Jakarta, 16/6 (Antara) - Indonesia bertekad menjadi pengendali harga "crude palm oil" (CPO) atau minyak sawit mentah dunia karena 85 persen pasokan CPO dunia berasal dari Indonesia.

Selama ini justru Eropa yang hanya sebagai konsumen minyak sawit mentah itu menjadi referensi terbesar harga komoditas tersebut.

Untuk itu Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan akan mengubah kebijakan penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) untuk CPO. Penetapan HPE CPO bakal dibuat berdasarkan referensi rata-rata dari harga di bursa berjangka Jakarta (60 persen), Kuala Lumpur (20 persen), dan Rotterdam (20 persen).

"Kami baru mengeluarkan kebijakan terakhir 20 Juni 2013. HPE sawit kita ubah, selama ini harga rata-rata tidak ada pembobotan. Dan berlaku 1 Juli 2013, 60 persen gunakan Jakarta, 20 persen dari Bursa Kuala Lumpur, 20 persen Bursa Rotterdam," kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (7/6).

Melalui perubahan HPE sawit tersebut Kemendag menginginkan harga sawit bisa mencerminkan dinamika dari produsen sawit itu sendiri seperti Indonesia yang merupakan eksportir sawit terbesar di dunia.

"Selama ini harga sawit banyak ditentukan oleh konsumen (Eropa) jadi harus dilihat dari kepentingan kita sendiri," kata Bayu.

Dalam upayanya itu Indonesia tidak langsung mengubah acuan harga dalam bertransaksi CPO itu. Jika ada pihak lain yang yang masih ingin menggunakan acuan Rotterdam tidak masalah.

"Selain itu, kita juga memiliki industri yang paling kuat di dunia, dan apabila pihak lain masih ingin menggunakan acuan Rotterdam silahkan saja, akan tetapi untuk kepentingan kita harus menggunakan referensi Indonesia," kata Bayu.

Melalui kebijakan baru itu diharapkan akan membuat kepentingan Indonesia dalam perdagangan CPO, yang kini tengah dikaji oleh Environmental Ptotection Agency (EPA) untuk masuk dalam daftar produk ramah lingkungan, lebih terakomodasi.

Harga yang terbentuk nantinya bakal mencerminkan kepentingan nasional karena bursa Jakarta menjadi referensi, bukan sisi konsumen.

Indonesia kini sedang menjajaki hubungan dengan bursa Chicago, Amerika Serikat, yang memiliki bursa "vegetable oils". Indonesia yakin dengan membangun network atau jaringan dengan bursa besar, akan berdampak besar dalam perdagangan dunia.

Tidak mudah



Menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit upaya menjadikan Indonesia sebagai referensi harga CPO dunia bukanlah hal yang mudah dan bakal menghadapi berbagai kendala, baik di dalam maupun di luar negeri, seperti kurangnya dukungan regulasi dari pemerintah, infrastruktur yang buruk seperti tangki penimbunan, dan listrik serta ekonomi biaya tinggi.

Selain itu, jual beli CPO melalui bursa juga kurang menarik pelaku pasar karena ada anggapan bursa komoditas berjangka masih sebatas perdagangan kertas.

Padahal itu tidak benar karena penyerahan fisik juga tetap terjadi pada bulan spot dan opsi penyerahan berada di tangan penjual.

Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai referensi harga CPO dunia maka sistem pasar harus kuat untuk menghilangkan ketergantungan CPO Indonesia pada pihak internasional.

Untuk itu diperlukan pengembangan industri hilir, pembangunan infrastruktur, dan sistem regulasi yang mendukung seperti membuat perusahaan perkebunan mendukung keinginan itu dengan beramai-ramai ikut dalam pasar fisik dan bursa komoditas.

Perbaikan sistem yang lebih mudah dan canggih dalam proses perdagangan komoditas juga harus terus dilakukan karena hal itu akan menjadi daya tarik tersendiri.
Tingkat kepercayaan juga menjadi modal penting, terutama keterjaminan pengiriman barang yang ditransaksikan.

Data Dewan Minyak Sawit Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia pada 2013 ini tetap menjadi negara produsen terbesar minyak sawit dunia dengan hasil 28 juta ton. Total produksi dunia diprediksi sebanyak 54,527 juta ton.

Setelah Indonesia, terbesar kedua adalah Malaysia 19,7 juta ton, Thailand 1,7 juta ton dan Kolombia serta Nigeria masing-masing 960 ton dan 850 ton.

Pada tahun ini, konsumsi minyak sawit Indonesia diprediksi 9,20 juta ton dari 2012 yang masih 7,87 juta ton.

Setelah Indonesia, negara konsumen terbesar lainnya adalah India dan China yang masing-masing 8,35 juta ton dan 6,72 juta ton.

Indonesia merupakan penghasil minyak sawit terbesar dunia, kemudian disusul oleh Malaysia. Namun Malaysia terlebih dahulu memperkenalkan produk berjangka CPO berdenominasi ringgit.

Padahal Indonesia saat ini telah memiliki bursa yang memperdagangkan kontrak berjangka minyak kelapa sawit, yakni "Indonesia Commodity and Derivatives Exchange" (ICDX) atau Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia.(A023)

Pewarta: Ahmad Buchori

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013