Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar menilai kebijakan penghapusan Ujian Nasional karena dianggap tidak cukup adil dan tidak fair untuk menilai kemampuan seorang siswa.
“Saya in favor of UN itu dihapuskan dengan catatan,” kata Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar dalam media visit ke LKBN Antara di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan ide untuk menilai seseorang dari ujian yang hanya tiga hari dengan durasi 2-3 jam sangat tidak fair.
Menurut Billy, untuk mendefinisikan seseorang yang sanggup atau tidak sanggup, mampu atau tidak mampu bahkan untuk mendefinisikan kemana seseorang akan melangkah selanjutnya, UN sebagai acuan sangat tidak cukup mewakili.
“Setiap manusia terlahir dengan kecerdasan yang berbeda-beda, bakat yang berbeda-beda sehingga ‘examination’ terhadap seseorang itu pun unik terhadap bakat yang bersangkutan,” katanya.
Oleh karena itu, pria asal Papua itu mendukung UN dihapuskan dengan catatan bagaimana memprevent subjektivitas dari guru tersebut berdasarkan “like or dislike” terhadap siswanya.
“Dan ini akan saya bicarakan dengan Mas Menteri (Nadiem Makarim) ‘how do we manage that’, bagaimana guru akan objektif enough untuk menilai siswanya memang sanggup atau tidak sanggup atau mampu tidak mampu bukan berdasarkan suka atau tidak,” katanya.
Ia menegaskan, manusia memang sangat subjektif sehingga ada beberapa ide yang akan ia sampaikan untuk mengatasinya.
“Tapi balik lagi itu ranah beliau (Nadiem Makarim), adalah bagaimana melakukan ‘certification and assessment’ yang terstruktur tentang bagaimana guru secara individual melakukan assessment kepada siswa,” katanya.
Ia menekankan hal itu akan sangat tergantung bagaimana pengelolaan terkait “the way we assesst students” agar bisa memiliki struktur pattern yang sama untuk menghindari subjektivitas.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
“Saya in favor of UN itu dihapuskan dengan catatan,” kata Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar dalam media visit ke LKBN Antara di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan ide untuk menilai seseorang dari ujian yang hanya tiga hari dengan durasi 2-3 jam sangat tidak fair.
Menurut Billy, untuk mendefinisikan seseorang yang sanggup atau tidak sanggup, mampu atau tidak mampu bahkan untuk mendefinisikan kemana seseorang akan melangkah selanjutnya, UN sebagai acuan sangat tidak cukup mewakili.
“Setiap manusia terlahir dengan kecerdasan yang berbeda-beda, bakat yang berbeda-beda sehingga ‘examination’ terhadap seseorang itu pun unik terhadap bakat yang bersangkutan,” katanya.
Oleh karena itu, pria asal Papua itu mendukung UN dihapuskan dengan catatan bagaimana memprevent subjektivitas dari guru tersebut berdasarkan “like or dislike” terhadap siswanya.
“Dan ini akan saya bicarakan dengan Mas Menteri (Nadiem Makarim) ‘how do we manage that’, bagaimana guru akan objektif enough untuk menilai siswanya memang sanggup atau tidak sanggup atau mampu tidak mampu bukan berdasarkan suka atau tidak,” katanya.
Ia menegaskan, manusia memang sangat subjektif sehingga ada beberapa ide yang akan ia sampaikan untuk mengatasinya.
“Tapi balik lagi itu ranah beliau (Nadiem Makarim), adalah bagaimana melakukan ‘certification and assessment’ yang terstruktur tentang bagaimana guru secara individual melakukan assessment kepada siswa,” katanya.
Ia menekankan hal itu akan sangat tergantung bagaimana pengelolaan terkait “the way we assesst students” agar bisa memiliki struktur pattern yang sama untuk menghindari subjektivitas.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019