Santi terlihat menggigit bibirnya sambil sesekali melirik petugas Konsulat Jenderal RI atau KJRI di Jeddah, Arab Saudi.
Tenaga Kerja Indonesia asal Sukabumi itu menunggu namanya dipanggil diantara ratusan teman-temannya di depan asrama yang ia huni lebih dari sebulan belakangan ini.
"Saya hanya ingin cepat pulang ke Indonesia, saya sudah sebulan lebih tinggal di asrama ini," ujar Santi yang tidak lama setelah namanya dipanggil bergegas masuk ke dalam asrama untuk mengemasi barang-barang miliknya.
Santi merupakan satu dari 11 ribu Tenaga Kerja Indonesia yang masa tinggalnya di Arab Saudi telah melebihi batas izin tinggal atau yang biasa disebut dengan "overstayer".
Dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi memberlakukan kebijakan untuk pemutihan status para warga asing yang bekerja di negaranya agar dapat memperbaiki statusnya atau amnesti.
Pada masa amnesti tersebut, ribuan warga negara Indonesia yang kebetulan telah melanggar izin tinggal maupun izin kerja di Arab Saudi kemudian berbondong-bondong mendatangi baik Kedutaan Besar RI (KBRI) di Riyadh maupun Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah
Namun jumlah warga negara Indonesia yang dinyatakan sebagai "overstay" di Kerajaan Arab Saudi terlalu besar, sehingga menyisakan sekitar 11 ribu lebih warga yang tidak sempat memperbaiki status izin kerja dan tinggal mereka.
Masa amnesti yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi habis pada tanggal 3 November 2103 dan sisa warga negara indonesia yang masih belum mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki status mereka terpaksa digiring ke rumah detensi imigrasi Tarhil, di Shumaysi.
Di dalam Tarhil Shumaysi, terdapat 27 blok yang masing-masing blok terdiri atas 75 "Ambar" (asrama) yang berukuran sekitar 10x18 meter yang dipenuhi dengan 36 tempat tidur tingkat untuk 72 orang, dan dilengkapi dengan delapan buah kamar kecil dan dua ruangan untuk berjemur dan ruang makan.
Di dalam Ambar yang juga dilengkapi dengan penyejuk ruangan itu, para penghuninya juga diberikan makan tiga kali sehari dengan menu sesuai kebiasaan makan warga setempat.
Sebelumnya pada tanggal 9 Juni 2013 terjadi sedikit kericuhan di depan KJRI Jeddah karena membludaknya banyaknya warga negara Indonesia untuk memperbaiki status mereka, sehingga pihak polisi setempat harus turun tangan.
Jumlah warga Indonesia yang mengantri pada saat itu mencapai lebih dari 12.000 orang.
Setelah kericuhan kecil tersebut, banyak dari mereka memutuskan untuk berkumpul di kolong jembatan di Jalan Palestine atas arahan polisi setempat untuk menghindari terjadinya kemacetan lalu lintas di depan KJRI Jeddah.
Mayoritas dari mereka yang berkumpul di kolong jembatan tersebut berasal dari luar kota Jeddah, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk tinggal di Jeddah sampai proses administrasi imigrasi selesai.
Deportasi
Pihak pemerintah Arab Saudi akan mendeportasi sisa warga Negara Indonesia "overstay" yang berada di "Tarhil" namun harus melalui proses administrasi yang telah ditentukan oleh negara tersebut.
Ada pun proses deportasi yang diterapka oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi yaitu ketika mereka terjaring oleh petugas imigrasi (Jawazad) kemudian dibawa ke rumah detensi (Tarhil) maka dilakukan proses pengambilan sidik jari dan foto atau identifikasi (Basmah).
Setelah menjalani Basmah maka rekam jejak para WNI tersebut selama tinggal di Arab Saudi dapat terlihat, apakah pernah melanggar hukum atau tidak.
Jika terbukti tidak pernah melakukan pelanggaran hukum maka surat ijin meninggalkan negara tersebut (exit permit) dapat segera dikeluarkan untuk mereka dideportasi ke tanah air.
Karena mereka dianggap sebagai penduduk ilegal dan telah dideportasi oleh pemerintah Arab Saudi, maka sanksinya adalah mereka tidak bisa kembali ke negara tersebut minimal 10 tahun kedepan.
