Padangsidimpuan- Manortor adalah suatu bentuk seni tari warisan leluhur di Tapanuli  bagian Selatan (Tabagsel) yang masih eksis tampil pada waktu-waktu tertentu. Ia tampil semisal, pada acara-acara adat dan dalam upacara penyambutan tamu-tamu penting pemerintah.
 
Khawatir akan mengalami erosi sehubungan derasnya budaya asing melanda negeri, maka Pemko Padangsidimpuan menggelar festival Manortor, Margondang, Makkobar dan Marpantun Rabu (5/10) pekan lalu di Alaman Bolak Kota Padangsidimpuan dengan julukan kota salak itu.
 
Dibanding dengan daerah lain, festival seni dan budaya seperti ini agak ketinggalan dengan penyelenggaraan di daerah Toba. 

Namun festival semacam ini telah melangkah maju beberapa langkah dibanding dengan daerah lainnya dari empat kabupaten satu kota, se Tabagsel.

Festival seni, budaya dan adat istiadat tersebut adalah untuk yang ketigakalinya diselenggarakan di Kota Padangsidimpuan,setelah sebelumnya mengalami sukses. 

Bertolak dari hajatan tersebut, sesungguhnya sudah saatnya masalah seni, budaya dan adat istiadat dilestarikan. 

Selain untuk mengantisipasi dari kepunahan dan melestarikannya untuk generasi muda, pada masa datang seni budaya dan adat istiadat Tabagsel itu memiliki prospek yang cukup cerah, terutama apabila dikaitkan dengan pariwisata.

Seperti dikemukakan Sekdako Padangsidimpuan Drs.H.Zulfeddi Simamora MM atas nama Walikota Padangsidimpuan Andar Amin Harahap S,S.TP, kegiatan festival ini dilaksanakan Pemerintah Kota Padangsidimpuan salah satu upaya dalam rangka melestarikan kebudayaan tradisional dan dapat dijadikan sebagai media untuk mengapresiasi kemampuan generasi muda dalam menyalurkan bakat dan kreatifitasnya, khususnya di Kota Padangsidimpuan.

Seperti dipertegas  Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Budaya dan Pariwisata (Kadisporabudpar) Mahlil Harahap SPd, festival ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kembali bu-daya tradisional.

Dewasa ini seni budaya tradisional tersebut sudah mulai meredup. Hal ini menurut Mahlil dapat dibuktikan dalam setiap kegiatan pesta pernikahan yang didominasi musik-musik keyboard. 

Seni budaya Tapsel/Sidimpuan seperti manortor, gordang sambilan dan berpantun sudah jarang ditampilkan. 
Apabila kegiatan ini tidak digelorakan melalui suatu festival, Mahlil khawatir seni budaya tradisional ini lama kelamaan akan terkikis.

Sesungguhnya, untuk melestarikan seni budaya tradisional ini tidak cukup hanya dengan festival, namun masih perlu harus didukung dengan pelaksanaan seminar terutama kepada generasi muda, Naposo Nauli Bulung (NNB) dan organisasi pemuda lainnya yang tidak terpisahkan dari generasi muda Tabagsel.

Alasan utama dari pelaksanaan seminar tersebut terkait dengan pemahaman yang hidup di tengah-tengah masyarakat selama ini bahwa, tampilan tor-tor dan gordang sambilan seolah-olah milik dari keturunan raja-raja. 
Gordang Sambilan dan tor-tor hanya dapat ditampilkan ketika pesta perkawinan keturunan raja, dengan upacara menyembelih kerbau (manyambol horbo) dengan pernak perniknya.     

Padahal, baik Gordang Sambilan dan Tor-tor sudah berada pada khasanah area publik.
Artinya, seni budaya gordang sambilan dan tor-tor tidak harus dengan syarat menyembelih kerbau, baru boleh ditampilkan.Seni budaya ini telah menjadi milik masyarakat umum, dalam konteks seni dan budaya siapa saja boleh menampilkannya.

Di luar konteks mangadati penampilan gordang sambilan dan tor-tor telah ditampilkan kepada khlayak misalnya dalam upacara menyambut tamu, pagelaran, ferstival dan lainnya. 

Jelasnya dalam penampilan seni dan budaya itu tidak mutlak dirangkai dengan mangadati. Demikian dengan festival makkobar dan marpantun, ia sudah berada di ranah umum.

Dalam kaitan makkobar dan berpantun tergolong satu paket. Seseorang makkobar, biasanya diiringi dengan pantun, walaupun pantun itu sifatnya sebagai bumbu dalam percakapan makkobar. 

Kata-kata makkobar sering ditautkan dengan pantun, hanya saja si pakkobar memilih pantun apa yang paling cocok dalam tema pembicaraan. 

Hanya wahana saja yang berbeda. Makkobar terdiri dari berbagai tingkatan.Tingkatan tersebut yakni makkobar dalam adat istiadat dan makkobar secara umum.

Salah seorang pemerhati seni dan budaya Tabagsel Barita Pasaribu, festival seni budaya, makkobar dan berpantun tersebut sudah tiga kali dilaksanakan di Padangsidimpuan.

Animo masyarakat dan generasi muda mengikuti festival ini cukup tinggi.Untuk tahun ini festival diikuti 29 grup terdiri dari pelajar,Naposo Nauli Bulung, mahasiswa yang berusia dari 17-30 tahun. 

Peserta makkobar terdiri dari 10 grup,berpantun 9 grup dan peserta margondang/tor-tor 10 grup.
Menurut Barita, antusias masyarakat dalam kegiatan festival ini cukup tinggi.

Namun diakuiinya dari seluruh aspek kegiatan belum menyentuh aspek pariwisata.Mungkin setelah seluruh kegiatan sudah dianggap mapan dan seluruh tampilan telah layak jual baru dikaitkan dengan pariwisata.

Demikian pula dengan penyelenggaraan, masih kurang publikasi dan pembidangan dalam penyelenggaraan belum pas.
Diakui Barita,penyelenggaraan festival yang sudah berlangsung tiga kali,Pemko Padangsidimpuan telah melangkah lebih maju dibanding dengan daerah lainnya di Tabagsel. Adanya berbagai kekurangan akan disampaikan kepada pihak pariwisata, nantinya pada festival berikutnya akan lebih disempurnakan.

Menyinggung tentang seminar berbagai seni dan budaya, hingga saat ini belum pernah dilaksanakan.Tetapi dari pelaksanaan, telah dapat dijadikan berupa bahan kajian menindaklanjuti program berikutnya.

Manaon Lubis salah seorang yang membidangi festival pantun mengatakan,minat generasi Padangsidimpuan untuk ikut lomba pantun, sudah terlihat.

Pewarta: Khairul Arief

Editor : Akung


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016