Jumlah anak kerdil (stunting) atau kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang di Kota Surabaya, Jawa Timur, selama 2019 mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2018.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Febria Rahmanita, di Surabaya, Ahad, mengatakan jumlah anak di Kota Surabaya dalam kondisi kerdil di tahun 2019 sekitar 15 ribu. Jumlah tersebut menurun, dibanding tahun 2018 yang mencapai 16 ribu anak.
"Penyebabnya karena kekurangan gizi kronis, kemudian disertai penyakit lainnya. Pada saat masih bayi, bila ukuran kurang dari 47 centimeter, kita harus curiga, dan segera didampaingi agar tidak menjadi kerdil," katanya.
Febria mengatakan untuk mencegah anak kerdil dimulai di masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) karena masa tersebut merupakan masa kritis, dimana anak balita membutuhkan gizi dan perilaku hidup sehat lingkungan sekitar.
Namun, sebelumnya bagi calon pengantin mendapatkan pendampingan dari puskesmas, hingga mendapatkan sertifikat layak nikah. "Tetapi terkadang untuk mendampingi ibu hamil, suami kadang menolak. Namun, kita terus berusaha," katanya.
Sejak 2016, sekitar 60 persen ibu hamil mendapatkan pendampingan. Anak-anak yang lolos pendampingan mendapatkan sertifikasi lolos 1.000 HPK. Bagi anak balita yang diindikasi kerdil, pemerintah kota berupaya menggenjot pemberian vitamin, seperti minyak ikan untuk menunjang gizinya.
"Mudah-mudahan jumlah (stunting) terus menurun," ujarnya.
Menurut dia, setelah pelaksanaan komitmen dan kampanye percepatan pencegahan anak kerdil di Balai Pemuda Surabaya pada Kamis (13/12), Pemkot Surabaya akan melakukan kampanye di tingkat kecamatan, sekaligus pembentukan Satgas Stunting yang nantinya bertugas menghilangkan gizi buruk, kemudian mendampingi ibu hamil.
"Jadi, programnya diantaranya ada 1.000 HPK, kelompok ASI, Pemberian Makanan Tambahan (PMT dan vitamin di PAUD," katanya.*
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Febria Rahmanita, di Surabaya, Ahad, mengatakan jumlah anak di Kota Surabaya dalam kondisi kerdil di tahun 2019 sekitar 15 ribu. Jumlah tersebut menurun, dibanding tahun 2018 yang mencapai 16 ribu anak.
"Penyebabnya karena kekurangan gizi kronis, kemudian disertai penyakit lainnya. Pada saat masih bayi, bila ukuran kurang dari 47 centimeter, kita harus curiga, dan segera didampaingi agar tidak menjadi kerdil," katanya.
Febria mengatakan untuk mencegah anak kerdil dimulai di masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) karena masa tersebut merupakan masa kritis, dimana anak balita membutuhkan gizi dan perilaku hidup sehat lingkungan sekitar.
Namun, sebelumnya bagi calon pengantin mendapatkan pendampingan dari puskesmas, hingga mendapatkan sertifikat layak nikah. "Tetapi terkadang untuk mendampingi ibu hamil, suami kadang menolak. Namun, kita terus berusaha," katanya.
Sejak 2016, sekitar 60 persen ibu hamil mendapatkan pendampingan. Anak-anak yang lolos pendampingan mendapatkan sertifikasi lolos 1.000 HPK. Bagi anak balita yang diindikasi kerdil, pemerintah kota berupaya menggenjot pemberian vitamin, seperti minyak ikan untuk menunjang gizinya.
"Mudah-mudahan jumlah (stunting) terus menurun," ujarnya.
Menurut dia, setelah pelaksanaan komitmen dan kampanye percepatan pencegahan anak kerdil di Balai Pemuda Surabaya pada Kamis (13/12), Pemkot Surabaya akan melakukan kampanye di tingkat kecamatan, sekaligus pembentukan Satgas Stunting yang nantinya bertugas menghilangkan gizi buruk, kemudian mendampingi ibu hamil.
"Jadi, programnya diantaranya ada 1.000 HPK, kelompok ASI, Pemberian Makanan Tambahan (PMT dan vitamin di PAUD," katanya.*
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019