Namun jika dalam proses identifikasi mereka terbukti pernah melakukan tindakan melanggar hukum maka harus melalui proses pemeriksaan lebih lanjut yg disebut "Tahqiq".
Proses pemeriksaan merupakan tahapan penyaringan untuk dapat melihat catatan berat atau tidaknya pelanggaran hukum yang pernah dilakukan dan sebelum bisa mendapatkan "exit permit" para "overstayer" harus menyelesaikan segala permasalahan tersebut.
Masalah yang kerap kali menjadi kendala biasanya seperti masalah dengan majikan, pencurian atau denda tilang di jalan raya. Namun untuk kasus yang lebih berat, para overstayer ini harus menjalani hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pihak KJRI Jeddah juga mendukung seluruh proses deportasi para WNI overstayer ini dengan memfasilitasi pembuatan SPLP, Surat Perjalanan Laksana Pasport, bagi mereka yang memang kebanyakan tidak memegang passport.
Dengan banyaknya warga negara Indonesia yang ditempatkan di Tarhil, pihak perwakilan pemerintah RI tidak hanya diam dan terus melakukan pengawasan serta berupaya mempercepat proses pemulangan mereka ke Tanah Air.
Kinerja Perwakilan RI di Arab Saudi
Mengingat penempatan warga asing di Tarhil merupakan kewenangan Kerajaan Arab Saudi beserta instansi terkaitnya, maka pihak KJRI Jeddah hanya bisa memantau keadaan warganya.
Namun, tidak seperti perwakilan pemerintah dari negara lainnya seperti Filipina, Ethopia, Yaman, Nepal, Thailand serta Pakistan, maka perwakilan Indonesia masih selalu memantau warganya dengan selalu menyiagakan tiga petugasnya dalam shift selama 24 jam.
Menurut Konsul Jenderal RI untuk Jeddah, Dharmakitry Syailendra Putra, jumlah overstayer Indonesia memang jauh lebih banyak dibandingkan dengan para overstayer asal Filipina yang hanya berjumlah 650 orang saja, namun overstrayer Indonesia justru yang mendapatkan prioritas untuk di deportasi terlebih dahulu.
"Kami selalu memantau keadaan para overstay agar kebutuhan mereka selalu terpenuhi, meskipun dengan seadaanya mereka masih bisa makan dan tidur di dalam kamar berkasur yang dilengkapi dengan penyejuk ruangan," ujar Konsul Jenderal RI untuk Jeddah, Dharmakitry Syailendra Putra.
Menurut Dharma, semua proses deportasi ini merupakan sepenuhnya kewenangan pemerintah kerajaan Arab Saudi, dan KJRI hanya dapat memantau prosesnya serta memberikan dukungan untuk mempercepat pemulangan para Tenaga Kerja Indonesia overstay yang berjumlah sekitar 11.200 orang.
"Awalnya, target kami, semua overstayer
ini dapat dipulangkan dalam waktu delapan hari dengan penerbangan dua kali sehari yang disediakan oleh pemerintah Arab Saudi, namun masih banyaknya kesalahan administrasi maka proses tersebut menjadi lebih lama," ujar Dharma.
Kendati demikian, jumlah tersebut berangsur berkurang hingga pertengahan Desember 2013 pun tersisa hanya sekitar 1.900 WNI di Tarhil dan akan secepatnya dipulangkan.
Selain itu, sekitar 300 WNI overstay yang masih berada rumah detensi imigrasi Tarhil setelah terjaring di sebuah lapangan parkir bekas banda udara Jeddah, Mator Qodim. Para WNI ini sengaja berkumpul di bekas lapangan terbang tersebut untuk bisa dipulangkan secara gratis menggunakan penerbangan Saudi Air yang telah di sediakan oleh pemerintah Arab Saudi, melalui rumah detensi imigrasi, Tarhil Shumaysi.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia melalui perwakilannya KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah selalu mendorong dan membantu pemulangan para WNI overstay ke Indonesia dengan selamat.
Pemerintah RI dan Kerajaan Arab Saudi hingga saat ini juga masih mendiskusikan perjanjian untuk membuka kembali penghentian sementara (Moratorium) pengiriman Tenaga Kerja Indonesia secara menyeluruh setelah diberlakukan pada Agustus 2011.
