Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis sore bergerak melemah seiring memudarnya
Jokowi effect atau efek pascakeunggulan  pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei.

Rupiah melemah 33 poin atau 0,24 persen menjadi Rp14.078 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.045 per dolar AS.

Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi di Jakarta, Senin, mengatakan, ada sinyal bahwa Jokowi effect mulai pudar.

Pekan lalu, sentimen ini sangat ampuh mendorong pasar keuangan Indonesia positif, termasuk rupiah yang menjadi mata uang terbaik di Asia.

"Namun rasanya sentimen itu sudah mereda. Jokowi effect sudah sulit membuat rupiah bisa tahan lama, khasiatnya mulai pudar. Minimnya sentimen domestik membuat rupiah terombang-ambing terbawa arus penguatan dolar AS yang menerjang Asia," ujar Ibrahim.

Dari eksternal, harga minyak mentah naik lebih dari dua persen menjadi 65,9 dolar AS per barel, menyusul laporan Washington Post yang menyebutkan Amerika Serikat kemungkinan akan meminta semua importir minyak Iran untuk mengakhiri pembelian mereka atau akan dikenakan sanksi A.S.

Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih menjadi sebuah bencana. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Jika harga minyak naik, maka biaya importasi komoditas ini akan semakin mahal. Akhirnya beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan semakin dalam sehingga rupiah kekurangan modal untuk menguat," kata Ibrahim.

Rupiah pada Senin pagi dibuka Rp14.045 dolar AS. Sepanjang hari, rupiah bergerak di kisaran Rp14.045 per dolar AS hingga Rp14.094 per dolar AS.

Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia pada Senin menunjukkan, rupiah melemah menjadi Rp14.056 per dolar AS dibanding hari sebelumnya di posisi Rp14.016 per dolar AS.
 

Pewarta: Citro Atmoko

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019