Penggiat pengendalian tembakau di Indonesia mengatakan penggunaan rokok elektronik beraroma atau vape yang menelan korban jiwa di Amerika Serikat dapat menjadi peringatan bagi remaja Indonesia untuk berhenti menggunakan produk berbahaya itu.

"Kasus di Amerika Serikat jadi contoh bagaimana rokok elektronik berpotensi menjadi masalah yang lebih dari sekedar kecanduan nikotin (tembakau) tapi menjadi penyalahgunaan narkoba," kata Bagja Nugraha dari Gerakan Muda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka kerja pengendalian tembakau, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu malam.

Ia mengatakan penggunaan vape sama bahayanya dengan rokok konvensional maupun narkotika. Bahkan pada 2018 ramai diberitakan kecanduan nikotin hanya kalah dari kecanduan putauw dan kokain.

"Di Indonesia juga sudah ada beritanya vape dicampur sama narkoba, ini khan mengerikan," katanya.

Sama halnya rokok konvensional, penggunaan vape menyebabkan dampak kesehatan juga dampak lingkungan seperti sampah puntung rokok yang banyak ditemukan di pesisir pantai dan lautan.


WHO meluncurkan dampak buruk yang diakibatkan perilaku merokok ini membunuh sekitar enam juta orang per tahun. Lebih dari lima juta dari jumlah tersebut merupakan perokok aktif, mantan perokok, dan pengguna smokeless tobacco atau jenis tembakau hisap tanpa proses pembakaran.

Ia tidak sependapat jika ada yang mengatakan vape lebih aman dari pada rokok konvensional. "Pun jika hanya menggunakan rokok elektronik biasa saja, itu sama seperti menormalisasi kembali perilaku merokok," katanya.

Badan POM telah merilis bahwa kandungan carian pada rokok elektronik berbeda-beda, namun pada umumnya berisi larutan terdiri atas empat jenis campurannya yaitu nikotin, propilengikol, gliserin, air dan flavouring (perisa).

Nikotin adalah zat yang sangat adiktif yang dapat merangsang sistem saraf, meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Dr Feni Fitriani Taufik, dalam diskusi Koalisi Nasional Masyarakat Sipil yang digelar 6 September di Jakarta mengatakan perilaku memakai vape dan Juul sering diklaim lebih aman bagi kesehatan mendapat sorotan tajam dalam beberapa waktu terakhir.

"Klaim memakai vape lebih sehat itu jelas menyesatkan publik," kata Taufik.

Kisah pengguna aktif Juul, Chance Ammirata, mahasiswa 18 tahun asal Amerika Serikat yang viral, karena harus dilarikan ke rumah sakit akibat paru-parunya tidak berfungsi lagi. Dan ada banyak kasus lain di Amerika.

Laporan The Washington Post menyebutkan terdapat 354 kasus penyakit paru-paru di 29 negara bagian Amerika Serikat yang dikaitkan dengan perilaku vaping.

Hingga 11 September 2019, sudah enam orang di Amerika Serikat telah meninggal akibat penyakit paru-paru yang diduga setelah mengisap vape. Menurut pejabat kesehatan Kansas, seorang perempuan berusia 50 tahun ke atas menjadi korban keenam akibat vape.

Bahkan pemerintah Amerika Serikat mengumumkan mereka berencana melarang penggunaan vape berasa buah beserta rasa mint dan mentol. Hanya rasa tembakau yang diperbolehkan beredar.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Akung


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019