Surabaya, 6/6 (Antara) - Besarnya jumlah makanan terbuang di tempat pembuangan sampah secara signifikan berkontribusi meningkatkan pemanasan global, karena makanan membusuk menciptakan lebih banyak metana.
"Metana 23 kali lebih kuat daripada C02 untuk menyumbang pembentukan emisi gas rumah kaca, karena itu makanan terbuang di tempat sampah berkontribusi terhadap pemanasan global," kata Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim ITS Surabaya Dr Ir Amien Widodo MSi kepada Antara di Surabaya, Kamis.
Menurut dia, hal itu mendorong Badan Lingkungan Hidup Dunia, United Nations Environment Programme (UNEP) mengusung tema untuk Hari Lingkungan Hidup se-Dunia pada 5 Juni 2013 yakni "Think.Eat.Save" atau "Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi Untuk Selamatkan Lingkungan".
"Tema itu dimaksudkan untuk membuka kesadaran masyarakat dunia atau kita semua atas pentingnya menyikapi pemanfaatan makanan dan sumber daya alam secara bijak, karena Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat setiap tahun 1,3 miliar ton makanan yang terbuang," katanya.
Jumlah sebanyak itu setara dengan jumlah yang sama yang diproduksi di seluruh sub-Sahara Afrika, padahal di saat yang sama ada satu dari setiap tujuh orang di dunia menderita kelaparan dan lebih dari 20.000 anak di bawah usia lima tahun yang mati kelaparan pada setiap hari.
"FAO memperkirakan bahwa sepertiga dari produksi pangan global akan terbuang atau hilang. Limbah makanan itu menguras potensi sumber daya alam yang besar, namun justru menjadi kontributor terhadap dampak lingkungan yang negatif," katanya.
Apalagi, jika makanan terbuang itu berarti bahwa semua sumber daya dan input yang digunakan dalam produksi semua makanan juga hilang. Sebagai contoh, dibutuhkan sekitar 1.000 liter air untuk memproduksi 1 liter susu dan sekitar 16.000 liter masuk ke dalam makanan sapi untuk membuat hamburger.
"Semua berakhir sia-sia ketika kita buang makanan. Bahkan, produksi pangan global menguras 25 persen dari seluruh lahan layak huni, 70 persen dari konsumsi air tawar, dan 80 persen dari deforestasi, namun mendorong 30 persen dari emisi gas rumah kaca. Ini adalah penyebab terbesar hilangnya keanekaragaman hayati dan lahan," katanya.
Oleh karena itu, beberapa hal yang patut dipertimbangkan bahwa "melimbahkan" makanan bukan hanya berdampak pada pemborosan keuangan, namun juga limbah makanan akan menyebabkan pencemaran lingkungan, dan pemborosan konsumsi bahan bakar untuk transportasi dalam penyimpanan dan pendistribusian.
Selain itu, makanan membusuk menciptakan lebih banyak metana yang 23 kali lebih kuat daripada C02 dalam menyumbang pembentukan emisi gas rumah kaca.
"Apa yang harus kita lakukan? Kembali ke pesan leluhur yang sudah kita lakukan selama ini seperti makanlah saat merasa lapar, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Makanlah makanan yang ada di dekat kita lebih dahulu yang dibuat oleh masyarakat yang ada di sekitar kita atau tidak impor," katanya.
Selain itu, budaya lama berupa puasa bersungguh-sungguh yakni hanya makan dua kali.
"Tidak seperti selama ini, yaitu begitu memasuki waktu berbuka maka kita makan sebanyak-banyaknya seolah balas dendam. Ini jelas melanggar konsep puasa yang diharapkan sesungguhnya yakni mencadangkan jatah satu porsi makanan demi keselamatan masa depan," katanya.(E011)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013
"Metana 23 kali lebih kuat daripada C02 untuk menyumbang pembentukan emisi gas rumah kaca, karena itu makanan terbuang di tempat sampah berkontribusi terhadap pemanasan global," kata Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim ITS Surabaya Dr Ir Amien Widodo MSi kepada Antara di Surabaya, Kamis.
Menurut dia, hal itu mendorong Badan Lingkungan Hidup Dunia, United Nations Environment Programme (UNEP) mengusung tema untuk Hari Lingkungan Hidup se-Dunia pada 5 Juni 2013 yakni "Think.Eat.Save" atau "Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi Untuk Selamatkan Lingkungan".
"Tema itu dimaksudkan untuk membuka kesadaran masyarakat dunia atau kita semua atas pentingnya menyikapi pemanfaatan makanan dan sumber daya alam secara bijak, karena Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat setiap tahun 1,3 miliar ton makanan yang terbuang," katanya.
Jumlah sebanyak itu setara dengan jumlah yang sama yang diproduksi di seluruh sub-Sahara Afrika, padahal di saat yang sama ada satu dari setiap tujuh orang di dunia menderita kelaparan dan lebih dari 20.000 anak di bawah usia lima tahun yang mati kelaparan pada setiap hari.
"FAO memperkirakan bahwa sepertiga dari produksi pangan global akan terbuang atau hilang. Limbah makanan itu menguras potensi sumber daya alam yang besar, namun justru menjadi kontributor terhadap dampak lingkungan yang negatif," katanya.
Apalagi, jika makanan terbuang itu berarti bahwa semua sumber daya dan input yang digunakan dalam produksi semua makanan juga hilang. Sebagai contoh, dibutuhkan sekitar 1.000 liter air untuk memproduksi 1 liter susu dan sekitar 16.000 liter masuk ke dalam makanan sapi untuk membuat hamburger.
"Semua berakhir sia-sia ketika kita buang makanan. Bahkan, produksi pangan global menguras 25 persen dari seluruh lahan layak huni, 70 persen dari konsumsi air tawar, dan 80 persen dari deforestasi, namun mendorong 30 persen dari emisi gas rumah kaca. Ini adalah penyebab terbesar hilangnya keanekaragaman hayati dan lahan," katanya.
Oleh karena itu, beberapa hal yang patut dipertimbangkan bahwa "melimbahkan" makanan bukan hanya berdampak pada pemborosan keuangan, namun juga limbah makanan akan menyebabkan pencemaran lingkungan, dan pemborosan konsumsi bahan bakar untuk transportasi dalam penyimpanan dan pendistribusian.
Selain itu, makanan membusuk menciptakan lebih banyak metana yang 23 kali lebih kuat daripada C02 dalam menyumbang pembentukan emisi gas rumah kaca.
"Apa yang harus kita lakukan? Kembali ke pesan leluhur yang sudah kita lakukan selama ini seperti makanlah saat merasa lapar, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Makanlah makanan yang ada di dekat kita lebih dahulu yang dibuat oleh masyarakat yang ada di sekitar kita atau tidak impor," katanya.
Selain itu, budaya lama berupa puasa bersungguh-sungguh yakni hanya makan dua kali.
"Tidak seperti selama ini, yaitu begitu memasuki waktu berbuka maka kita makan sebanyak-banyaknya seolah balas dendam. Ini jelas melanggar konsep puasa yang diharapkan sesungguhnya yakni mencadangkan jatah satu porsi makanan demi keselamatan masa depan," katanya.(E011)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013