Medan, 25/12 (Antara)- Dewan Minyak Sawit Indonesia menyebutkan "Indonesian Suistainable Palm Oil (ISPO)" yang diberlakukan Pemerintah sejak 2010, belum dikenal di dunia internasional di tengah isu negatif minyak sawit Indonesia yang masih tetap berkembang.
"Pasar internasional masih mengenal 'Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dibuat internasional 2003-2004," kata Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun di Medan, Rabu.
Belum dikenalnya ISPO di pasar internasional tentunya sangat disayangkan mengingat Pemerintah memutuskan bahwa ISPO wajib dikantongi perusahaan perkebunan dan industri sawit nasional.
Oleh karena itu, kata dia, perlu kerja keras untuk mensosialisasikan ISPO itu di pasar internasional khususnya di negara-negara konsumen yang masih gencar mengkampayekan isu negatif sawit.
Inggris misalnya sudah mengeluarkan pernyataan, bahwa pada 2015 hanya mau membeli sawit bersertifikat.
Begitu juga di Belanda, Perancis, Jerman dan Belgia dan mereka hanya mengetahui RSPO dan International Sustainability and Carbon Certificate (ISCC).
ISCC adalah sertifikat untuk membuktikan sawit tersebut bisa dijadikan biodiesel..
Padahal, standar RSPO sama dengan RSPO seperti mengatur pembukaan kebun sawit tidak boleh dilakukan dengan membakar atau di kawasan yang nilai konservasi tinggi dan tidak memperkerjakan anak.
Derom menyebutkan, dewasa ini sekitar 19 perusahaan sawit nasional sudah mengantongi ISPO.
"Kalau ISPO tidak dikenal dan diakui sementara sebaliknya RSPO belum juga dikantongi pengusaha, maka dikhawatirkan ekspor sawit nasional mengalami hambatan,"katanya.
Derom menilai, untuk sosialisasi minyak sawit Indonesia yang hingga dewasa ini masih menjadi andalan utama ekspor, Pemerintah perlu menganggarkan dana prromosi di masing-masing kementerian terkait.
DMSI sendiri, kata dia, selalu dan akan terus mengkampanyekan ISPO di luar negeri.
Dalam Oil World Outlook Conference di Hamburg, 29 November lalu, DMSI memaparkan soal ISPO dan upaya Pemerintah dan pengusaha sawit nasional mengembangkan komoditas itu secara ramah lingkungan.
Dalam kesempatan itu, DMSI juga berkesempatan melakukan pertemuan dengan mahasiswa dan pekerja asal Indonesia dimana Pemerintah mengharapkan warga Indonesia itu ikut mengkampanyekan sa wit dan lainnya asal Indonesia secara positif di luar negeri.
Sekretaris Asosiasi Pengusha Indonesia (Apindo) Sumut, Laksamana Adiyaksa mengatakan, isu negatif memang masih terus bergulir sehingga membuat hambatan ekspor.
"Selain berupaya menanamkan kepercayaan kepada buyer (pembeli).Pengusaha semakin berupaya mengembangkan industri hilir dan memperkuat pasar di dalam negeri agar ancaman ekspor bisa ditekan," katanya.
Soal ISPO, kata dia, kalau sudah dipercayai pembeli, maka pengusaha nasional tidak harus mengantongi RSPO yang artinya perusahaan bisa menekan biaya operasional dari keharusan mengurus dua sertifikat. (E016)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013
"Pasar internasional masih mengenal 'Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dibuat internasional 2003-2004," kata Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun di Medan, Rabu.
Belum dikenalnya ISPO di pasar internasional tentunya sangat disayangkan mengingat Pemerintah memutuskan bahwa ISPO wajib dikantongi perusahaan perkebunan dan industri sawit nasional.
Oleh karena itu, kata dia, perlu kerja keras untuk mensosialisasikan ISPO itu di pasar internasional khususnya di negara-negara konsumen yang masih gencar mengkampayekan isu negatif sawit.
Inggris misalnya sudah mengeluarkan pernyataan, bahwa pada 2015 hanya mau membeli sawit bersertifikat.
Begitu juga di Belanda, Perancis, Jerman dan Belgia dan mereka hanya mengetahui RSPO dan International Sustainability and Carbon Certificate (ISCC).
ISCC adalah sertifikat untuk membuktikan sawit tersebut bisa dijadikan biodiesel..
Padahal, standar RSPO sama dengan RSPO seperti mengatur pembukaan kebun sawit tidak boleh dilakukan dengan membakar atau di kawasan yang nilai konservasi tinggi dan tidak memperkerjakan anak.
Derom menyebutkan, dewasa ini sekitar 19 perusahaan sawit nasional sudah mengantongi ISPO.
"Kalau ISPO tidak dikenal dan diakui sementara sebaliknya RSPO belum juga dikantongi pengusaha, maka dikhawatirkan ekspor sawit nasional mengalami hambatan,"katanya.
Derom menilai, untuk sosialisasi minyak sawit Indonesia yang hingga dewasa ini masih menjadi andalan utama ekspor, Pemerintah perlu menganggarkan dana prromosi di masing-masing kementerian terkait.
DMSI sendiri, kata dia, selalu dan akan terus mengkampanyekan ISPO di luar negeri.
Dalam Oil World Outlook Conference di Hamburg, 29 November lalu, DMSI memaparkan soal ISPO dan upaya Pemerintah dan pengusaha sawit nasional mengembangkan komoditas itu secara ramah lingkungan.
Dalam kesempatan itu, DMSI juga berkesempatan melakukan pertemuan dengan mahasiswa dan pekerja asal Indonesia dimana Pemerintah mengharapkan warga Indonesia itu ikut mengkampanyekan sa wit dan lainnya asal Indonesia secara positif di luar negeri.
Sekretaris Asosiasi Pengusha Indonesia (Apindo) Sumut, Laksamana Adiyaksa mengatakan, isu negatif memang masih terus bergulir sehingga membuat hambatan ekspor.
"Selain berupaya menanamkan kepercayaan kepada buyer (pembeli).Pengusaha semakin berupaya mengembangkan industri hilir dan memperkuat pasar di dalam negeri agar ancaman ekspor bisa ditekan," katanya.
Soal ISPO, kata dia, kalau sudah dipercayai pembeli, maka pengusaha nasional tidak harus mengantongi RSPO yang artinya perusahaan bisa menekan biaya operasional dari keharusan mengurus dua sertifikat. (E016)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013