Mungkinkah wacana merebut simpati konstituen dan mengumpulkan lebih banyak massa bisa dilakukan dengan media sosial? Dan apa saja kiat merebut citra positif di dunia maya yang tak berjarak ruang itu?
Menarik massa, apalagi massa untuk keperluan politik praktis seperti pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden memang bisa dilakukan lewat beragam cara.

Saat ini, banyak orang diuntungkan dengan kemajuan dunia digital yang memungkinkan segalanya bergerak sangat cepat, serentak dan interaktif.

Wikipedia membagi media sosial menjadi enam jenis. Pertama adalah proyek kerja sama(kolaborasi) atau "collaborative projects" contohnya Wikipedia.

Kedua adalah blog dan microblog contohnya Twitter. Ketiga adalah konten (content communities) contohnya YouTube and DailyMotion. Keempat adalah situs jejaring sosial (social networking sites) contohnya Facebook.

Jenis kelima adalah permaiman dunia maya (virtual game-worlds) yang mengaplikasikan lingkungan tiga dimensi di mana penggunan bisa muncul dalam bentuk avatar-avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain selayaknya di dunia nyata, contohnya "World of Warcraft".

Media social yang terakhir adalah "virtual social world" yakni yang memungkinkan penggunanya merasa hidup di dunia maya. Bentuk ini hampir sama seperti "virtual game-worlds" namun "virtual social world" lebih bebas dan lebih ke arah kehidupan, contohnya adalah Second Life.

Peran Media Sosial
Banyak yang beranggapan bahwa peran media sosial memang tidak bisa diabaikan untuk menjaring massa, seperti yang dikatakan seorang guru sejarah sebuah SMA di Jakarta, Arief Pradono.

"Generasi X, Y, Z sebagaimana disebut Don Tapscott merupakan massa dengan jumlah terbesar, dan tentu saja, melek informasi. Mereka adalah massa, terutama generasi Y dan apalagi Z, yang telah menggenggam dunia di telapak tangan melalui tarian jemari di atas tuts atau keypad mereka," kata Arif Pradono.

Arif mengutip pendapat Don Tapscott, yakni seorang eksekutif bisnis, penulis, konsultan di bidang strategis bisnis.

Menurut Arif, generasi X, Y dan Z terbiasa membagi link informasi dengan sesamanya lewat Twitter, menjadi pengikut para tokoh dunia, menjadi fans Facebook milik para politisi Tanah Air dan membagi beberapa konten dari Youtube.

Arif Pradono menyadari bahwa politisi tidak bisa mengabaikan peran media sosial untuk menjaring massa dari kalangan generasi muda.

"Semakin ke arah generasi Z, maka mereka semakin familiar dengan bahasa yang ringkas, informasi yang serba digital dan terikat oleh tali sosial media," kata penyandang gelar Magister Ilmu Komunikasi Politik itu.

Sementara itu, ada pendapat berbeda tentang upaya menjaring massa lewat media sosial, seperti yang dikatakan oleh salah satu produser di stasiun televisi Indosiar, Muslihin.

Menurut Muslihin, komunikasi dengan konstituen menggunakan media sosial hanya efektif bila ditujukan untuk audiens kelas menengah yang melek internet.

"Komunikasi dengan konstituen menggunakan media sosial hanya efektif bila ditujukan untuk audiens kelas menengah yang suka dengan media sosial dan itu jumlahnya tidak banyak kan,?" ujarnya setengah bertanya.

Namun demikian, Muslihin mendukung kegiatan para bakal calon anggota legislatif untuk mengomunikasikan kegiatan-kegiatan di daerah pemilihan-nya (dapil).

"Ya, yang paling penting adalah mengunggah kegiatan-kegiatan calon anggota legislatif di daerah pemilihan untuk menunjukkan bahwa mereka itu bekerja," kata Magister Ilmu Komunikasi itu.

Muslihin menambahkan bahwa komunikasi-tatap muka juga tak kalah penting.

