Jakarta, 14/1 (Antara) - Beberapa kali konsultasi yang telah digelar Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dinilai menghasilkan kesepakatan karena pengusaha tambang sepenuhnya mendukung hilirisasi mineral di Indonesia.

Sebagaimana diberitakan, pengusaha tambang yang tergabung dalam Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) mendukung keputusan pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral.

"ATEI menilai keputusan pemerintah dengan menerbitkan PP No. 1/2014 dan Peraturan Menteri ESDM No. 1/2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian sudah tepat," kata Ketua ATEI Natsir Mansyur di Jakarta, Senin (13/1).



Menurut Natsir, kebijakan itu dinilai sudah tepat karena telah mengakomodasi semua kepentingan, baik pemerintah pusat maupun daerah.

Selain itu, lanjut dia, kepentingan lainnya yang telah diakomodasi adalah pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) serta kontrak karya (KK) untuk mineral tembaga. "Keputusan pemerintah ini tepat, ekspor hasil olahan konsentrat tembaga 15 persen tetap berjalan," katanya.

Ia juga berpendapat bahwa kebijakan pemerintah tersebut juga bakal menghindarkan terjadinya PHK besar-besaran sehingga ekonomi daerah tetap bergerak dan tujuan program hilirisasi minerba juga tetap berjalan.

Natsir mengatakan bahwa, khusus penetapan bea keluar (BK), pihaknya meminta Kementerian Keuangan untuk membahasnya bersama-sama dengan Kadin, ATEI, dan Asosiasi Mining Indonesia (AMI) karena ada pertimbangan teknis dalam penetapannya.

"Kami berharap Kemenkeu tidak sepihak menetapkan BK. Semangat PP No. 1/2014 dan Permen ESDM No. 1/2014 sudah tepat mengajak pelaku dunia usaha dalam penetapannya," ujarnya.

ATEI menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi mineral yang akan dilaksanakan awal 2014 merupakan hal bagus, tetapi pengusaha tambang membutuhkan waktu lama untuk membangun "smelter".

"Pengusaha tambang tembaga mendukung kebijakan program hilirisasi mineral. Namun, membutuhkan waktu empat tahun untuk pembangunan smelter," kata Natsir.

Natsir menegaskan bahwa pembangunan "smelter" tidak semudah seperti membangun rumah toko dan nasionalisme penambang juga tampak jelas dengan membangun industri "smelter" tersebut.

ATEI juga menyatakan bahwa keputusan terkait dengan penentuan kadar minimum tembaga 15 persen dan emas 99 persen bukan keputusan sepihak pemerintah dan bukan akal-akalan pengusaha.

Hal tersebut, ujar dia, diputuskan melalui penentuan, perdebatan, dan pertimbangan yang matang dengan mengakomodasi kepentingan dunia usaha yang memiliki KK, IUP, serta IUP khusus pengolahan dan Pemerintah.

Penentuan itu, kata Natsir, jelas transparan karena penentuan kadar minimun melibatkan banyak pihak, mulai dari Kementerian ESDM, Kadin, AMI, ATEI, pelaku usaha KK, IUP, serta IUP khusus pengolahan dan pemurnian.

Natsir menyatakan bahwa pihaknya menyetujui kadar pemurnian mineral di dalam aturan terkait dengan larangan ekspor mineral mentah yang telah dibahas bersama-sama antara pengusaha dan Pemerintah.

"Pemerintah dan para pelaku usaha tambang menetapkan keputusan bersama untuk pengolahan konsentrat kadar 15 persen, pemurnian tembaga 90 persen, dan emas 99 persen," ujarnya.

Menurut dia, penetapan itu dinilai telah mengakomodasi kepentingan KK, IUP, dan IUP khusus pengolahan dan pemurnian.

Hal tersebut merupakan keputusan bersama yang diputuskan pada rapat tertanggal 8 Januari 2014 antara Kementerian ESDM, Kadin Indonesia, Asosiasi Mineral Indonesia (AMI), Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI), PT Freeport, dan PT Newmont.

"Keputusan ini agar pengolahan IUP tembaga bisa memproduksi konsentrat kadar 15 persen, dengan begitu IUP terakomodasi, kontrak karya tetap bisa ekspor, UU No 4/2009 tentang Minerba bisa jalan, pergerakan ekonomi di daerah pun aktif tidak terjadi stagnasi dan PHK tidak terjadi," katanya.

Harus Tepat Waktu
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mendesak penerapan hilirisasi dan larangan ekspor mineral mentah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara harus tepat waktu.

"Penerapan kebijakan hilirisasi itu harus dijalankan sesuai dengan UU yang telah diterapkan. Tidak perlu ditunda," kata Bobby.

