Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara yang lahir berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2008 pada 21 Juli 2017 ini genap berusia sembilan tahun. 

Dalam kurun waktu itu Labura sudah dipimpin oleh tiga penjabat (Pj) Bupati dan seorang bupati. Ketiga penjabat itu masing-masing Drs H Daudsyah MM (2009-2010), Drs H Asrin Naim (2010) dan Drs HM Zein Siregar MSi yang bertugas lebih kurang dua bulan pada akhir 2015-awal 2016.

Sedangkan yang menjadi bupati defenitif adalah H Kharuddin Syah SE yang pada periode 2010-2015 berpasangan dengan H Minan Pasaribu SH MM atau dikenal dengan sebutan pasangan Kharisma. 

Pada periode kedua melalui Pemilihan Bupati/Wakil Bupati 9 Desember 2015, H Kharuddin Syah SE alias H Buyung berpasangan dengan Drs Dwi Prantara MM kembali memenangkan pertarungan untuk memimpin Labura periode 2016-2021 atas dua mitra saingnya yaitu pasangan H Minan Pasaribu SH MM-Ir H Yusrial Suprianto dan duet H Aliwansah Ritonga-Drs H Darwansyah.

Kemenangan H Buyung dua periode berturut itu, suka atau tidak suka, menunjukkan kecintaan masyarakat Labura terhadapnya masih besar. 

Terlepas bagaimana ia dan timnya mengemas dan memenej strategi, tapi sebagian besar masyarakat (54 % lebih) menggantungkan harapan dan percaya kepada Ketua PD II FKPPI Sumut itu untuk membawa masyarakat Labura menuju kesejahteraan sesuai dengan visi misi mereka.
 
Pembangunan Fisik dan Karakter

Pada periode pertama kepemimpinan H Buyung, pembangunan diprioritaskan pada tiga hal yaitu pendidikan, kesehatan dan infrastuktur. Berbagai langkah dilakukannya dalam rangka memajukan dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat Labura.

Pembangunan atau rehab puluhan jembatan, drainase, puskesmas, posyandu, sekolah dan RSUD atau pengerasan puluhan, bahkan mungkin ratusan kilometer jalan, sudah terlaksana serta sudah dirasakan manfaatnya. 

Terlepas dari mutu bangunannya, proyek fisik itu mampu menjadi sarana dalam meningkatkan moda transportasi sehingga mendongkrak gairah perekonomian serta memperbanyak dan mempermudah akses pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Selain pembangunan fisik, Pemkab Labura juga sudah menjalin kerjasama dengan tiga perguruan tinggi negeri (PTN) yang ada di Sumut yaitu Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Negeri Medan (Unimed) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Medan. 

Pemkab memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang terjaring, bukan hanya uang kuliah, tetapi juga uang buku dan lainnya.

Teranyar, untuk siswa/i lulusan SD yang akan melanjutkan pendidikan ke SMPN, H Buyung membuat kebijakan bagi yang beragama Islam harus sudah mampu membaca Al Qur’an.

Berbagai terobosan yang dilaksanakan dengan maksud mempercepat kemajuan tanah Basimpul Kuat Babontuk Elok itu. Bukan saja di bidang jasmani, perhatian terhadap sector rohani atau mental juga terus dilakukan agar terbentuk karakter terpuji, terutama generasi muda yang masih menjalani pendidikan dan akan memegang tampuk kepemimpinan di masa mendatang. 

Pengelolaan administrasi keuangan juga mengalami kemajuan. Jika tahun-tahun awal Pemkab Labura meraih opini disclaimer dan wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK RI, tiga tahun terakhir (2014, 2015 dan 2016) Labura meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI.
           
           
Belum Terintegrasi

Sayangnya, program yang dirancang oleh Pemkab Labura selama ini seperti kurang terintegrasi dan terencana secara prima atau paripurna. 

Dampaknya  pelaksanaan program antara satu instansi dengan yang lainnya terkadang terkesan tumpang tindih dan tentunya hal ini merugikan anggaran yang ada.  Hasil yang diraih juga oleh sebagian kalangan dinilai kurang memuaskan.

Sebagai contoh pembangunan jalan lingkar (ringroad) dari Simpang Padang Galagala Asahan menuju Kampungterutung di Kelurahan Aekkanopan. 

Lazimnya ringroad itu jalannya lurus dan lebar. Kalau pun ada tikungan tidak terlalu tajam. Nyatanya, ringroad yang sudah dibangun tidak demikian sehingga walau telah dikerjakan sejak beberapa tahun lalu, hingga kini belum berfungsi optimal.


Begitu juga dengan pembangunan saluran air atau drainase. Tidak sedikit bangunan yang menelan biaya miliaran di seluruh kecamatan yang ada di Labura saat ini bagai ‘kolam’ atau tempat nyamuk berkembang biak dan ada yang sudah hancur. 

Hal ini antara lain dikarenakan air yang ada di saluran itu tidak mengalir ke tempat pembuangan akhir.

Sejumlah pos pelayanan terpadu (posyandu) yang dibangun juga dikabarkan masih ada yang tidak berfungsi sehingga terkesan mubajir. 

Padahal untuk membangun fasilitas-fasilitas umum tersebut menelan biaya ratusan juta rupiah. Akibatnya muncul kesan pembangunan yang dilakukan asal jadi dan agar dana yang sudah dialokasikan dapat digunakan.

Dan yang paling menjadi sorotan berbagai kalangan adalah proyek pembangunan RSUD yang berada di kawasan Sawah Lebar Kecamatan Kualuhselatan. Dana yang digelontorkan untuk pembangunan fisik RSUD itu sudah puluhan miliar. 