"Hingga saat ini pemerintah RI dan Saudi Arabia masih mematangkan perjanjian pembukaan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi secara menyeluruh. Semoga bisa diselesaikan sesegera mungkin, untuk menghindari permasalahan overstay terulang kembali," tutup Dharma. (A050)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013
Tenaga Kerja Indonesia asal Sukabumi itu menunggu namanya dipanggil diantara ratusan teman-temannya di depan asrama yang ia huni lebih dari sebulan belakangan ini.
"Saya hanya ingin cepat pulang ke Indonesia, saya sudah sebulan lebih tinggal di asrama ini," ujar Santi yang tidak lama setelah namanya dipanggil bergegas masuk ke dalam asrama untuk mengemasi barang-barang miliknya.
Santi merupakan satu dari 11 ribu Tenaga Kerja Indonesia yang masa tinggalnya di Arab Saudi telah melebihi batas izin tinggal atau yang biasa disebut dengan "overstayer".
Dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi memberlakukan kebijakan untuk pemutihan status para warga asing yang bekerja di negaranya agar dapat memperbaiki statusnya atau amnesti.
Pada masa amnesti tersebut, ribuan warga negara Indonesia yang kebetulan telah melanggar izin tinggal maupun izin kerja di Arab Saudi kemudian berbondong-bondong mendatangi baik Kedutaan Besar RI (KBRI) di Riyadh maupun Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah
Namun jumlah warga negara Indonesia yang dinyatakan sebagai "overstay" di Kerajaan Arab Saudi terlalu besar, sehingga menyisakan sekitar 11 ribu lebih warga yang tidak sempat memperbaiki status izin kerja dan tinggal mereka.
Masa amnesti yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi habis pada tanggal 3 November 2103 dan sisa warga negara indonesia yang masih belum mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki status mereka terpaksa digiring ke rumah detensi imigrasi Tarhil, di Shumaysi.
Di dalam Tarhil Shumaysi, terdapat 27 blok yang masing-masing blok terdiri atas 75 "Ambar" (asrama) yang berukuran sekitar 10x18 meter yang dipenuhi dengan 36 tempat tidur tingkat untuk 72 orang, dan dilengkapi dengan delapan buah kamar kecil dan dua ruangan untuk berjemur dan ruang makan.
Di dalam Ambar yang juga dilengkapi dengan penyejuk ruangan itu, para penghuninya juga diberikan makan tiga kali sehari dengan menu sesuai kebiasaan makan warga setempat.
Sebelumnya pada tanggal 9 Juni 2013 terjadi sedikit kericuhan di depan KJRI Jeddah karena membludaknya banyaknya warga negara Indonesia untuk memperbaiki status mereka, sehingga pihak polisi setempat harus turun tangan.
Jumlah warga Indonesia yang mengantri pada saat itu mencapai lebih dari 12.000 orang.
Setelah kericuhan kecil tersebut, banyak dari mereka memutuskan untuk berkumpul di kolong jembatan di Jalan Palestine atas arahan polisi setempat untuk menghindari terjadinya kemacetan lalu lintas di depan KJRI Jeddah.
Mayoritas dari mereka yang berkumpul di kolong jembatan tersebut berasal dari luar kota Jeddah, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk tinggal di Jeddah sampai proses administrasi imigrasi selesai.
Deportasi
Pihak pemerintah Arab Saudi akan mendeportasi sisa warga Negara Indonesia "overstay" yang berada di "Tarhil" namun harus melalui proses administrasi yang telah ditentukan oleh negara tersebut.
Ada pun proses deportasi yang diterapka oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi yaitu ketika mereka terjaring oleh petugas imigrasi (Jawazad) kemudian dibawa ke rumah detensi (Tarhil) maka dilakukan proses pengambilan sidik jari dan foto atau identifikasi (Basmah).
Setelah menjalani Basmah maka rekam jejak para WNI tersebut selama tinggal di Arab Saudi dapat terlihat, apakah pernah melanggar hukum atau tidak.
Jika terbukti tidak pernah melakukan pelanggaran hukum maka surat ijin meninggalkan negara tersebut (exit permit) dapat segera dikeluarkan untuk mereka dideportasi ke tanah air.
Karena mereka dianggap sebagai penduduk ilegal dan telah dideportasi oleh pemerintah Arab Saudi, maka sanksinya adalah mereka tidak bisa kembali ke negara tersebut minimal 10 tahun kedepan.
Namun jika dalam proses identifikasi mereka terbukti pernah melakukan tindakan melanggar hukum maka harus melalui proses pemeriksaan lebih lanjut yg disebut "Tahqiq".