Sesungguhnya banyak yang harus dicermati bila ingin merebut citra positif melalui media sosial.

Menurut Suraya, doktor komunikasi dari Institut Pertanian Bogor, hal terpenting yang harus dicermati adalah mengenali karakteristik audiens dan pemilihan konten untuk dimuat di media sosial.

"Yang pertama harus kita kenali dulu siapa audiens kita, kedua adalah pemilihan kata ataupun gambar baik dalam bentuk verbal maupun non verbal," kata Suraya.

Dia menambahkan bahwa materi-materi yang disampaikan itu mencerminkan siapa sesungguhnya pemilik akun, dan ini memperlihatkan citra diri seseorang.

Suraya mengatakan pemilik akun media sosial harus hati-hati dalam mengungkapkan segala isi hati dan fikiran melalui sosial media.

Lalu di manakah sesungguhnya letak teman, fans atau pengikut dalam media sosial?.

Ada yang menyebut ikatan media sosial masuk dalam kelompok "secondary informal", sehingga ikatan yang terbentuk adalah bersifat sangat longgar dan strukturnya tidak formal dengan bentangan topik yang sangat luas.

Biasanya para politisi memiliki tim untuk mengelola media sosialnya.

Sri Wahyuni, mantan staf ahli politisi yang saat ini berprofesi sebagai periset pernah mendapat tugas memantau facebook, mengelola twitter dan website salah seorang politisi.

Tugas utamanya adalah memberi saran tentang konten yang tepat untuk media sosial tersebut.

Kiat berebut massa di media sosial
Apa saja kiat-kiat yang diperlukan untuk merebut massa di arena media sosial? Hal ini tentu tidak terlepas dari profil tokoh politisi itu sendiri beserta tim yang mengelola konten media sosialnya.
Politisi dan timnya harus memiliki pemahaman yang bagus terhadap prinsip-prinsip "media relation" dan sejumlah keahlian tertentu.

Prinsip "media relation" yang diperlukan untuk mengelola media sosial agar bertahan dan dicintai audiens-nya adalah senantiasa memelihara kejujuran dan kredibilitas, kemudian siap melayani dengan informasi di mana pun dan kapan pun.

Prinsip lainnya adalah tidak memaksakan kehendak kepada audiens dengan membuka seluas mungkin peluang diskusi dua arah dan terbuka terhadap kritik membangun.

Kemudian, tidak terlalu membanjiri media sosial dengan segala macam informasi, artinya informasi harus dikeluarkan setahap demi setahap sesuai dengan kebutuhan dan dilihat situasinya. Yang paling penting adalah tidak menghilangkan cerita yang merugikan politisi.

Mengelola media sosial sesungguhnya memerlukan sejumlah kompetensi inti yang harus dimiliki yakni kemampuan jurnalistik harus senantiasa diasah termasuk kemampuan menyajikan berita yang sifatnya "stright news" dan "soft news" serta kemampuan menulis secara "creative writing".

Hal yang tidak kalah penting adalah wawasan yang luas, termasuk pengetahun tentang ilmu-ilmu persuasi.

Kemudian memahami komunikasi politik dan faham visi misi politisi. Kompetensi lainnya adalah kemampuan memahami komunikasi efektif, yakni komunikasi yang mengedepankan upaya meraih perhatian, cinta kasih, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respons positif dari orang lain.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah mampu menjadi narasumber yang bisa dipercaya, di samping mampu menguasai masalah.

Bila kita memahami karakteristiknya, maka tentu akan bisa lebih bijaksana menggunakannya, cerdas menyikapi pujian, kritik bahkan hujatan dari audiens di luar sana.

Dan ketika jarak vektor lebih dirasa nisbi dibanding jarak sosial, ketika orang merasa dekat secara emosional dibanding kedekatan fisik, maka di situlah kekuatan media sosial. (DS)

*) Alumni PGSC Universitas Paramadina

Pewarta: Dyah Sulistyorini

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014