Sayangnya hingga kini belum bisa difungsikan. Sementara di lokasi RSUD bekas Puskemas Aekkanopan, pembangunan juga terus berjalan. 

Itulah sejumlah contoh yang terlihat secara kasat mata dan diantaranya letaknya tidak jauh dari ibukota kabupaten. Padahal tentu selain itu, masih terdapat sejumlah kekurangan lain yang terasa tapi tak teraba. 

Dan ini terkait pada karakter atau pelayanan yang diberikan oknum-oknum di berbagai lini instansi public yang ada di jajaran Pemkab Labura.

Belum lagi bicara tentang seni atau bentuk bangunan yang mencirikan khas daerah, hingga kini kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di Labura masih beragam dan banyak yang belum representative karena masih menggunakan gedung yang awalnya dibangun untuk pasar Aekkanopan.
           
Formula KITA


Pada periode kedua ini, diharapkan Bupati Labura H Kharuddin Syah SE dan pasangannya Drs Dwi Prantara MM mampu memperbaiki kekurangan yang ada sebelumnya. Melalui tulisan ini, penulis menawarkan konsep yang disebut dengan formula KITA (Komunikasi, Integrasi, Transparansi dan Akurasi).
 
A.   Komunikasi
Melibatkan berbagai stakeholder nonformal yang ada di Labura juga mutlak dilakukan. Dengan melibatkan berbagai stakeholder ini, maka terjalin komunikasi antara pihak yang berkepentingan terhadap kemajuan Labura.

Jangan sampai kegiatan rapat kordinasi pembangunan (rakorpem) atau musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) sekedar seremoni dan untuk memenuhi tahapan formal semata. Masukan stakeholder nonformal dan informal yang mungkin lebih mengetahui kondisi medan atau situasi suatu objek pembangunan perlu didengar.

Tidak jarang terdengar, ada program yang telah direncanakan di tingkat desa atau kecamatan, tiba-tiba diujung hilang tak berbekas. Parahnya lagi, sosialisasi kepada masyarakat mengapa hal itu terjadi sepertinya tidak dilakukan. 

Dampaknya, sebagian masyarakat ada yang a priori terhadap pelaksanaan musrenbang atau rakorpem karena dianggap hanya formalitas dan sudah diplot dari awal.  
 
B.   Integrasi
Seperti ditulis di atas, sejumlah program dan perencanaan yang dilakukan seperti tidak terintegrasi dengan baik. Akibatnya, suatu projek bisa menjadi mubajir atau sia-sia karena kurangnya koordinasi yang terintegrasi antarberbagai elemen yang ada.

Koordinasi berkesinambungan membuat terjadinya penyesuaian antara instansi atau para pemangku kepentingan sehingga menghasilkan sebuah rencana/program yang paripurna dan memiliki keserasian fungsi.
 
C.   Transparansi
Langkah lain yang tak kalah  penting adalah membuat  gerakan transparansi penggunaan anggaran di berbagai institusi dan tingkatan. Dengan transparansi, rasa curiga dan syak wasangka juga berkurang. 

Ini tentunya dapat meningkatkan tigkat kepercayaan masyarakat terhadap berbagai kebijaka yang dilaksanakan.

Sebagai ilustrasi, untuk penggunaan Dana Desa saja, sudah ada aturan agar dilaksanakan secara transparan. Dus, bagaimana dengan penggunaan aggaran yang lebih besar. Tentu masyarakat juga lebih ingin mengetahui kemana arah dan penggunaannya.
 
D.   Akurasi
Last but not least, hal yang tidak dapat diabaikan  serta paling utama menurut penulis adalah menempatkan orang sesuai dengan keahliannya (the right man on the right place). Jangan sampai,  misalnya,  seorang sarjana hukum malah mengurusi hal-hal yang bukan bidangnya seperti peternakan, ketahanan pangan dan lainnya.

Jika hal ini terus berlangsung, dikhawatirkan visi misi untuk membawa kesejahteraan bagi masyarakat Labura yang diusung pasangan dengan tagline Berbudi itu sulit tercapai. 

Bahkan yang lebih ironi lagi, bisa-bisa Labura malah menuju ke ‘jurang’ karena seperti yang diingatkan Rasulullah SAW ”Jika suatu pekerjaan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”.

Selain akurasi (ketepatan) penempatan personil, akurasi di sini juga meliputi, data, program dan perencanaan yang bakal dilaksanakan. Bagaimana teknis dan pelaksanaannya dapat disesuaikan situasi dan kondisi yang ada.
           
Penutup

Kritik yang dilakukan komponen masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan pers jangan langsung dinilai sebagai bentuk mencari kesalahan, kebencian atau rasa tidak suka. 

Sebaliknya, kritik yang muncul menjadi bahan instrospeksi terhadap kekurangan yang mungkin terjadi tanpa disadari demi perbaikan di masa mendatang. Pepatah orang tua yang mengatakan yang manis jangan langsung ditelan, dan yang pahit jangan langsung dimuntahkan tidak salahnya untuk diterapkan.

Terakhir, mengutip kata-kata Sang Proklator Ir H Soekarno,  jangan melupakan sejarah atau  Jas Merah. Cita-cita para pemrakarsa dan pejuang pemekaran adalah agar pelayanan lebih dekat, cepat serta kesejahteraan lebih mudah dirasakan masyarakat banyak. 

Bukan hanya untuk kalangan tertentu semata. Semoga bersama KITA wujudkan Labura Sejahtera.
 
Catatan : Sukardinur Sitompul, Wartawan Antarasumut di Aekkanopan
Tulisan ini disertakan dalam lomba tulis jurnalistik yang diselenggarakan berkaitan dengan HUT Labura ke-9.
 

Pewarta: Sukardi

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2017