Oleh : Rindyanti Septiana S.Hi

Berbagai cara untuk pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan bukannya meminimalkan tindak korupsi tetapi justru perbuatan kriminal tersebut semakin merajalela. 

Kasus suap yang dilakukan oleh Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi dikecam banyak pihak. Bukan tanpa sebab, kader PDI Perjuangan itu diduga telah merugikan negara dengan angka yang fantastis dari praktik haramnya tersebut, yakni Rp 5,8 triliun.

Dalam kasus ini, Supian Hadi yang sekarang masih menjabat bupati untuk periode 2016-2021, diduga menerima sejumlah uang dan fasilitas untuk mempermudah penerbitan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dari Pemerintahan Kabupaten Kotawaringin Timur kepada tiga perusahaan.

Ketiga perusahaan itu adalah PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM). 
Sehingga diduga terjadi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 5,8 triliun dan US$711 ribu (Rp (9,94 miliar) yang dihitung dari hasil produksi pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT FMA, PT BI dan PT AIM. 

Kasus ini merupakan salah satu kasus yang terhitung menyebabkan kerugian negara cukup besar. Bisa dibandingkan dengan kasus besar lain yang pernah ditangani KPK. Setara bila dibandingkan kasus e-KTP (Rp 2,3 Triliun) dan BLBI (Rp 4,58 Triliun) 

Cacat Bawaan Demokrasi

Begitu seringnya KPK menangkapi para pejabat yang korup, Ketua MPR, Zulkifli Hasan, sampai khawatir jika KPK meneruskan operasinya menggeledah kantor atau rumah para pejabat, suatu saat nanti tidak akan ada lagi orang yang mengurus negeri ini karena semuanya telah tertangkap KPK. 

Di Indonesia, demokrasi bukan hanya melahirkan wakil-wakil rakyat (DPR) yang tidak kompeten, tetapi juga menghasilkan banyak kepala daerah yang korup. 

Kita sudah menyelenggarakan empat kali pemilu dan ratusan pilkada di berbagai daerah, tapi kualitas wakil dan pemimpinnya tidak mengalami perbaikan. Bahkan, jika melihat indikator korupsi, kualitasnya semakin parah. 

Demokrasi punya cacat bawaan yang sampai kini sulit diperbaiki. Sejak zaman filsuf Yunani Kuno,cacat bawaan itu sudah dideteksi. 

Realitas masyarakat yang terfragmentasi dalam kaya-miskin, pandai-bodoh, kuat-lemah, menjadi pangkal kelemahan demokrasi. Bahkan standar baik-buruk dan terpuji-tercela diserahkan pada manusia. 

Menurut Plato, demokrasi menjadi alat kaum tiran yang kaya, pintar dan kuat, untuk memobilisasi massa yang miskin, bodoh, dan lemah. Demokrasi juga melahirkan politik transaksional, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat. 

Kedaulatan adalah kekuatan tertinggi yang menentukan benar dan salah. Sementara itu, ketika benar dan salah, sah dan tidaknya diserahkan kepada rakyat, bukan hukum syara’ (Islam), dampak yang paling serius adalah tidak adanya patokan yang baku. 

Karena itu, salah dan benar, sah dan tidak itu bisa berubah. Semuanya ditentukan oleh kepentingan. Di sinilah pangkal lahirnya transaksi-transaksi politik. Akhirnya, tidak ada teman yang abadi dalam politik tetapi kepentingan abadi. 
Islam Mencegah Korupsi 

Cara-cara pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan telah berjalan, tetapi nyatanya korupsi justru semakin marak dan merajalela dimana-mana. Itu artinya, cara yang lain, selain Islam terbukti gagal. 

Mengapa gagal, karena pondasinya rapuh. Berbeda dengan Islam yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan ketakwaan kepada Allah. Faktor akidah dan ketakwaan kepada Allah ini terbukti telah membentuk self control, yang menjadikan para pejabat tidak bisa disuap.

Jika mereka mendapatkan apa yang bukan menjadi hak mereka, segera mereka serahkan kepada negara. Meski tak seorang pun mengawasi mereka. Karena ada Allah yang Maha Melihat dan Mendengarkan tingkah laku mereka.

Sementara orang yang telah dinyatakan sebagai tersangka korupsi lantaran kejahatan yang dilakukannya, maka sesungguhnya ia telah kehilangan salah satu kriteria yang menjadikannya layak sebagai pejabat, yaitu adil, tidak fasik. Fasik adalah orang yang melakukan kejahatan dengan terang-terangan, dan tidak mempunyai rasa malu. 

Dengan maraknya korupsi di negeri ini, maka praktik korupsi pun dilakukan dari atas hingga ke bawah tanpa malu. 

Dimana-mana ada korupsi. Bahkan, lebih tragis lagi, karena praktik korupsi kemudian dilegalkan oleh negara. Karena itu, para koruptor ini sebenarnya merupakan orang-orang fasik, yang tidak layak menjadi pejabat publik. 

Islam memiliki cara pencegahan atas tindakan korupsi, yaitu Pertama,negara Islam memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka. 

Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, Negara Islam menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Dengan begitu, mereka memiliki self control yang kuat.

Ketiga, untuk mengetahui, apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, Negara Islam juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka Negara Islam bisa mengambilnya.

Keempat, Negara Islam juga menetapkan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah cara yang dilakukan oleh Islam untuk mencegah korupsi. 

Seperti halnya yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. 

Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. 

Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubernur Bahrain), Amru bin Ash (Gubernur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubernur Mesir), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubernur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan. 

Dan dapat dipastikan bahwa Anggaran Belanja Negara Islam untuk pembangunan daerah sesuai kebutuhan, bukan karena potensi kekayaan daerah. 

Sudah selayaknya kita mengharapkan dan merindukan hidup dalam pengurusan sistem Islam, yang memilki cara dan solusi yang efesien dalam pencegahan korupsi bukan demokrasi. 

* penulis adalah Penggiat Literasi Islam, dan Trainer Kepenulisan
 

Pewarta: .

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019