa disantap untuk hari libur besar masyarakat Tionghoa itu seperti bandeng dan rebung.

Masakan-masakan itu semua adalah yang bermakna untuk memberikan keberuntungan bagi mereka yang merayakan Imlek selama setahun ke depan.

Selain itu sehari sebelum Imlek dia dan keluarganya sudah membersihkan rumah, sebagai bentuk upaya membuang sial, karena menurut kepercayaan tidak boleh ada yang menyapu rumah saat hari Imlek.

Meski demikian, Letra mengaku tidak melakukan hal-hal yang spesifik untuk menyambut Imlek. Berbeda dengan tradisi asli yang masih dilakukan oleh yang menganut Buddha dan Konghucu, dia dan keluarganya hanya berkumpul untuk menikmati jamuan di malam menjelang Imlek.

"Kalau di keluargaku hanya makan malam bersama saja, tidak ada berdoa di klenteng atau vihara. Dari dulu memang begitu keluargaku, mungkin karena kami sudah lama di Jakarta ya, mungkin berbeda dengan yang di kampung," kata dia.

Keluarga Letra memang berasal dari Pulau Bangka di Provinsi Bangka Belitung, tapi mereka sudah menjadi penduduk Ibu Kota sejak sekitar 30 puluh tahun lalu. Sudah tidak ada keluarga dekatnya yang berada di pulau itu sekarang.

Tradisi perayaan tanpa upacara sembahyang tersebut merupakan warisan dari keluarganya. Bagi Letra, momen Imlek adalah saat keluarga besar yang lama tak bersua berkumpul dan bertemu, hal yang tidak bisa dilakukan di hari biasa karena kesibukan masing-masing.

Hal itu berbeda dengan Ahin yang mengaku rutin melakukan ritual Imlek. Ketika ditemui di malam Imlek di Vihara Dharma Bakti, Glodok, Jakarta Barat, dia sedang menjalan ritual melepas burung, salah satu cara untuk menyampaikan doa, menurut dia.

Tidak hanya itu, pria asal Pluit, Jakarta Utara, itu juga menjalankan ritual sembahyang kepada dewa dan leluhur di rumahnya kala malam Imlek, mengatur persembahan yang di antaranya berisi buah-buah di depan altar sambil menunggu pergantian Tahun Baru Imlek.

Dia melakukan itu di rumahnya juga di rumah mertuanya, mengikuti tradisi seperti yang diajarkan oleh generasi pendahulunya.

Dalam doa-doanya pria paruh baya itu mengaku meminta akan kesejahteraan dan kesehatan untuk keluarga, kerabat dan sahabat. Tidak lupa dia berdoa juga untuk perdamaian.

"Kita doa begini buat apa sih? Sama saja, agama apapun sama mintanya kesehatan, kesejahteraan. Kalau bisa amal buat kebajikan kan lebih baik ya," kata etnis Tionghoa yang mengaku lahir dan besar di Jakarta itu.
Letra, etnis Tionghoa yang merayakan Imlek, berpose depan pohon angpau di Jakarta, Jumat (24/1) (ANTARA/Prisca Triferna)

Pergeseran Budaya

Kontradiksi cara Letra dan Ahin melakukan ritual merayakan Imlek adalah potret realita dari sebuah proses kebudayaan yang bertransformasi karena berbagai faktor.

Kenyataan itu biasanya paling nyata terlihat di dalam kehidupan masyarakat di kota besar yang majemuk dan sudah terpapar dengan globalisme akibat kemajuan teknologi, saat berbagai kebudayaan di seluruh dunia bisa saling mempengaruhi.



Etnis Tionghoa di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, masih melakukan tradisi Imlek meski ada beberapa aspek yang tidak dilakukan secara runut, kata pengamat budaya Tionghoa Agni Malagina.

Ada beberapa varian bagaimana etnis Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek, seperti yang menganggap saat itu sebagai momen untuk bertemu keluarga yang biasanya tidak bisa dilakukan karena kesibukan sehari-hari, kata dosen Program Studi Sastra Cina Universitas Indonesia itu.



Mereka melakukan itu sebagai sebuah tradisi yang tidak berhubungan dengan ritual dan tidak terpengaruh dengan kehidupan religi individu, tapi sebagai momen mengingat silsilah keluarga.

Varian kedua adalah jika keluarga tersebut masih kental dengan yang disebut sebagai agama klenteng, seperti Buddha, Taoisme dan Konghucu. Untuk jenis keluarga seperti ini, peran agama masih kuat untuk melakukan tradisi sembahyang.



Tapi, untuk yang masih lekat tradisi pun ada beberapa yang masih tahu makna dari ritual, urutannya, dan doa yang harus dibaca.

Ada juga meski beragama klenteng dalam menjalankan ritual-ritual tersebut mengaku melakukannya karena nenek dan kakek melakukan hal itu alias hanya sekadar mengikuti meski tidak tahu makna dari semua ritual.

Terdapat juga varian, karena mungkin mengikuti perintah agama, tidak melakukan ritual Imlek tapi tetap datang ke rumah saudara yang paling tua untuk bertemu sanak saudara yang masih merayakan.

"Kalau kita bicara pergeseran di manapun terjadi karena selain ada globalisasi, interpretasi terhadap tradisi, kemudian kondisi generasi milenial yang mungkin pengetahuan tradisi tidak diturunkan secara tertulis," kata Agni.

Mungkin ada yang sudah tertulis tapi bisa saja ditinggalkan di klenteng atau pemuka agama. Hal itu menyebabkan tidak ada penurunan secara sistemik antara generasi paling senior ke anak-anak yang kelak akan melanjutkan tradisi dan budaya tersebut.

"Itu perkembangan yang umum dari kepercayaan dan tradisi apapun akan mengalami apa yang namanya entah disebut pergeseran, kelunturan dan seterusnya," ujar dia.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020