Proses pemeriksaan merupakan tahapan penyaringan untuk dapat melihat catatan berat atau tidaknya pelanggaran hukum yang pernah dilakukan dan sebelum bisa mendapatkan "exit permit" para "overstayer" harus menyelesaikan segala permasalahan tersebut.
Masalah yang kerap kali menjadi kendala biasanya seperti masalah dengan majikan, pencurian atau denda tilang di jalan raya. Namun untuk kasus yang lebih berat, para overstayer ini harus menjalani hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pihak KJRI Jeddah juga mendukung seluruh proses deportasi para WNI overstayer ini dengan memfasilitasi pembuatan SPLP, Surat Perjalanan Laksana Pasport, bagi mereka yang memang kebanyakan tidak memegang passport.
Dengan banyaknya warga negara Indonesia yang ditempatkan di Tarhil, pihak perwakilan pemerintah RI tidak hanya diam dan terus melakukan pengawasan serta berupaya mempercepat proses pemulangan mereka ke Tanah Air.
Kinerja Perwakilan RI di Arab Saudi
Mengingat penempatan warga asing di Tarhil merupakan kewenangan Kerajaan Arab Saudi beserta instansi terkaitnya, maka pihak KJRI Jeddah hanya bisa memantau keadaan warganya.
Namun, tidak seperti perwakilan pemerintah dari negara lainnya seperti Filipina, Ethopia, Yaman, Nepal, Thailand serta Pakistan, maka perwakilan Indonesia masih selalu memantau warganya dengan selalu menyiagakan tiga petugasnya dalam shift selama 24 jam.
Menurut Konsul Jenderal RI untuk Jeddah, Dharmakitry Syailendra Putra, jumlah overstayer Indonesia memang jauh lebih banyak dibandingkan dengan para overstayer asal Filipina yang hanya berjumlah 650 orang saja, namun overstrayer Indonesia justru yang mendapatkan prioritas untuk di deportasi terlebih dahulu.
"Kami selalu memantau keadaan para overstay agar kebutuhan mereka selalu terpenuhi, meskipun dengan seadaanya mereka masih bisa makan dan tidur di dalam kamar berkasur yang dilengkapi dengan penyejuk ruangan," ujar Konsul Jenderal RI untuk Jeddah, Dharmakitry Syailendra Putra.
Menurut Dharma, semua proses deportasi ini merupakan sepenuhnya kewenangan pemerintah kerajaan Arab Saudi, dan KJRI hanya dapat memantau prosesnya serta memberikan dukungan untuk mempercepat pemulangan para Tenaga Kerja Indonesia overstay yang berjumlah sekitar 11.200 orang.
"Awalnya, target kami, semua overstayer
ini dapat dipulangkan dalam waktu delapan hari dengan penerbangan dua kali sehari yang disediakan oleh pemerintah Arab Saudi, namun masih banyaknya kesalahan administrasi maka proses tersebut menjadi lebih lama," ujar Dharma.
Kendati demikian, jumlah tersebut berangsur berkurang hingga pertengahan Desember 2013 pun tersisa hanya sekitar 1.900 WNI di Tarhil dan akan secepatnya dipulangkan.
Selain itu, sekitar 300 WNI overstay yang masih berada rumah detensi imigrasi Tarhil setelah terjaring di sebuah lapangan parkir bekas banda udara Jeddah, Mator Qodim. Para WNI ini sengaja berkumpul di bekas lapangan terbang tersebut untuk bisa dipulangkan secara gratis menggunakan penerbangan Saudi Air yang telah di sediakan oleh pemerintah Arab Saudi, melalui rumah detensi imigrasi, Tarhil Shumaysi.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia melalui perwakilannya KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah selalu mendorong dan membantu pemulangan para WNI overstay ke Indonesia dengan selamat.
Pemerintah RI dan Kerajaan Arab Saudi hingga saat ini juga masih mendiskusikan perjanjian untuk membuka kembali penghentian sementara (Moratorium) pengiriman Tenaga Kerja Indonesia secara menyeluruh setelah diberlakukan pada Agustus 2011.
"Hingga saat ini pemerintah RI dan Saudi Arabia masih mematangkan perjanjian pembukaan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi secara menyeluruh. Semoga bisa diselesaikan sesegera mungkin, untuk menghindari permasalahan overstay terulang kembali," tutup Dharma. (A050)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013