Oleh Desca Lidya Natalia



Jakarta, 2/5 (Antara) - Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku kecewa dengan data yang diberikan Bank Indonesia mengenai Bank Century pascakeputusan yang menetapkan bank tersebut sebagai bank gagal berdampak sistemik.

"Faktanya, saya saat itu sangat kecewa kualitas data BI, tapi sebagai Menteri Keuangan saya tahu yang saya pertaruhkan adalah sistem keuangan, jadi saya minta BI bertanggung jawab secara profesional terhadap angka-angka yang diberikan ke KSSK," kata Sri Mulyani dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.

Hal itu disampaikan oleh Sri Mulyani dalam sidang perkara pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century, dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan terdakwa mantan deputi Gubenur Bank Indonesia bidang 4 Pengelolaan Moneter dan Devisa dan Kantor Perwakilan (KPW) Budi Mulya.

Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan periode 2005-2009 yang menjadi ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan. KSSK pada 21 November 2008 menjadi pihak yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, sehingga Bank Century pun diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Sri Mulyani yang saat ini menjabat sebagai Managing Director Bank Dunia menjelaskan dalam rapat konsultasi KSSK pada 24 November 2008, BI mengubah kondisi CAR (rasio kecukupan modal) Bank Century dari awalnya negatif 3,53 persen pada 21 November 2008, namun pada 24 November 2008 CAR Bank Century menjadi sudah menjadi negatif 35,92 persen.

"Iya, kalau angkanya berubah-ubah seperti itu, saya bisa mati berdiri. Saya menyampaikan kekecewaan saya begitu banyaknya di Bank Century yang 'governance'-nya tidak baik dan kenapa hal itu muncul saat sudah diambil alih LPS," ungkap Sri Mulyani.

Kekecewaan itu terjadi karena Sri Mulyani khawatir dengan kecukupan modal LPS saat krisis.

"Saat krisis LPS hanya punya uang Rp14 triliun, terdiri atas Rp4 triliun merupakan modal awal dari pemerintah dan Rp10 triliun dari urunan bank yang lain, jadi dari Rp1.700 triliun tabungan masyarakat, dan yang di-'cover' sekitar 900-1000 triliun, dan saya sebagai pengambil keputusan sangat 'concern' karena dana LPS hanya Rp14 triliun, kalau masyarakat resah dan mengambil uangnya maka LPS tidak akan punya cukup amunisi untuk menghadapi hal itu."

"Saat LPS kurang dana maka pemerintah harus memberi tambahan modal. Saya menjaga jangan sampai Indonesia kena krisis seperti pada 1997-1998 saat keuangan jebol karena menangani perbankan," jelas Sri Mulyani.

Pada saat keputusan menyatakan Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik, menurut Sri Mulyani, BI hanya membutuhkan tambahan dana sebesar Rp632 miliar.

"Bila jumlahnya hanya Rp632 miliar dan LPS punya Rp14 triliun, maka aman, tapi ternyata Dirjen Pajak Pak Darmin pada hari Sabtu-Minggu (22-23 November) memberikan info kebutuhan dana Century semakin besar dan apakah mungkin LPS punya kekuatan? Apalagi sejak 13 November Bank Indonesia menyampaikan ada 5 bank yang kondisinya mirip Bank Century dan 18 bank lain yang kesulitan likuiditas jadi saya mikir kalau Century satu saja seperti itu bagaimana yang lain?" tegas Sri Mulyani.

Alasan jumlah tambahan modal Bank Century semakin besar karena Bank Indonesia tidak memasukkan sejumlah Surat-Surat Berharga (SSB) Bank Century sebagai aset yang bernilai.

"Alasannya menurut dirut Century saat itu, saudara Maryono mengatakan BI memacetkan beberapa SSB dan ada penerimaan yang tadinya masuk ke penerimaan tapi dianggap tidak ada, sehingga kebutuhannya menjadi lebih besar yaitu bukan Rp632 miliar tapi Rp2,6 triliun," ungkap Sri Mulyani.

Setelah mendapat kabar tersebut, Sri Mulyani pun mempertanyakan perhitungan itu ke BI.

"Jadi ada 'judgment' (keputusan) yang saya pertanyakan kenapa memberi tahu pemacetan setelah keputusan dibuat' dan kenapa Bank Century yang sudah dalam pengawasan intensif dan khusus sejak 2005 tapi BI tidak bisa mendeteksi (accrual) yang fiktif? Saya pertanyakan efektivitas pengawasan BI," tegas Sri Mulyani.

Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.(D017)

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014