Ia mengatakan bahwa pro dan kontra terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan adalah hal biasa dan Pemerintah diminta tidak perlu takut akan ancaman perusahaan yang akan melakukan PHK besar-besaran.

"Sebab, kalau 'smelter-smelter' selesai dibangun, efeknya untuk sektor ketenagakerjaan akan bertambah besar. Bukan penggangguran yang muncul, melainkan pembukaan lapangan pekerjaan baru," ucap politikus Partai Golkar tersebut.

Bobby juga mengatakan bahwa Pemerintah harus bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak mematuhi peraturan itu, salah satunya dengan mencabut izin usaha pertambangannya. Hal itu karena perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya telah diberikan waktu untuk melakukan penyesuaian.

Ia mengakui bahwa setelah penerapan aturan itu, Indonesia memang akan merasakan "demam-demam" karena menurunnya pendapatan nilai ekspor komoditas mineral mentah.
"Biasa, seperti setelah divaksin, badan akan demam sementara. Akan tetapi, setelah itu akan sehat jangka panjangnya," katanya.

Untuk itu, Bobby berharap agar Pemerintah dalam merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, isinya bisa sejalan dengan semangat UU No. 4/2009 tentang Minerba.

"Bukannya melegitimasi penundaan pembangunan 'smelter' atau proses tambah nilai dengan alasan apa pun," ujarnya.

Sebagaimana diberitakan, Menteri ESDM Jero Wacik memastikan penerbitan peraturan pemerintah (PP) untuk mendukung implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, akan mengatur ketentuan bagi perusahaan yang telah melakukan hilirisasi.

"Bagi perusahaan yang sudah melakukan pengolahan dan pemurnian akan diatur lebih lanjut dalam PP yang baru," kata Jero di Jakarta, Jumat (27/12).

Ia menjelaskan bahwa penerbitan PP tersebut dilakukan sebelum 12 Januari 2014 atau masa berlakunya UU Minerba untuk melarang ekspor bahan mineral mentah secara efektif.

PP yang merupakan turunan UU No. 4/2009 tersebut dinilai merupakan hal penting untuk renegosiasi izin pertambangan.

"PP dan Peraturan Menteri tentang pengolahan mineral menjadi termin yang harus dimasukkan dalam renegosiasi dan penyelesaian renegosiasi," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM R. Sukhyar.

Konsistensi Pemerintah
Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) Natsir Mansyur mendukung konsistensi yang ditunjukkan Pemerintah dalam menerapkan program hilirisasi mineral yang dinilai bakal membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.

"Program hilirisasi minerba dinilai merupakan wujud konsistensi Pemerintah yang dampaknya dinilai positif bagi pertumbuhan ekonomi pada masa-masa mendatang," ujarnya.

Menurut dia, hal tersebut positif bagi pertumbuhan industri nasional ke depan karena selama ini industri hulu masih terbatas sehingga berimbas kepada industri hilir yang tidak sehat dengan bergantung kepada bahan baku impor.

Dengan program hilirisasi, dia berharap agar dampak sosial, politik, dan pertumbuhan ekonomi daerah dapat menjadi perhatian Pemerintah.

Pasalnya, tak kurang dari 800.000 orang tenaga kerja langsung yang terlibat pada bisnis mineral serta mempertimbangkan KK, IUP, dan izin pertambangan rakyat (IPR).

Natsir juga menyatakan bahwa program hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) yang sedang digaungkan oleh Pemerintah membutuhkan perencanaan yang matang agar tidak merugikan sejumlah pihak.

Untuk itu, pihaknya berharap agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama-sama dengan DPR RI dan pengusaha tambang minerba dapat duduk bersama mencari solusi terkait dengan program hilirisasi minerba.

"Kami berharap agar Kementerian ESDM, DPR komisi VI, VII, dan XI serta pengusaha tambang minerba dapat duduk bersama mencarikan solusi dengan tidak menekankan pada egoisme institusi masing-masing," ujarnya.

Natsir menyayangkan bahwa infrastruktur yang telah dibangun pengusaha minerba tanpa bantuan pemerintah ternyata terabaikan.
Ia juga berpendapat bahwa DPR dan pemerintah pusat bisa melakukan intervensi. Namun, yang bersinggungan langsung pada kebijakan tersebut adalah pemerintah daerah.

Menurut dia, egoisme DPR dan Pemerintah dapat membawa dampak pada politik ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan program hilirisasi minerba yang sebenarnya sama pentingnya dengan tujuan negara ini.

"Urusan kebijakan kita serahkan ke DPR dan Pemerintah, hanya saja jangan sampai pengusaha yang memiliki niat baik untuk membangun 'smelter; terabaikan," ucapnya. (M040)

Pewarta: Muhammad Razi Rahman

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014