Medan, (Antaranews Sumut) - Universitas Budi Luhur, Jakarta mengupas soal mulai semakin hilangnya tradisi  memanjangkan telinga atau "Telinga Aru"di daerah pedalaman Kalimantan yang dinilai sangat disayangkan.
   
 "Tradisi memanjangkan telinga di pedalamam Kalimantan sudah hampr hilang karena nyaris tidak ada lagi generasi muda yang meneruskan tradisi tersebut," ujar Ketua Yayasan Pendidikan Budi Luhur Cakti, Kadih Hanggoro di Jakarta, Senin.
   
Menurut dia, adanya anggapan bahwa tradisi memanjangkan telinga merupakan hal kuno sehingga membuat suku asli Dayak merasa terdiskriminasi dan enggan untuk meneruskan tradisi tersebut, harus dihilangkan atau dihapus dan itu pelru dukungan dari semua kalangan.
   
Untuk itu, kata Kadih, dalam kegiatan Budi Luhur Morning Call (BLMC) ke-IV yang digelar Pusat Studi Kebudiluhuran atau PSBL mengupas soal hilangnya tradisi Telinga Aru itu .
   
Kegiatan itu diharapkan bisa mencaritahu penyebab hilangnya budaya telinga panjang itu dan sekaligus diharapkan bisa menyadarkan semua untuk membantu membangkitkan tradisi itu yang menjadi kekayaan tradisi Indonesia.
     
Kadih Hanggoro menegaskan, Budi Luhur komitmen ikut berupaya mempertahankan budaya Indonesia.
   
Baik menggelar BLMC dengan berbagai topik yang terbaru hingga memberikan Beasiswa Nusantara ke putra putri daerah.
   
"Dengan program itu, Budi Luhur berupaya menyapa suku atau anak-anak di pedalaman." katanya.
     
Acara yang dihadiri oleh Ketua Pusat Studi Budi Luhur, Yusran, Dekan FISIP Fahlesa Munabari, dan lainnya serta sekitar 150 siswa Sejabodetabek itu menajdi diskusi yang menarik.
   
Apalagi selain menghadirkan pembicara berkompeten seperti Antropolog, kegiatan itu juga menghadirkan langsung orang asli Suku Dayak yang bertelinga panjang Kristina Yeq Lewing.
   
 "Universitas Budi Luhur selalu mengedepankan pengembangan dan promosi nilai-nilai kearifan lokal dan juga mendukung Deklarasi PBB soal Masyarakat Adat yang menyebutkan masyarakat adat sejajar dengan semua masyarakat lainnya," katanya.
   
Walaupun berbeda, masyarakat harus menghargai perbedaan tersebut dan suku pedalaman itu harus bebas dari segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan.
   

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018