Jakarta, 2/11 (Antara) - Informasi rahasia yang "dibocorkan" mantan konsultan Badan Keamanan Nasional (NSA) AS Edward Snowden bahwa terdapat 90 negara, termasuk Indonesia, yang disadap oleh badan intelijen AS dan Australia, memunculkan indikasi bahwa Indonesia merupakan sasaran penyadapan.

Indonesia adalah bangsa yang besar, baik dari luas wilayah maupun jumlah penduduknya, letak geografisnya juga amat strategis. Indonesia tumbuh sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India.

Indonesia juga merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Belum lagi dinamika di Tanah Air tak jarang menjadi perhatian dunia internasional dan banyak kepentingan asing di negeri ini seperti penanam modal asing atau perwakilan asing.

Kondisi geopolitik dan geostrategis seperti itu tak heran bila menjadikan Indonesia sebagai sasaran penyadapan bagi pihak asing yang memiliki berbagai kepentingan di Indonesia.

Mereka selalu ingin tahu lebih dahulu atas berbagai hal yang terjadi di Indonesia termasuk berbagai kecenderungan yang bakal terjadi.

Mantan petinggi Badan Intelijen Stategis (BAIS) TNI Mayjen (Purn) Glenny Kairupan menyatakan bahwa Indonesia memang menjadi sasaran penyadapan oleh berbagai kalangan asing karena Indonesia sangat strategis.

Apalagi saat ini merupakan era "perang teknologi". Bangsa yang unggul dalam teknologi, termasuk teknologi penyadapan, bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih banyak dibandingkan dengan negara lain.

Perwira tinggi di Direktorat B Urusan Luar Negeri BAIS TNI itu menyatakan perlu kemampuan untuk melakukan pengamanan dan menangkal penyadapan.

"Kita juga mesti mampu untuk melakukan 'jamming' dan mengganggu komunikasi pihak yang menyadap," katanya.

Ia menceritakan sewaktu era pemerintahan Presiden Soeharto, pengamanan terkait pembicaraan rahasia dan penting seorang kepala negara dilakukan oleh BAIS TNI. Ia tidak tahu apakah kini masih berlaku seperti itu.

Pensiunan perwira tinggi yang seangkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat di Akademi Militer Nasional Angkatan 1973 itu mengakui bahwa London terkenal dalam dunia sadap-menyadap dalam kaitan intelijen dan diplomatik, sehingga tidak mengherankan muncul peristiwa yang menimpa kepala negara Asia, termasuk terhadap Presiden Yudhoyono.

Mengenai bagaimana mengantisipasinya, ia mengemukakan pentingnya simpul-simpul pengamanan presiden meyakinkan bahwa pembicaraan melalui telepon hendaknya dilakukan hanya untuk yang disebutnya "berjanji untuk bertemu di suatu tempat".

"Jadi, pembicaraan telepon tidak pada konten atau substansi strategis, itu paling tidak upaya untuk menghindari substansi pembicaraan strategis disadap," katanya.

Dalam perspektif lain, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq menilai penyadapan atas Presiden Yudhoyono di London pada KTT G20 1-2 April 2009 terjadi lewat satelit karena selama ini Indonesia masih menyewa satelit untuk sistem komunikasi kenegaraan.

"Penyadapan terhadap sistem komunikasi kenegaraan kita sangat rawan. Karena sistem proteksi intersepsi masih belum maksimal. Misalnya saja kita masih sewa satelit swasta untuk sistem komunikasi-informasi," ujarnya.

Situasi itu sangat memungkinkan jika komunikasi kenegaraan Indonesia disalahgunakan oleh pihak lain untuk kepentingan tertentu.

Menjadi urgen bagi Indonesia untuk menata kembali keamanan sistem komunikasi-informasi kenegaraannya, termasuk harus memiliki satelit khusus yang dikontrol negara, ujarnya.

Dalam dunia keamanan sangat dimungkinkan sebuah negara menyadap negara lainnya. Namun hal itu tidak disadari oleh semua pihak khususnya Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin komunikasi Presiden SBY tidak hanya disadap oleh intelejen Inggris saja.

"Ini warning penting. Saya mengusulkan pemerintah Indonesia segera mengadakan satelit khusus untuk sektor pertahanan dan keamanan dan khususnya sistem komunikasi lembaga-lembaga tinggi negara," katanya.

Dari kasus penyadapan itu tampaknya perlu pembenahan ke dalam, misalnya, prosedur dan ketetapan keamanan Presiden dievaluasi sehingga penyadapan tersebut bisa dihindari.

Selain itu juga perlu mengoptimalkan peran Lembaga Sandi Negara dalam menangkal berbagai kegiatan yang patut diduga berupa penyadapan.

Lembaga Sandi Negara, ujarnya, mempunyai sejumlah tugas pokok, antara lain, menetapkan kebijaksanaan pelaksanaan di bidang persandian negara sesuai dan berdasarkan kebijaksanaan umum pemerintah.

Selain itu juga mengatur, mengkoordinasikan dan mengendalikan hubungan persandian dan kegiatan-kegiatan badan-badan persandian terutama dalam pengamanan dan pemberitaan rahasia negara.

Selain memiliki tugas mengamankan informasi rahasia negara, Lembaga Sandi Negara juga memiliki tugas lain, yaitu memperoleh informasi melalui analisis informasi rahasia pihak asing.

Informasi tersebut diperoleh dengan melakukan kegiatan intelijen sinyal.

Kegiatan memperoleh informasi asing tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan salah satu fungsi intelijen, yaitu fungsi penyelidikan.

Sehingga Lemsaneg memiliki dua misi utama yaitu penjaminan keamanan informasi, dan intelijen sinyal.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Norman Marciano menegaskan saat seorang kepala negara melakukan kunjungan ke suatu negara maka yang bersangkutan seharusnya mendapatkan jaminan keamanan, tidak hanya dalam melakukan kegiatannya, namun juga keamanan informasi.

Informasi penyadapan ini membuat Indonesia berupaya semaksimal mungkin untuk mengevaluasi sistem pengamanan sehingga tidak terjadi kebocoran yang tidak perlu.

Perkembangan teknologi yang sangat cepat dasawarsa ini menuntut kecakapan khusus untuk mengimbangi agar informasi negara tidak dengan mudah bocor.

Terpenting memang Indonesia tidak perlu membalas penyadapan dengan aksi penyadapan, lanjut dia.

Sebagai negara bersahabat, penyadapan sebenarnya tidak perlu dilakukan karena persahabatan tumbuh berdasarkan sikap saling percaya dan diplomasi yang berjalan baik. (B009)

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013