Medan, 21/5 (Antarasumut) - Masyarakat diminta tidak menggunakan antibiotik secara sembarangan karena akan meningkatnya resistensi antibiotika secara signifikan yang berdampak pada kematian.
"Penggunaan antibiotik secara bebas di masyarakat yang tidak sesuai indikasi, mengakibatkan meningkatnya resistensi antibiotika secara signifikan," ujar Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kemeneterian Kesehatan, Hari Paraton di Medan, Minggu.
Dia mengatakan itu pada kegiatan "Pfizer Press Circle "dengan topik resistensi antibiotik yang mendiskusikan mengenai pentingnya kesadaran mengenai resistensi dan kepatuhan penggunaan antibiotik yang tepat
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2014 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDR-TB) di dunia.
Ada 700.000 kematian per tahun akibat bakteri resisten itu.
Bahkan berdasarkan laporan "The Review on Antimicrobial Resistance" memperkirakan bahwa jika tidak ada tindakan global yang efektif, pada 2050 , resistensi antimikroba (AMR) akan membunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia.
Angka tersebut melebihi kematian akibat kanker yang berkisar 8,2 juta jiwa per tahun dan bisa mengakibatkan total kerugian global mencapai 100 triliun dolar AS.
"Data-data itu menunjukkan bahwa resistensi antimikroba menjadi masalah yang harus segera diselesaikan dan perlu adanya peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai resistensi antibiotika itu,"katanya.
Dia menyebutkan, pemerintah sendiri sudah mengingatkan pihak rumah sakit dan para dokter untuk menggunakan antibiotik secara bijak dan tepat.
Antibiotik diakui telah memiliki peran penting pada dunia kedokteran, karena telah menyembuhkan banyak kasus infeksi.
Namun intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik.
"Penggunaan antibiotik secara bijak dapat mengurangi khususnya komplikasi infeksi akibat bakteri multi resisten," kata Hari.
Dia memberi contoh beberapa penyakit yang tidak perlu menggunakan antibiotik seperti flu, batuk, sakit perut, gondokan, cacar air, dampak dan sebagainya.
Penggunaan antibiotik semata hanya untuk mengobati penyakit yang disebabkan infeksi bakteri dan bukan mencegah atau mengatasi penyakit akibat virus.
Bahkan tidak semua penyakit infeksi perlu ditangani dengan memberi antibiotik.
"Penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak sesuai Indikasi, jenis, dosis dan lamanya, serta kurangnya kepatuhan penggunaan antibiotik merupakan penyebab timbulnya resistensi," ujarnya.
Dia mengakui, penyebab banyaknya kasus resistensi antibiotik dipicu dengan mudahnya masyarakat membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek, kios atau warung.
"Seharusnya antibiotik memang tidak dijual bebas atau hanya bisa dibeli berdasarkan resep dokter," katanya.
Nyatanya hampir sebagian besar masyarakat menyimpan antibiotik cadangan di rumah dan memakan sendiri atau memberi kepada keluarga dan kerabat saat merasa sakit.
Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62 persen antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.
Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai rumah sakit di Indonesia ditemukan 30- 80 persen tidak didasarkan pada indikasi.
Berdasarkan data penelitian WHO dan KPRA/PPRA tahun 2013 di enam Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia diidentifikasi bakteri penghasil ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase) 40-50 persen resisten terhadap golongan Cephalosporin generasi 3 dan 4.
Dia.menegaskan, Kementerian Kesehatan telah ikut berkomitmen dalam pengendalian AMR dengan antara lain telah berfungsinya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang dibentuk 2014.
Pemerintah juga sudah melaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba dengan mengawali pada 144 rumah sakit rujukan nasional dan regional serta puskesmas di lima provinsi yang dijadikan proyek percontoham.
Namun tantangan yang harus dihadapi dalam penanggulangan resistensi antimikroba menjadi tidak mudah karena persoalannya, bukan saja melibatkan pasien atau dokter, tetapi juga melibatkan industri farmasi, industri rumah sakit, kepentingan bisnis dan kesadaran masyarakat.
"Untuk itu diperlukan kerja sama semua pihak mengatasi masalah resistensi antibiotik ini, terutama keterlibatan pemerintah, institusi pendidikan, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi dan perusahaan farmasi,"katanya.
Communication Manager PT Pfizer Indonesia, Ninesiana Saragih, menyebutkan, melalui visi untuk memimpin melalui inovasi untuk Indonesia yang lebih sehat, Pfizer berkomitmen menjalankan segala kegiatan dan operasionalnya demi masyarakat Indonesia yang lebih sehat.
Untuk itu, katanya, Pfizer ikut peduli dan mendukung kampanye pengendalian penggunaan antibiotik untuk mencegah munculnya resistensi antimikroba.
Salah satunya dengan mengadakan kegiatan Pfizer Press Circle dengan topik resistensi antibiotik yang menghadirkan pakar kesehatan .
Dengan kegiatan itu diharapkan, masyarakat menjadi lebih teredukasi tentang penggunaan antibiotik yang terkendali dengan dosis yang tepat untuk mencegah munculnya resistensi antimikroba, serta tidak membeli atau mengonsumsi obat antibiotik tanpa resep dan anjuran dokter
Pfizer sebagai penyedia obat-obatan anti-infeksi dan antifungal (anti-jamur) terkemuka di industri farmasi dunia, tetap berkomitmen untuk terus mencari cara baru untuk meningkatkan portofolio obat anti-infeksi di seluruh dunia.
Pfizer, katanya memahami betul bahaya AMR terhadap kesehatan masyarakat dan telah melakukan langkah-langkah signifikan untuk menghadapi masalah tersebut.
Pada awal 2016, Pfizer menandatangani Deklarasi Pemberantasan AMR yang merupakan sebuah gerakan berskala internasional yang telah ditandatangani oleh lebih dari 100 perusahaan dan 13 organisasi perdagangan yang mendukung kerja sama antara perusahaan dan instansi pemerintah untuk menangani masalah AMR.
"Selain di Medan, rangkaian kegiatan roadshow edukasi pengendalian penggunaan antibiotik sudah dilakukan di Surabaya dan Yogyakarta,"ujar Ninesiana.*
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2017